Mohon tunggu...
Salsabila Pragita
Salsabila Pragita Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

————

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hydrangea

24 Februari 2021   01:39 Diperbarui: 24 Februari 2021   01:43 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Elang merindukan masa-masa seperti itu. Waktu di mana orang-orang dewasa menanyakan padanya tentang apa yang ingin ia lakukan. Ketika ia bisa bebas menyatakan apa yang berada di pikirannya, apa yang ia inginkan, tidak peduli sekonyol apapun itu. Ia akan didengarkan dan dihargai. Kemudian mereka akan memberikan respon yang membuatnya merasa seolah apa yang ia harapkan akan benar-benar terwujud di masa depan. Elang ingin kembali pada momen-momen seperti itu.

Elang menyadari bahwa semakin ia tumbuh, pertanyaan akan cita-cita itu semakin jarang ia dengar. Lalu seiring berjalannya waktu, itu benar-benar menghilang, tanpa meninggalkan bekas. Alih-alih menanyakan tentang apa yang ia inginkan, orang-orang dewasa justru memerintahnya untuk melakukan ini dan itu, guna memenuhi keinginan dan ambisi mereka yang tiada habisnya. Orang tua yang ingin ia jadikan tempat berpegang, justru menjadi pelaku utama dari perbuatan itu.

Elang merasa bahwa ia telah menjalani hidup yang benar-benar menyedihkan. Pencapaian dan pengakuan yang mati-matian berusaha ia dapatkan seolah tak berarti apa-apa. Entah untuk alasan apa, ia merasa bahwa semua itu justru menghancurkannya perlahan, seperti piala beracun. Ia telah hidup dengan didikan bahwa menempati posisi teratas dari piramida sosial adalah segala-galanya. Ia telah hidup dengan mengedepankan keserakahan, ketamakan, serta ego yang tinggi. Dan semua itu membuatnya muak, bahkan pada dirinya sendiri.

Di tengah segala kerumitan yang menghampiri benaknya, Elang mengeluarkan satu bungkus rokok dan sebuah pemantik dari satu jakenya. Ia mengeluarkan satu batang dan membakar ujungnya. Ketika asap mulai muncul, Elang terbatuk pelan. Perlahan, ia dekatkan ujung tembakau itu ke bibirnya, menghisapnya pelan-pelan. Namun pada detik berikutnya, ia justru terbatuk keras. Paru-paru sehatnya pasti merasa tidak familiar dengan suatu zat asing bernama nikotin.

Elang menjauhkan rokok itu dari bibirnya, masih terbatuk. Kemudian lama-kelamaan, secara tiba-tiba, tanpa aba-aba, satu isakan pelan muncul dari bibirnya. Isakan-isakan yang terus terdengar, lantas berubah menjadi raungan keras yang memilukan. Seperti bocah kecil yang kehilangan ibunya di tempat ramai yang asing, seperti nenek tua renta yang tertinggal sendiri oleh anak cucunya, seperti seorang yang telah kehilangan seluruh dunianya, Elang menangis keras. Tangannya mengepal, meremas rokok yang dipegangnya, mengabaikan panas yang telapak tangannya rasakan. Ia tahu bahwa kulitnya mungkin terbakar dan melepuh, namun ia tak memperdulikannya.

-

Lintang menutup kembali pintu mobilnya, mengurungkan niat untuk masuk ketika dari kejauhan, matanya menangkap sosok yang tak asing. Ia memicingkan matanya, memastikan bahwa penglihatannya tidak salah. Sosok itu berjalan semakin mendekati tempatnya berdiri. Lintang membulatkan matanya karena terkejut ketika mendapati bahwa sosok yang dilihatnya itu adalah Elang. Keterkejutannya bertambah saat melihat betapa kacaunya Elang sekarang. Muridnya itu berjalan dengan tatapan yang kosong, matanya terlihat sembab dengan pipi yang bengkak, sangat jauh dengan Elang yang biasa Lintang lihat di sekolah.

Mengedepankan rasa khawatirnya, Lintang berlari menghampiri Elang, membuat muridnya itu terkejut ketika tiba-tiba saja ia berdiri menghalangi jalannya.

“Elang? Ada apa? Apa kamu baik-baik saja?” tanya Lintang dengan nada khawtair yang begitu jelas terdengar. Kedua tangannya memegang bahu Elang, matanya meneliti seluruh tubuh Elang, memastikan tidak ada bagian tubuhnya yang terluka. Namun ketika pandangannya melintasi bagian lengan Elang, ia mendapati sesuatu yang janggal di sana. Maka ia meraih tangan Elang, lantas mendapati luka bakar di telapak tangan muridnya itu.

Lintang membeku di tempatnya, matanya beralih menatap wajah kacau Elang. Sementara yang ditatap hanya membalasnya dengan pandangan kosong. Wajah Elang tak menunjukkan emosi apapun. Sosok di hadapan Lintang ini nyaris seperti patung hidup, seolah jiwa telah meninggalkan raganya.

“Elang…” gumam Lintang lirih. Rasa khawatir di hatinya kini bersatu padu dengan rasa takut yang muncul tanpa alasan. Luka di tangan Elang, mustahil jika itu bukan unsur kesengajaan. Hatinya meyakini bahwa Elang sendirilah pelakunya, seperti sebelum-sebelumnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun