Mohon tunggu...
Yakobus Sila
Yakobus Sila Mohon Tunggu... Human Resources - Pekerja Mandiri

Penulis Buku "Superioritas Hukum VS Moralitas Aparat Penegak Hukum" dan Buku "Hermeneutika Bahasa Menurut Hans Georg-Gadamar. Buku bisa dipesan lewat WA: 082153844382. Terima kasih

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Superioritas Hukum Versus Moralitas Aparat Penegak Hukum

27 Maret 2019   16:52 Diperbarui: 27 Maret 2019   18:50 3872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

         Menurut hasil penelitian penulis melalui wawancara di sejumlah lembaga penegak hukum, umumnya aparat penegak hukum selaku narasumber setuju bahwa moralitas aparat penegak hukum menjadi penopang superioritas hukum. Menurut Sutedja (wawancara, 12/09/2013), aparat penegak hukum (hakim) yang baik dalam penegakan hukum selalu menegakkan hukum berdasarkan aturan atau hukum yang berlaku dan berdasarkan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal itu  berarti bahwa hakim dalam menegakkan hukum selalu mengikuti peraturan perundangan-undangan, kode etik dan moral yang benar. Dengan demikian, sebagai corong undang-undang hakim akan membuat hukum semakin superior. Menurut Sutedja, "aparat penegak hukum yang bermoral baik akan memperhatikan undang-undang yang berlaku dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat". Hukum yang superior, pertama-tama mesti ditegakan oleh aparat yang tegas dan memiliki integritas moral yang tinggi. Oleh karena itu, aspek moralitas itu penting dan utama dalam penegakan hukum.

         Pertanyaannya, mengapa banyak terjadi penyimpangan dalam penegakan hukum oleh aparat (oleh hakim, misalnya)? Menurut Sutedja, penyimpangan penegakan hukum oleh aparat yang menyebabkan hukum menjadi inferior merupakan kasus yang terjadi ketika aparat penegak hukum menyalahgunakan wewenang (Sutedja, wawancara 12/09/2013). Penyalahgunaan wewenang tersebut terkait sangat erat dengan aspek ketegasan dan integritas aparat untuk mengutamakan kepentingan keadilan dan kebenaran di atas kepentingan pribadi dan pertimbangan keuntungan ekonomis apa pun. Seorang aparat penegak hukum yang bermoral akan selalu mempertimbangkan secara matang dan bertanggungjawab sebelum menentukan suatu keputusan. Setiap keputusan yang diambil adalah keputusan yang bermoral.

         Menurut Krisna Pramono, seorang jaksa penuntut umum dan jaksa intelijen pada kejaksaan negeri Yogyakarta (wawancara, 12/09/2013), moralitas aparat yang baik membuat hukum akan semakin superior dan dapat dipercapa oleh para pencari keadilan. Namun menurut Krisna, dalam kaitannya dengan penuntut umum, seorang jaksa menuntut suatu perkara berdasarkan hasil konsultasi dengan atasan. Hal itu berarti bahwa kalau atasan bermoral baik, maka tuntutan akan semakin baik. Namun kalau atasan bermoral kurang baik, maka tuntutan akan jauh dari rasa keadilan. Menurut Krisna, Jaksa dalam melakukan tuntutan selalu berdasarkan undang-undang dan kode etik profesi sebagai moralitas kolektif. Jaksa dapat saja mengabaikan moral dan pertimbangan individual dalam melakukan tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum karena keputusannya  selalu didasarkan pada konsultasi dengan atasan. Namun dalam Undang-undang kejaksaan tidak disebutkan tentang prosedur penuntutan yang didasarkan pada konsultasi dengan atasan jaksa. Hal itu berarti bahwa jaksa secara umum dalam melaksanakan tugas tuntutan sudah menyimpang dari peraturan perundang-undangan, karena tidak ada independensi dari jaksa penuntut umum yang memimiliki kewenangan untuk menuntut. Jaksa penuntut umum selalu mendengarkan apa yang dikatakan sang atasan dalam melakukan tugas tuntutan. Menurut Krisna, moralitas jaksa penuntut umum selalu dibatasi oleh undang-undang dan perintah atasan dalam melakukan tugas tuntutan. Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 ditegaskan bahwa ayat (3) "Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Jaksa melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah". Sedang dalam ayat (4) ditegaskan bahwa "Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya". Tidak ditemukan aturan yang menegaskan bahwa jaksa harus menuntut berdasarkan komando atau perintah atasan. Hal tersebut dapat diuraikan bahwa dalam tugas penuntutan tersebut seorang jaksa melanggar peraturan perundang-undangan karena menuntut berdasarkan perintah atau komando atasan.  Padahal menurut Krisna sebenarnya dalam suatu tugas dan tanggung jawab tuntutan, seorang penuntut umum harus bebas dari tekanan mana pun. Seorang jaksa penuntut umum harus bebas dalam melakukan tugas tuntutan berdasarkan moral kolektif (kode etik) dan juga pertimbangan moral individu. Kedua moralitas tersebut mesti dipadukan dan integral dalam upaya penegakan hukum yang adil dan bermoral (Krisna Pramono, wawancara 12/09/2013).

         Menurut Beja, SH (Kabagbinopsal Polda DIY) moral aparat yang tinggi tentu akan membuat hukum semakin superior. Dalam tataran teoretis, hukum di Indonesia tetap superior karena Indonesia merupakan negara hukum. Namun dalam tataran praktis, hukum di Indonesia inferior, karena masih ada banyak kepentingan termasuk kepentingan politik yang mempengaruhi pembuatan hukum di  lembaga legislatif. Adanya dominasi partai pemenang pemilu, misalnya, membuat produk hukum dilandasi oleh semangat partai yang bersangkutan (Beja, wawancara, 27/09.2013). Namun menurut Beja, walaupun produk hukum tersebut tidak sempurna atau terbatas, tetapi jika dijalankan oleh aparat penegak hukum yang bermoral tinggi, maka hukum akan tetap superior dan  hukum akan tetap ditegakkan untuk mencapai tujuan-tujuan hukum.

         Menurut Anastasia Ririn Tri Setyaningrum (wawancara, 12/09/2013) hukum di Indonesia hingga saat ini masih superior. Namun jika aparat penegak hukum selalu memilih untuk mengesampingkan hukum dalam menyelesaikan setiap perkara hukum yang terjadi, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa masyarakat tidak percaya pada hukum sebagai sarana yang bisa mengayomi, melindungi dan memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Hal itu berarti bahwa agar hukum tetap superior dan kredibel, maka aparat penegak hukum mesti tetap mengandalkan hukum dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku dalam penegakan hukum. Masyarakat tidak mungkin mengandalkan hukum kalau aparatnya tidak berpegang pada kekuatan hukum untuk menegakan hukum dan tidak mengupayakan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Karena itu, prosedur penegakan hukum yang murni dan konsisten akan sangat menentukan ke mana arah penegakan hukum dan superioritas hukum di Indonesia akan bermuara.

         Aparat hukum mesti memiliki tanggungjawab dan mengutamakan para pencari keadilan dalam penegakan hukum. Dalam Pasal 3 huruf (b) Kode Etik Advokat Indonesia, ditegaskan bahwa "Advokat dalam melakukan tugasnya tidak semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan". Hal itu berarti bahwa Advokat mengutamakan kepentingan hukum dan keadilan dalam memperjuangkan hak-hak kliennya, selain imbalan materi yang merupakan konsekuensi langsung dari pembelaan tersebut. Sementara itu, dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, ditegaskan bahwa Advokat dalam menjalankan tugas profesinya harus tetap berpegang teguh pada itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan. Itikad baik dimaksudkan agar dalam menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kliennya. Hal tersebut berarti bahwa aparat penegak hukum mengutamakan penekannya pada konsep etika heteronom. Menurut Emanuel Levinas (seperti diuraikan pada bagian landasan teori), etika heteronom selalu mengutaman tanggungjawab pada pihak lain. Yang lain itu dilihat sebagai 'wajah' yang menuntut pertanggungjawaban kita. Di  sini, penegak hukum melihat yang lain (orang lain) sebagai bagian yang menuntut pertanggungjawabannya. Penegak hukum harus bertanggungjawab atas nilai keadilan yang dituntut oleh pihak-pihak dalam penegakan hukum. Mempertanggungjawabkan tanggung jawab orang lain berarti aparat penegak hukum ingin menegakkan hukum sesuai dengan apa yang mesti menjadi tanggung jawabnya, juga bertanggung jawab atas hak-hak hukum yang menjadi bagian dari kliennya. Dengan demikian, penegak hukum, seperti Advokat dalam melaksanakan tugas profesinya selalu berupaya untuk menegakkan hukum dan memenuhi rasa keadilan yang sedang dituntut oleh para pihak pencari keadilan.


MORALITAS APARAT PENEGAK HUKUM DALAM UPAYA MENCAPAI KEADILAN 

                        Berbicara tentang moralitas berarti berbicara tentang struktur dasar yang membentuk manusia. Sebagai agen moral manusia dibentuk oleh lingkungan (dunia kehidupan) secara internal dan eksternal. Hal itu berarti bahwa, manusia dibentuk oleh faktor bawaan (diri sendiri) dan faktor dari luar dirinya (lingkungan). Ada moralitas individual dan moralitas kolektif. Moral individu terbentuk oleh faktor bawaan dan watak (karakter) individu manusia. Sedangkan moralitas kolektif dibentuk oleh lingkungan, entah lingkungan keluarga maupun masyarakat pada umumnya. Berdasarkan wawancara dengan beberapa aparat penegak hukum diperoleh informasi dari narasumber bahwa secara individu penegak hukum mesti memiliki moralitas secara individual yang baik. Moralitas individual tersebut diharapkan akan menjadi secercah harapan yang menerangi (menjadi penerang) kegelapan moralitas kolektif, kalau sebelumnya moralitas kolektif (kode etik profesi) sangat memprihatinkan karena tidak dipatuhi dan ditaati oleh aparat penegak hukum (Anastasia Ririn Tri Setyaningrum, wawancara 12/09/2013).

                        Moral kolektif digerakkan oleh kode etik aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum yang bermoral dan berkomitmen untuk mempertahankan moralitas tersebut mesti tetap konsisten dengan keyakinan pada moral pribadi. Ketegasan dan konsistensi pada moralitas pribadi tersebut membuat aparat penegak hukum bersangkutan tetap tegar dan konsisten mengahadapi moralitas kolektif (kode etik) yang sering kali tidak dipatuhi dan tidak dijalankan secara sungguh-sungguh. Ada semacam kesepakatan internal untuk mengabaikan kode etik dan menciptakan 'moral kolektif' yang menyimpang dari kode etik profesi. Hal itu berarti bahwa, manusia yang baik mesti terlebih dahulu terbentuk oleh lingkungan internal dan eksternal yang baik. Namun pemikiran ideal tersebut tidak terlepas dari kondisi konkret akan banyaknya aparat penegak hukum yang tidak mampu merealisasikan moral yang baik sehingga berlaku menyimpang dari moralitas, entah secara individu maupun secara kolektif.

                        Menguatnya potensi konflik akibat keterbatasan natural, di satu pihak, dan keterbatasan hukum positif, di lain pihak, membuat moral sebagai isi minimum dari hukum semakin relevan dan urgen. Keterbatasan natural tersebut mendorong pentingnya memberi tempat pada nilai moral yang berfungsi mengendalikan individu secara internal agar mengejar kepentingannya di tengah sumber daya yang terbatas secara bertanggung jawab. Karena itu kode etik profesi aparat penegak hukum sangat dibutuhkan untuk mengatur dan memberikan batasan pertanggungjawaban profesi. Namun, kode etik sebagai moral kolektif tidak cukup baik kalau tidak dijalankan oleh individu aparat penegak hukum yang secara personal bermoral baik. Dengan demikian perpaduan antara moral individual dan moral kolektif (kode etik) sangat urgen dibutuhkan dalam penegakan hukum yang adil dan bermoral.

Moralitas dan Kode Etik Profesi Polisi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun