Ia menatap grafik buatannya sendiri. Garis merah kolesterol seperti naga meliuk, menari liar tanpa bisa dijinakkan. Padahal, ia sudah menulis semua dengan spidol warna-warni, mencoba meniru grafik WHO yang pernah ia lihat di televisi. Tapi data tak mau tunduk.
Yang lebih menyakitkan, kemarin Ujang—tetangganya yang kolesterolnya selalu stabil walau makan gorengan lima kali sehari—menyindir pelan saat bertemu di warung.
"Kolesterol itu bukan soal apa yang dimakan, Wak, tapi siapa yang makan. Kalau tubuhnya niat jahat, apa pun yang dimakan bisa jadi musuh." Sindir Ujang.
Ucapan itu menusuk. Rasanya seperti menemukan bahwa sistem pertahanan negara bisa jebol hanya karena satu oknum penjaga pintu yang sedang main Mobile Legend di HP.
Di siang yang panas dan lengket itu, Uwak Rosi akhirnya memutuskan untuk menepi dari kalkulasi. Ia menatap sepiring sate kambing sisa acara kemarin yang sudah dipanaskan ulang dua kali. Ia menyendok kuah sambal kecap yang agak mengental dan duduk dengan perasaan pasrah.
"Mungkin aku harus bicara dengan tubuhku langsung," ujarnya pelan. "Bikin perjanjian damai. Aku akan makan lebih pelan, lebih tenang, dan tubuh harus berhenti meledak-ledak kalau ada lemak sedikit lewat."
Tapi tubuh tak menjawab. Yang menjawab adalah kentut kecil yang lolos dari pantat tanpa aba-aba. Kucing kurus di halaman menoleh dengan jijik dan pergi.
Setelah makan, ia duduk di dapur dan menatap obat statinnya dengan perasaan campur aduk. Bukan takut, bukan yakin, tapi... ya, seperti rasa setelah nonton film yang ending-nya menggantung. Tidak puas, tapi tidak bisa marah.
Ia memutar-mutar botol kecil itu dan berkata pelan, "Kau, ya. Kecil, tapi bikin hidupku jadi teka-teki silang. Minumnya harus kapan, pas puncak kolesterol. Tapi kapan puncak itu datang? Tidak ada sirine. Tidak ada countdown."
Lalu ia tersenyum. Sebuah senyum yang lebih mirip kekalahan kecil tapi elegan. Seperti pemain catur yang tahu bidaknya habis tapi masih sok tenang demi gengsi.
Petang itu, ia menulis di buku catatannya: