Mohon tunggu...
Salsabila Pragita
Salsabila Pragita Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

————

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hydrangea

24 Februari 2021   01:39 Diperbarui: 24 Februari 2021   01:43 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

“Dirga! Dirga!” Elang berteriak cukup keras, ia tak peduli tentang tempatnya berada saat ini. Ia mengguncang bahu Dirga keras-keras, berusaha mengembalikan kesadaran temannya itu.

Dirga bergeming, tak mengindahkan apapun yang Elang lakukan padanya. Tatapannya kosong, dia berdiri seperti patung hidup. Napasnya melambat. Sementara itu, Elang masih terus berusaha memanggil namanya dengan nada frustasi.

“Dirga! Kendalikan dirimu!” Elang berseru tajam, kedua tangannya mencengkeram kerah jaket yang Dirga kenakan.

Bola mata Dirga bergerak pelan, tatapannya jatuh pada iris coklat Elang yang menatapnya dengan mata membulat sempurna Dengungan di telinganya menghilang pelan-pelan, namun sesak masih terasa. Kesadarannya kembali perlahan, bersamaan dengan dengung menyakitkan yang menghilang sepenuhnya.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Elang, kini suaranya melembut. Ketika dirasanya Dirga sudah lebih baik, perlahan ia melepaskan cengkeraman tangannya.

Dirga menatap orang di hadapannya itu tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Lebih tepatnya, ia tak tahu harus berkata atau bebuat apa. Situasi yang berlangsung saat ini, sangat sulit baginya untuk menerima semua ini.

“Dirga,” panggil Elang sekali lagi, namun orang yang dipanggil masih bergeming.  

Detik berikutnya, Dirga merasakan pening luar biasa. Hal terakhir yang dilihatnya adalah raut terkejut Elang ketika tubuhnya limbung ke depan. Ia jatuh tak sadarkan diri di atas dinginnya lantai rumah sakit yang menusuk hingga ke tulangnya.

-

Saat satu-persatu orang mulai pergi meninggalkan area pemakaman, Dirga memberanikan diri untuk menghampiri gundukan tanah yang masih basah itu. Dengan satu buket bunga di tangannya, bunga yang tak pernah ia lupakan bentuk dan maknanya. Hydrangea.

“Jika diingat lagi… kehadiran Bapak, membawa perubahan yang begitu besar dalam hidup saya. Bagaimana bisa… bagaimana bisa Bapak pergi begitu saja sebelum saya bisa membalasnya?” ujar Elang seraya berusaha menahan air matanya. Ditatapnya nisan baru itu dengan pandangan terluka. “Bahkan saya… tidak memiliki kesempatan untuk mengucapkan terima kasih.”
-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun