Mohon tunggu...
Salsabila Pragita
Salsabila Pragita Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

————

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hydrangea

24 Februari 2021   01:39 Diperbarui: 24 Februari 2021   01:43 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Dirga dapat mendengar helaan napas lega dari bibir ibunya. Entah mengapa hatinya meyakini bahwa saat ini, ibunya tengah tersenyum. Ia merasa lega untuk itu.

“Maka dari itu, Mama juga harus hidup dengan baik,” ujar Dirga, masih dengan suaranya yang bergetar. Air matanya kembali jatuh, dan terus jatuh, tidak peduli sekuat apapun ia menahannya.

“Iya, Mama berjanji. Jadi… bisakah kamu memberi Mama kesempatan? Untuk memulai semuanya dari awal. Untuk menebus kesalahan Mama.”

Kepala Dirga menengadah, mencoba mencegah jatuhnya air mata yang terasa memenuhi kelopak matanya. Ia menggigit bibirnya sendiri, berusaha menyembunyikan isakannya. Saat ini yang berada di pikirannya adalah keinginan untuk kembali ke masa lalu. Saat di mana ia masih dapat merasakan hidup di antara keluarga yang harmonis. Dirga ingin kembali pada masa di mana ia menangis keras saat temannya merebut mainan yang ia suka. Saat ia bisa menangis meraung-raung di pelukan ibunya seraya mencurahkan segala yang ada dalam hatinya pada ibunya. Menyampaikan semuanya tanpa beban. Ia ingin melakukan itu. Namun, ia menahan diri. Penahanan itulah yang membuat dadanya terasa sesak luar biasa.

“Hal seperti itu…” Dirga menjeda ucapannya, menutup mulutnya, “Seharusnya kita bicarakan secara langsung… di waktu yang tepat. Jadi… bisa Mama menunggunya sebentar lagi?”

“Tentu saja, tentu saja Mama bersedia.”

Dirga dapat mendengar keharuan dalam suara itu. Saat itu, untuk pertama kalinya setelah waktu yang lama, ia merasakan satu sudut dalam hatinya yang kosong, kini kembali terisi dengan kehangatan yang tak bisa ia jelaskan hanya sekadar melalui kata-kata.

-

Bekas merah masih terlihat cukup jelas di pipi putih Elang. Ingatan ketika satu tamparan dari tangan ayahnya mendarat di wajahnya, masih segar di pikirannya. Itu terus berputar di benaknya layaknya kaset rusak. Panas dan perihnya masih terasa, namun Elang memilih untuk abai. Lagipula ini bukan pertama kalinya.  

Di bawah langit malam yang kelam, di atas atap sebuah gedung tinggi, Elang duduk bersandar pada tembok yang dingin. Pikirannya berkecamuk hingga dingin yang menembus permukaan kulitnya hingga ke tulang itu diabaikannya. Otaknya memutar ulang tentang apa saja yang pernah terjadi selama 18 tahun hidupnya.

Dulu, ketika seragam merah putih masih melekat di tubuh kecilnya, sering kali ia ditanya mengenai apa yang ingin ia lakukan ketika ia dewasa nanti. Cita-cita apa yang ia inginkan. Nyaris setiap hari sebelum bel pulang sekolah berbunyi, gurunya akan meminta satu-persatu anak menceritakan tentang masa depan seperti apa yang mereka inginkan. Semua anak menceritakannya dengan bangga, dengan kalimat-kalimat polosnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun