Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Uwak Rosi dan Statin di Antara Gemerlap Idul Adha

6 Juni 2025   19:51 Diperbarui: 6 Juni 2025   19:51 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Uwak Rosi (Sumber: Leonardo)

"Ketika gulai, grafik, dan statin saling berebut perhatian, Uwak Rosi justru menemukan bahwa berdamai dengan kolesterol butuh lebih dari sekadar jadwal minum obat—ia butuh sepiring ketenangan dan sejumput humor."

Pukul tujuh pagi, dan bau daging rebus sudah menempel di langit-langit rumah. Dapur rumah Uwak Rosi berubah jadi markas besar operasional Idul Adha: ada baskom merah isi paru, wajan besar miring di atas tungku, dan cucu-cucu yang mondar-mandir membawa plastik hitam berisi daging mentah seperti kurir gelap.

"Lemaknya pisahin! Itu yang bikin kolesterol naik! Jangan semua dicemplungin ke rendang!"

Suara Uwak Rosi menggema lebih keras dari gema takbir di masjid ujung kampung.

Uwak Rosi berdiri di antara kompor dan pintu belakang, pakai daster bunga warna magenta dan bando dari plastik kaku. Di tangan kirinya ada sendok sayur, di tangan kanan, dan tentu saja—selembar kertas sobekan kalender, bekas coretan perhitungan kandungan lemak. Uwak Rosi, mantan guru Biologi, selalu percaya bahwa logika dan jadwal bisa menyelamatkan umat manusia dari kehancuran organ dalam.

"Paru itu spons! Dia nyerap minyak!" katanya tegas sambil menunjuk baskom.

Cucu-cucunya mengangguk, walau sebenarnya tidak paham. Bagi mereka, paru itu lauk, bukan perangkat pernapasan.

Tahun ini, yang membuat Uwak Rosi gelisah bukan cuma jumlah tongseng, tapi satu artikel yang ia baca semalam. Judulnya panjang dan menyebalkan: "Kapan Waktu Terbaik Minum Obat Kolesterol Setelah Pesta Daging Kurban?"

Ia baca pelan-pelan, dua kali. Lalu matanya membesar seperti tutup panci.

"Obat statin paling optimal diminum malam hari saat produksi kolesterol tubuh mencapai puncak?" Lanjut tulisan dalam artikel.

Ia mendadak merasa seperti penyihir tua yang salah baca mantra. Selama ini, obat statinnya ia minum pagi—kadang sehabis nyapu, kadang sebelum bikin teh. Ternyata salah waktu?

Di meja kayu ruang tengah, ia menaruh satu botol kecil berlabel buram, satu kalender robek, dan pulpen biru. Ia menulis:

Malam = jam optimal statin. Tapi... kapan tepatnya lemak masuk darah? Sate jam 11.30. Rendang jam 16.00. Empal sore.

Sambil menulis, ia menatap langit-langit seperti sedang menghitung lintasan planet. Suara cucunya tertawa di luar sana, sambil main bola plastik dekat kandang ayam. Tapi di kepala Uwak Rosi, suara itu terdengar seperti deret angka metabolisme.

Siang datang membawa bau gulai. Uwak Rosi tetap sibuk, tapi tidak betul-betul hadir. Ia tidak ikut duduk makan ramai-ramai. Hanya mengamati dari pintu dapur, menghitung berapa sendok santan yang ditambahkan.

"Kalau tubuh saya mulai mencerna lemak pukul dua belas... berarti puncak kolesterol pukul sembilan malam?"

Ia menggigit bibir.

Bersama tumpukan toples rengginang, ia menyusun rencana. Di kalender, ia bikin tabel.

11.00: sate. 14.00: tidur siang (sisa gulai belum tercerna?) 17.00: empal+kerupuk. 19.45: puncak lipid? 21.00: obat?

Ia menulis jam emas statin: 21.45 WIB dengan huruf kapital, pakai stabilo pink. Hatinya agak lega. Ilmu pengetahuan akhirnya membimbingnya keluar dari kegelapan gulai.

Tapi saat malam benar datang, dan rumah mulai lengang, ia merasa aneh.

Jam dinding berdetak keras. Obat statin ada di saku dasternya, hangat oleh suhu tubuh. Ia belum menelannya. Takut terlalu cepat. Takut terlambat.

Ia pandangi kalender. 21.45 WIB—fase gugus lemak ketiga?

"Uwak! Kikilnya gosong!"

Teriakan dari dapur mengguncang perhitungan. Ia berlari kecil, nyaris terpeleset minyak di lantai. Suara wajan meletup.

Obat di sakunya bergeser. Ia menoleh ke jam. 21.49.

Ia lupa, tadi rendangnya dua piring, bukan satu. Apakah itu mengubah seluruh rumus?

Malam itu, Uwak Rosi duduk di meja makan, memandang sepiring gulai kikil yang baru saja ia lepaskan dari wajan. Baunya menggoda, dengan aroma kaldu yang mendalam, berpadu dengan rempah yang meresap ke dalam daging. Tapi di hatinya ada rasa cemas yang lebih tajam daripada pedas cabe rawit.

Ia menatap sekilas ke jam dinding yang berdetak pelan, lalu kembali ke obat statinnya yang tergeletak di meja. Rasanya, tiap detikan waktu semakin berat—seperti ada hukum fisika yang mengatur tubuhnya untuk memproduksi kolesterol lebih banyak dari yang ia inginkan.

Sambil menggigit bibir, Uwak Rosi memandang kalender robek di depannya, yang sekarang lebih mirip peta perjalanan waktu ketimbang alat untuk mencatat hari-hari. Ia menatap baris-baris angka yang ditulis dengan stabilo pink dan biru. Tanggal, jam makan, dosis obat—semuanya disusun seperti agenda penting seorang ilmuwan yang sedang mengeksperimen pada dirinya sendiri. Ia membayangkan tubuhnya adalah grafik kolesterol yang sedang naik-turun.

"Kalau saya makan empat potong kikil, lalu nasi, bisa-bisa kolesterol saya bisa melonjak dua kali lipat, ya?" pikirnya, dengan kerut cemas di dahi.

Ia menggambar kurva kolesterol di kepala, seolah sebuah grafik yang naik tajam pada setiap gigitan. Dan obat statinnya? "Harus tepat setelah puncak grafik, supaya hasilnya maksimal," pikirnya lagi, sembari meraih sendok untuk mencicipi gulai kikil yang masih mengepul itu.

Di luar, suara keriuhan dari rumah sebelah terdengar jelas. Suara orang berteriak, suara anak-anak bermain, dan jangkrik yang mulai bernyanyi di malam yang sunyi. Namun, di dalam dapur Uwak Rosi, hanya ada desisan wajan yang melambat, suara sendok yang mendarat pelan di piring, dan pikirannya yang terus berputar.

Seperti biasanya, ia mencatat segala sesuatu yang ia makan, yang ia minum, dan kapan ia harus mengonsumsinya.

"Kolesterol naik setelah makan malam," gumamnya pelan, menuliskan kembali pengingat pada catatan kecil di sisi meja. "Tapi... berapa lama setelah itu obat harus diminum?"

Ia membolak-balik halaman di kalender robeknya, seakan mencari referensi dari dunia yang tak tampak di depan matanya. Semua itu ia lakukan dengan keyakinan penuh, seolah ia adalah seorang ahli gizi yang tidak boleh melakukan kesalahan. Uwak Rosi selalu percaya bahwa segala sesuatu yang bisa dihitung dan dicatat, pasti akan memberi hasil yang diinginkan.

Namun, seiring waktu yang terus berjalan, ia mulai merasa ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang tak bisa dipetakan dalam tabel-tabelnya. Suara detak jam di ruang tamu seakan semakin keras, menyuarakan ketidakpastian yang mulai menggugah.

"21.45... 21.45... harusnya aku sudah minum obat," pikirnya, dengan tangan yang meraih botol kecil obat yang ada di saku dasternya.

Ia membuka tutupnya pelan-pelan, merasakan kesulitan kecil dalam setiap gerakan, seperti tubuhnya melawan gravitasi waktu.

"Apakah aku sudah telat?" tanyanya pada diri sendiri, lalu menatap piring kikil yang masih penuh. Sepertinya, ia harus makan sedikit lagi untuk melengkapi "grafik kurvanya".

Tapi sebelum sempat ia menelan obat itu, suara dari luar terdengar lagi. Kali ini lebih keras. Terlihat anak-anak sedang bermain bola, berteriak, dan mengganggu ketenangan malam itu. Suara gaduh yang datang dari luar rumah seolah menambah beban dalam pikirannya. Rencana yang begitu rinci dan teliti kini terasa semakin konyol. Apakah ia benar-benar tahu apa yang sedang ia lakukan?

Uwak Rosi mengalihkan pandangan ke meja makan, menatap piring kikil yang semakin mendingin. Ia bisa melihat betapa pedasnya dan lezatnya daging itu—ia bisa merasakannya di lidah, betapa nikmatnya gurih kuah kaldu yang meresap hingga ke dalam daging.

"Tapi..." gumamnya, sambil memandangi botol obat statinnya lagi, "Harus sesuai jadwal, harus sesuai dengan grafik!"

Ia menatap sekilas ke jendela, mencari jawaban pada langit malam yang gelap. Apa yang seharusnya ia lakukan? Apa benar grafik yang ia buat akan menyelamatkannya dari bencana kolesterol yang mengancam? Ia mengingat kembali artikel yang ia baca semalam. "Statin optimal diminum setelah puncak kolesterol," tulis artikel itu. Dan sekarang puncak itu ada di depannya, dalam bentuk sepiring kikil yang baru saja ia santap.

Namun, kenyataan mulai meresap perlahan. Uwak Rosi memandang kembali jam dinding yang masih berdetak. Ia merasa sedikit bingung, seperti menemukan diri sendiri dalam labirin waktu. Tidak ada petunjuk pasti. Tidak ada angka yang bisa memberi jawaban.

Ia akhirnya menelan obat statinnya dengan hati yang berdebar. Jam dinding menunjukkan pukul 22.15. "Lambat sedikit, tapi tetap dalam rentang waktu yang wajar," pikirnya, setengah meyakinkan diri.

Lalu ia berdiri dan melangkah menuju ruang depan, tempat cucunya sedang sibuk menonton televisi. Ia duduk dengan tubuh yang mulai terasa lelah—tetapi, di dalam hatinya ada satu pertanyaan yang menggantung: Apakah tubuhnya benar-benar mengikuti aturan yang ia buat sendiri, atau justru ia yang sedang menjadi budak dari teori-teori yang tak pernah bisa ia kontrol?

Dan di ruang tamu yang hening, hanya suara jam dinding yang tetap terdengar, seakan mengingatkan bahwa waktu adalah sesuatu yang tidak bisa disusun rapi dalam tabel atau grafik.

Di pagi yang agak keruh itu, langit seperti bubur sumsum tanpa santan. Putih, tapi tak menjanjikan rasa. Uwak Rosi duduk di kursi rotan depan rumah sambil menggenggam segelas air hangat yang lebih sering jadi alasan ketimbang kebutuhan. Di hadapannya terbentang halaman kecil dengan dua pot daun pandan, satu ember bekas cat berisi cabai rawit, dan seekor kucing kurus yang tak diundang tapi tetap hadir tiap pagi.

Di pangkuannya, buku tulis bergaris tipis terbuka lebar. Di halaman itu, Uwak Rosi menggambar sebuah tabel dengan kolom "Jam Makan", "Menu", "Tingkat Kenikmatan (1-10)", dan "Risiko Kolesterol (Estimasi Subjektif)". Ia sedang merevisi sistem penilaian gulai, satai, rendang, dan otak sapi yang sempat mengguncang stabilitas lab internal tubuhnya sejak dua hari lalu.

"Aku butuh sistem skoring," gumamnya. "Tanpa data, aku ini cuma manusia biasa yang panik."

Ia mengingat kalimat itu dengan fasih, seolah ia sendiri yang menulisnya di jurnal ilmiah. Padahal hanya kutipan dari komentar pembaca artikel kesehatan yang ia baca tengah malam sambil menggigiti biskuit marie.

Sudah tiga malam berturut-turut Uwak Rosi tidur sambil memeluk botol statin di bawah bantal. Bukan karena cinta, tapi karena lupa. Kadang terlalu cepat diminum sebelum makan, kadang telat karena asyik menonton sinetron. Ada malam ketika ia minum dua kali karena lupa sudah minum. Malam itu ia mimpi dikejar tukang daging dan bangun dengan dada sesak serta hati dipenuhi rasa bersalah yang tak bisa ditebus hanya dengan minum air hangat.

"Tubuh ini, kadang seperti pasar malam. Ramai, penuh kebisingan, tapi tak jelas arah."

Ia menatap grafik buatannya sendiri. Garis merah kolesterol seperti naga meliuk, menari liar tanpa bisa dijinakkan. Padahal, ia sudah menulis semua dengan spidol warna-warni, mencoba meniru grafik WHO yang pernah ia lihat di televisi. Tapi data tak mau tunduk.

Yang lebih menyakitkan, kemarin Ujang—tetangganya yang kolesterolnya selalu stabil walau makan gorengan lima kali sehari—menyindir pelan saat bertemu di warung.

"Kolesterol itu bukan soal apa yang dimakan, Wak, tapi siapa yang makan. Kalau tubuhnya niat jahat, apa pun yang dimakan bisa jadi musuh." Sindir Ujang.

Ucapan itu menusuk. Rasanya seperti menemukan bahwa sistem pertahanan negara bisa jebol hanya karena satu oknum penjaga pintu yang sedang main Mobile Legend di HP.

Di siang yang panas dan lengket itu, Uwak Rosi akhirnya memutuskan untuk menepi dari kalkulasi. Ia menatap sepiring sate kambing sisa acara kemarin yang sudah dipanaskan ulang dua kali. Ia menyendok kuah sambal kecap yang agak mengental dan duduk dengan perasaan pasrah.

"Mungkin aku harus bicara dengan tubuhku langsung," ujarnya pelan. "Bikin perjanjian damai. Aku akan makan lebih pelan, lebih tenang, dan tubuh harus berhenti meledak-ledak kalau ada lemak sedikit lewat."

Tapi tubuh tak menjawab. Yang menjawab adalah kentut kecil yang lolos dari pantat tanpa aba-aba. Kucing kurus di halaman menoleh dengan jijik dan pergi.

Setelah makan, ia duduk di dapur dan menatap obat statinnya dengan perasaan campur aduk. Bukan takut, bukan yakin, tapi... ya, seperti rasa setelah nonton film yang ending-nya menggantung. Tidak puas, tapi tidak bisa marah.

Ia memutar-mutar botol kecil itu dan berkata pelan, "Kau, ya. Kecil, tapi bikin hidupku jadi teka-teki silang. Minumnya harus kapan, pas puncak kolesterol. Tapi kapan puncak itu datang? Tidak ada sirine. Tidak ada countdown."

Lalu ia tersenyum. Sebuah senyum yang lebih mirip kekalahan kecil tapi elegan. Seperti pemain catur yang tahu bidaknya habis tapi masih sok tenang demi gengsi.

Petang itu, ia menulis di buku catatannya:

"Tidak semua hal bisa dicatat. Tidak semua tubuh bisa dipetakan. Kadang, yang penting bukan grafiknya naik atau turun, tapi bahwa kita masih cukup waras untuk menyadari bahwa hidup ini memang tidak selalu bisa diringkas dalam tabel dan dosis. Makanlah dengan bahagia. Minumlah obat tanpa takut. Dan jangan pernah mengira kau bisa jadi dewa statistik hanya karena punya spidol warna-warni."

Dan di dapur kecil itu, suara wajan tak lagi gaduh. Hanya ada uap nasi yang tenang, semilir angin dari jendela yang dibuka sedikit, dan seorang perempuan tua yang akhirnya berdamai.

Bukan dengan kolesterol, tapi dengan dirinya sendiri.

Baca cerpen lain:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun