Ia menatap sekilas ke jendela, mencari jawaban pada langit malam yang gelap. Apa yang seharusnya ia lakukan? Apa benar grafik yang ia buat akan menyelamatkannya dari bencana kolesterol yang mengancam? Ia mengingat kembali artikel yang ia baca semalam. "Statin optimal diminum setelah puncak kolesterol," tulis artikel itu. Dan sekarang puncak itu ada di depannya, dalam bentuk sepiring kikil yang baru saja ia santap.
Namun, kenyataan mulai meresap perlahan. Uwak Rosi memandang kembali jam dinding yang masih berdetak. Ia merasa sedikit bingung, seperti menemukan diri sendiri dalam labirin waktu. Tidak ada petunjuk pasti. Tidak ada angka yang bisa memberi jawaban.
Ia akhirnya menelan obat statinnya dengan hati yang berdebar. Jam dinding menunjukkan pukul 22.15. "Lambat sedikit, tapi tetap dalam rentang waktu yang wajar," pikirnya, setengah meyakinkan diri.
Lalu ia berdiri dan melangkah menuju ruang depan, tempat cucunya sedang sibuk menonton televisi. Ia duduk dengan tubuh yang mulai terasa lelah—tetapi, di dalam hatinya ada satu pertanyaan yang menggantung: Apakah tubuhnya benar-benar mengikuti aturan yang ia buat sendiri, atau justru ia yang sedang menjadi budak dari teori-teori yang tak pernah bisa ia kontrol?
Dan di ruang tamu yang hening, hanya suara jam dinding yang tetap terdengar, seakan mengingatkan bahwa waktu adalah sesuatu yang tidak bisa disusun rapi dalam tabel atau grafik.
Di pagi yang agak keruh itu, langit seperti bubur sumsum tanpa santan. Putih, tapi tak menjanjikan rasa. Uwak Rosi duduk di kursi rotan depan rumah sambil menggenggam segelas air hangat yang lebih sering jadi alasan ketimbang kebutuhan. Di hadapannya terbentang halaman kecil dengan dua pot daun pandan, satu ember bekas cat berisi cabai rawit, dan seekor kucing kurus yang tak diundang tapi tetap hadir tiap pagi.
Di pangkuannya, buku tulis bergaris tipis terbuka lebar. Di halaman itu, Uwak Rosi menggambar sebuah tabel dengan kolom "Jam Makan", "Menu", "Tingkat Kenikmatan (1-10)", dan "Risiko Kolesterol (Estimasi Subjektif)". Ia sedang merevisi sistem penilaian gulai, satai, rendang, dan otak sapi yang sempat mengguncang stabilitas lab internal tubuhnya sejak dua hari lalu.
"Aku butuh sistem skoring," gumamnya. "Tanpa data, aku ini cuma manusia biasa yang panik."
Ia mengingat kalimat itu dengan fasih, seolah ia sendiri yang menulisnya di jurnal ilmiah. Padahal hanya kutipan dari komentar pembaca artikel kesehatan yang ia baca tengah malam sambil menggigiti biskuit marie.
Sudah tiga malam berturut-turut Uwak Rosi tidur sambil memeluk botol statin di bawah bantal. Bukan karena cinta, tapi karena lupa. Kadang terlalu cepat diminum sebelum makan, kadang telat karena asyik menonton sinetron. Ada malam ketika ia minum dua kali karena lupa sudah minum. Malam itu ia mimpi dikejar tukang daging dan bangun dengan dada sesak serta hati dipenuhi rasa bersalah yang tak bisa ditebus hanya dengan minum air hangat.
"Tubuh ini, kadang seperti pasar malam. Ramai, penuh kebisingan, tapi tak jelas arah."