Ia mendadak merasa seperti penyihir tua yang salah baca mantra. Selama ini, obat statinnya ia minum pagi—kadang sehabis nyapu, kadang sebelum bikin teh. Ternyata salah waktu?
Di meja kayu ruang tengah, ia menaruh satu botol kecil berlabel buram, satu kalender robek, dan pulpen biru. Ia menulis:
Malam = jam optimal statin. Tapi... kapan tepatnya lemak masuk darah? Sate jam 11.30. Rendang jam 16.00. Empal sore.
Sambil menulis, ia menatap langit-langit seperti sedang menghitung lintasan planet. Suara cucunya tertawa di luar sana, sambil main bola plastik dekat kandang ayam. Tapi di kepala Uwak Rosi, suara itu terdengar seperti deret angka metabolisme.
Siang datang membawa bau gulai. Uwak Rosi tetap sibuk, tapi tidak betul-betul hadir. Ia tidak ikut duduk makan ramai-ramai. Hanya mengamati dari pintu dapur, menghitung berapa sendok santan yang ditambahkan.
"Kalau tubuh saya mulai mencerna lemak pukul dua belas... berarti puncak kolesterol pukul sembilan malam?"
Ia menggigit bibir.
Bersama tumpukan toples rengginang, ia menyusun rencana. Di kalender, ia bikin tabel.
11.00: sate. 14.00: tidur siang (sisa gulai belum tercerna?) 17.00: empal+kerupuk. 19.45: puncak lipid? 21.00: obat?
Ia menulis jam emas statin: 21.45 WIB dengan huruf kapital, pakai stabilo pink. Hatinya agak lega. Ilmu pengetahuan akhirnya membimbingnya keluar dari kegelapan gulai.
Tapi saat malam benar datang, dan rumah mulai lengang, ia merasa aneh.