Mohon tunggu...
Salsabila Pragita
Salsabila Pragita Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

————

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hydrangea

24 Februari 2021   01:39 Diperbarui: 24 Februari 2021   01:43 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Prolog

Aroma petrichor yang khas menguar dari tanah-tanah yang basah, terasa begitu menenangkan. Ketika hidungnya mencium aroma itu, perlahan matanya terbuka. Dengan gerakan malas, ia meregangkan tubuhnya, lantas menatap sekitar melalui kaca depan mobilnya. Hujan telah berhenti rupanya. Awan mendung yang satu jam lalu menutupi keberadaan mentari kini mulai bergerak berlainan arah. Langit kembali cerah. Ia menutup kaca jendela mobil yang sedikit terbuka.

Ketika kepalanya menoleh, iris legamnya tertuju pada sebuket bunga yang tergeletak di kursi pengemudi. Hydrangea, bunga mungil nan cantik yang sarat akan makna. Menurut legenda Jepang, bunga yang mekar dengan formasi unik ini mewakili rasa terima kasih yang besar dan penyesalan mendalam. Seseorang pernah memberitahukannya perihal tersebut. Seseorang yang sayangnya kini, tak lagi berada pada dimensi yang sama dengannya. Dengan gerakan pelan, tangannya meraih buket bunga itu, merengkuhnya dengan lembut seperti memeluk bayi. Keluar dari mobil, kakinya melangkah memasuki area pemakaman yang sepi.

Setelah berjalan kurang lebih sejauh 20 meter, langkahnya terhenti di hadapan satu gundukan tanah yang tertutup rumput. Buket bunga di tangannya itu ia letakkan hingga bersandar pada nisan. Sejenak, dipandanginya nama yang tertulis pada nisan hitam itu, seolah dengan cara itu, ia merasa seperti berpandangan langsung dengan sang pemilik nama.

“Ini… sudah lima tahun. Di sana... apa semuanya baik?” Ia bertanya tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya. “Kami hidup dengan sangat baik. Jadi, jangan khawatir tentang apapun, dan beristirahatlah dengan tenang.”

Setelah mengatakannya, ia menundukkan kepala, memejamkan mata. Hatinya memanjatkan segala doa. Ketika orang dalam doanya itu masih menempati dimensi yang sama dengannya, ia tak memiliki banyak waktu untuk mengucapkan segala rasa terima kasihnya. Ia berharap bahwa segala hal yang tak mampu ia ungkapkan, dapat tersampaikan melalui doanya. Ia memercayai segala kebaikan Tuhan.

Sesaat kemudian matanya terbuka, lantas bibirnya menyugingkan senyuman tipis yang lembut. “Ini akan menjadi kalimat yang tak pernah bosan diucapkan. Terima kasih banyak, untuk segalanya,” gumamnya lirih, dengan cepat suaranya berbaur dengan angin yang berhembus.
Ketika tubuhnya berbalik, ia mendapati keberadaan seseorang tak jauh dari tempatnya berdiri. Kala dua pasang netra itu saling menatap, keduanya saling melempar senyum akrab.

-

Bagian Pertama

Tahun 2013, di akhir bulan Januari…

Matahari mulai meninggi, udara semakin panas. Pendingin ruangan yang hampir diatur hingga mencapai suhu minimum pun tidak lagi berfungsi banyak. Lintang, satu-satunya pria yang berdiri di depan ruang kelas mati-matian menahan diri untuk tidak mengumpati cuaca yang menyebalkan ini, berusaha mempertahankan martabatnya sebagai seorang guru.

Menghela napas kasar, Lintang mengarahkan laser pointer di tangannya pada papan tulis, membuat tampilan berganti. “Kemudian yang kamu perlukan hanyalah kaki yang akan melangkah lebih jauh, tangan yang akan berbuat lebih banyak, mata yang akan melihat lebih lama, leher yang akan lebih sering mendongak, tekad yang setebal baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras, serta mulut yang selalu berdoa. Mimpi-mimpi kamu, cita-cita kamu, keyakinan kamu, apa yang mau kamu kejar, biarkan ia menggantung, mengambang lima sentimeter di depan kening kamu. Jadi dia tidak akan pernah lepas dari mata kamu. Dan kamu bawa mimpi dan keyakinan kamu itu setiap hari, kamu lihat setiap hari, dan percaya bahwa kamu bisa.”

Sesaat setelah menyelesaikan kalimatnya, Lintang mengalihkan pandangan, menatap siswa-siswi di hadapannya. Sebisa mungkin ia mengabaikan tatapan malas dan wajah lelah yang mereka tunjukkan padanya. Ayolah, dia juga lelah dan ingin segera mengakhiri ini. Jadi mari bekerja sama dan bertahan sebentar lagi, begitu pikirnya.

“Kalimat yang diucapkan oleh Zafran dan kawan-kawan sesaat sebelum memulai pendakiannya itu menjadi bagian yang cukup berkesan bagi saya. Dengan membacanya, saya seolah bisa merasakan tekad yang mereka miliki. Sejak awal mereka tahu bahwa semuanya tak mudah, namun mereka meyakini bahwa tekad yang kuat, mereka bisa menghadapinya, bersama-sama. Kalimat itu cukup menyentuh hingga membuat saya selalu mengingatnya, bahkan setelah saya menyelesaikan novel dan filmnya.” Lintang mengangguk-anggukkan kepala di akhir kalimatnya, lantas memandang siswa-siswinya satu-persatu.

Detik berikutnya, guru itu menepuk tangannya keras, mengubah raut wajahnya. “Ya, seperti itu contohnya. Setelah menuliskan ulasan film dan novel Indonesia, serta membuat perbandingan keduanya, saya ingin kalian menunjukkan pesan moral apa yang hendak disampaikan dari kedua karya tersebut. Alasan dalam pemilihan karya, pesan moral, serta kesan apa yang karya itu tinggalkan setelah kalian menyelesaikannya. Kalian boleh menunjukkan beberapa kutipan dialog, adegan, atau apapun itu. Tunjukkan kreatifitas kalian dan kerjakan sebaik mungkin. Pengerjaan bisa mulai dilakukan setelah pertemuan ini.”

Lintang berjalan ke belakang meja tempatnya menaruh proyektor dan laptop, proyektor dimatikan, halaman yang ditampilkan di papan tulis menghilang. Setelahnya, ia terlihat fokus pada laptopnya, meski mulutnya masih berbicara, “Pekerjaan kalian cukup banyak, mengerjakannya sendiri pasti membuat kalian kerepotan. Tapi mengerjakannya bersama terlalu banyak orang pun akan menyulitkan kalian dalam menentukan karya yang akan kalian ulas. Jadi, untuk tugas ini, saya akan membagi kalian dalam kelompok kecil yang terdiri dari dua anggota.” Lintang mengambil jeda pada ucapannya, lantas mengambil sebuah map dari dalam tasnya.

“Ketua kelas akan mengumumkan pembagian kelompoknya,” ujar Lintang seraya menyerahkan selembar kertas pada siswa yang duduk tepat di depan meja guru.

“Sebelum pertemuan ini saya akhiri, apa penjelasan saya mengenai tugas ini sudah dapat dipahami?” Lintang bertanya, yang langsung dijawab sahutan mantap siswa-siswinya. Ia mengangguk sebagai respon, namun tiba-tiba teringat sesuatu.

“Soal lembar perencanaan masa depan, saya harap kalian segera mengisinya. Sesi konseling akan dimulai minggu depan, jadi saya harap kalian sudah mengumpulkannya sebelum tanggal empat.” Lintang menatap siswa yang duduk tepat di depan tempatnya berdiri, sang ketua kelas, “Ketua kelas, tolong diingatkan teman-temannya.”

“Baik Pak!” sahut ketua kelas itu dengan anggukkan singkat.

“Baik, terima kasih untuk hari ini, sampai jumpa di pertemuan selanjutnya,” Lintang pamit undur diri setelah merapikan barang-barangnya, kemudian pergi meninggalkan ruang kelas.

-

Atap sekolah yang kini telah beralih fungsi menjadi gudang penyimpanan itu terlihat seperti rumah hantu. Dengan segala peralatan sekolah tak layak pakai dan dinding tak terawat, tak ada alasan bagi para penghuni sekolah untuk datang ke tempat menyeramkan itu. Namun sepertinya, hal itu tak berlaku bagi orang yang satu ini.

Lelaki bersurai madu yang kini duduk santai dengan kedua kaki terangkat ke atas meja itu nampaknya tak keberatan dengan semua itu. Ia justru menganggap bahwa atap sekolah merupakan tempat terbaik baginya. Tempat ini adalah satu-satunya di mana ia bisa menikmati waktunya, tanpa seorangpun bisa mengganggunya.

We never lost control, you’re face to face, with the man who sold the world.” Bibir tipisnya bersenandung pelan, beriringan dengan musik yang keluar dari earphone-nya. Kakinya ikut bergerak-gerak seirama.

Tangannya masuk ke dalam bungkus plastik makanan ringan di pangkuannya. Namun ketika didapatinya bungkusan itu kosong, dengan gerakan santai ia melemparkannya, mengambil bungkus baru, lantas membukanya.

Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Semakin cepat ketika musik berganti ke lagu dengan irama yang lebih bersemangat. Begitu pula kakinya. Makanan ringan yang mulai tumpah karena gerakan brutalnya itu ia abaikan, terlalu asyik dengan dunianya sendiri. Seseorang seharusnya segera mengingatkannya tentang betapa pentingnya menghargai makanan.

“Dirgantara Putra, absen 9, kelas dua belas IPA satu. Jenis pelanggaran: membolos di jam pelajaran, membuang sampah sembarangan dan mengotori lingkungan sekolah. Pengurangan poin sebesar 30.”

Lelaki yang dipanggil “Dirgantara Putra” itu sontak menghentikan aksinya. Musik memang sebagian dari hidupnya, mendengarkannya adalah kebutuhan yang tak boleh ia lewatkan. Namun seorang yang lebih akrab dengan sapaan “Dirga” itu sangat anti dengan musik bervolume tinggi yang dapat merusak gendang telinganya. Jadi ketika kalimat dengan nada datar itu diucapkan, terlebih dengan suara keras, telinganya dapat langsung mendengarnya walau samar.

Dirga memutar bola matanya jengah ketika mendapati pria berpakaian rapi itu berdiri satu meter di depannya. Dengan gerakan kasar, ia melepas benda kecil di telinganya itu. Kemudian, tanpa mengindahkan keberadaan seorang yang lebih tua itu, Dirga memejamkan matanya, menutupi wajahnya dengan jaket.

Pria berpakaian rapi itu menghela napas pelan, lantas mendekat pada lelaki kurang ajar yang merupakan muridnya itu. “Dan mengabaikan guru yang sedang bicara…” ia menjeda ucapannya lalu berdecak pelan seraya menggelengkan kepalanya, “harusnya ada pengurangan poin juga untuk perbuatan itu.”

Lintang, guru berusia 28 tahun itu berjalan ke samping tubuh Dirga, mendekati dinding pembatas setinggi dadanya. Matanya menatap jauh, pada gedung-gedung yang menjulang tinggi seolah menantang langit. Kemudian ketika kepalanya menunduk, ia mendapati jalan raya yang dipadati oleh berbagai jenis kendaraan. Ibu kota dan segala kesibukannya, tempat menakutkan yang sayangnya diminati banyak orang.

Ketika telinganya tak lagi mendengar suara menyebalkan yang tadi mengganggunya, Dirga memlepas jaket yang menutupi wajahnya. Ia membuka sebelah matanya, penasaran akan keberadaan gurunya itu. Saat kepalanya menoleh ke samping, didapatinya sosok itu berdiri membelakanginya. Dirga menatap punggung tegap itu, otaknya menerka-nerka tentang apa yang sedang dilakukan oleh seorang yang belakangan ini gemar sekali mengusik hidupnya.

Benar, Lintang dan segala yang dilakukannya benar-benar membuat Dirga terusik. Pria itu selalu menemukan keberadaannya kapanpun ia membolos, memberinya pesan singkat tentang tugas-tugas yang harus ia kerjakan atau mungkin ulangan harian yang harus ia hadapi, dan sungguh itu adalah upaya yang sangat sia-sia untuk dilakukan. Dirga tak pernah peduli dengan nilai-nilainya, mungkin dulu pernah, ketika ia duduk di bangku taman kanak-kanak.

Segala gangguan itu tak berhenti cukup di sekolah. Karena guru yang merupakan wali kelasnya itu sialnya harus bertetangga dengannya. Mereka tinggal di lantai gedung apartemen yang sama, dan itu sungguh membuatnya jengkel. Setiap kali mereka berpapasan, gurunya itu akan memberinya ceramah panjang lebar dengan topik yang berbeda setiap harinya. Dirga tak akan dibiarkan masuk rumah sebelum ceramahnya itu selesai. Lintang akan berdiri di depan pintu apartemennya, mencegahnya masuk. Itu berlangsung hampir setiap hari, begitu sering hingga tanpa sadar membuatnya cukup terbiasa.

“Pembagian kelompok untuk tugas akhir sudah diumumkan,” ujar Lintang tiba-tiba, membuyarkan lamunan Dirga.
Ketika Lintang berbalik, Dirga memalingkan wajahnya, kembali menutup matanya. Ia hanya berdecak pelan namun tetap melanjutkan kalimatnya, “For your information, saya menjadikan Elang sebagai rekan satu kelompok kamu.”

Dirga masih memejamkan matanya, berusaha tak acuh pada apapun yang Lintang katakan. Namun Lintang sama keras kepalanya, pria itu terus berbicara bahkan saat Dirga dengan sengaja kembali menutup wajahnya dengan jaket.

“Bukankah Elang itu rekan satu tim yang sempurna? Selama ini dia selalu melakukan yang terbaik dan menjadi kebanggaan para guru. Berada dalam satu kelompok yang sama dengannya berarti kamu mendapat jaminan besar. Jadi saya harap kamu berusaha keras kali ini,” ujar Lintang dengan tenang. Ditatapnya jaket yang menutupi wajah Dirga, kemudian satu helaan napas kasar terdengar.

“Jangan lupa bersihkan sampah-sampah ini. Petugas kebersihan sekolah kita sudah memiliki banyak pekerjaan. Cobalah sedikit bersimpati pada mereka.” Setelah mengatakannya, Lintang berbalik, hendak berjalan pergi. Namun baru dua langkah ia berjalan, ia berhenti ketika benaknya mengingat sesuatu.

“Satu lagi!” seru Lintang seraya berbalik, kembali menghadap Dirga. “Jangan lupa untuk mengumpulkan lembar perencanaan masa depan, tenggatnya sebelum tanggal empat bulan depan.”

Lintang benar-benar pergi meninggalkan atap sekolah setelahnya, menyisakan Dirga yang kini tersenyum kecut dari balik jaketnya. Masa depan? Dirga ingin tertawa keras-keras setiap kali mendengarnya. Masa depan adalah frasa yang telah lama ia hapus dari hidupnya. Baginya, masa depan hanyalah bagian dari delusi bodoh yang menyedihkan. Sesuatu yang semakin keras berusaha untuk diraih, maka yang terlihatnya hanyalah segudang kemustahilan.

-

“Elang Maharendra!”

Siswa yang dipanggil Elang Maharendra itu mengangkat pandangannya yang semua terfokus pada ponsel di tangannya. Meski wajah menunjukkan raut kebingungan, ia menundukkan kepalanya dan tersenyum sopan pada sosok Lintang yang berdiri beberapa metar di depannya.

Lintang berjalan menghampiri Elang yang masih menunjukkan raut bingungnya. “Bisa bicara sebentar?” tanya Lintang, ibu jarinya menunjuk pintu ruang guru yang terletak di samping tempatnya berdiri. Elang hanya mengangguk pelan sebelum mempersilahkan Lintang masuk terlebih dahulu dengan gestur tangannya.

“Silahkan duduk Elang,” ujar Lintang seraya sedikit merapikan buku-buku di meja kerjanya.

“Apa kamu ada kerja kelompok hari ini? Atau mungkin jadwal les?” Lintang bertanya setelah Elang duduk di hadapannya.

“Tidak ada kerja kelompok untuk hari ini dan saya mengambil kelas malam hari ini,” jawab Elang seraya melepas tas punggungnya, membuka resleting, dan memasukkan ponselnya ke dalam ruang kecil di tasnya.

“Syukurlah jika saya tidak mengganggu waktumu.” Lintang mengangguk-angguk pelan, kini tangannya telah berhenti bekerja. Ia duduk dengan tenang, berhadapan dengan muridnya itu.

“Sudah tahu rekan satu kelompokmu? Bagaimana menurut kamu?” Lintang kembali bertanya, tangannya terlipat di atas meja, wajahnya menunjukkan raut antusias, terlihat penasaran dengan jawaban Elang.

“Tidak ada masalah dengan pembagian kelompoknya,” Elang menjawab singkat, namun bukan itu yang ingin Lintang dengar.

Lintang menggelengkan kepalanya, lantas menatap Elang lamat-lamat, “Bukan itu yang saya maksud, Elang. Maksud saya, bagaimana pendapatmu tentang Dirgantara?”

“Dirga?” Elang menaikkan sebelah alisnya, tampak tak mengerti mengenai arah pembicaraan gurunya itu. “Apa maksud Bapak tentang ‘pendapat’ saya?”

“Pendapatmu. Apa yang kamu pikirkan tentang Dirga?” Lintang bertanya sekali lagi, mencoba untuk memperjelas.

Elang tampak berpikir singkat sebelum menjawab, “Pendapat saya tentang Dirga… sama dengan pendapat semua orang. Apa perlu ditanya? Dan… mengapa Bapak menanyakan itu?”

“Apa itu?”

“Apa saya harus mengatakannya? Itu mungkin agak kasar.”

Elang menunjukkan ekspresi canggung, tampak kebingungan tentang bagaimana ia harus berkata. Namun Lintang hanya mengangguk pelan, seolah mempersilahkannya untuk mengatakan apapun yang ia inginkan.

“Dirgantara, menurut saya dia adalah seseorang yang jika Bapak berharap bahwa Bapak bisa mengandalkan dia, maka seluruh dunia akan menertawakan Bapak. Dengan kata lain, itu pemikiran bodoh,” ujar Elang, wajahnya menunjukkan raut tenang sekalipun kalimatnya terkesan sedikit kasar.

“Jadi begitu pandangan semua orang tentang Dirga?” Lintang bertanya retoris, jari telunjuknya menyentuh dagu seraya kepalanya mengangguk-angguk pelan.

Mengenali ekspresi yang gurunya tunjukkan, Elang justru bertanya, “Bapak tidak sependapat?”

“Saya tidak terlalu yakin sebenarnya. Apa yang kamu katakan memang sesuai fakta yang ada. Tapi, saya tidak… bukan, maksud saya, saya kurang sependapat denganmu.”

Jawaban Lintang membuat Elang menunjukkan sebuah senyum asimetris di bibirnya. “Bapak sepertinya cukup optimis.”

“Maksudnya?”

“Maaf tapi saya tidak bisa memikirkan kalimat yang lebih sopan. Apa mungkin Bapak mempunyai pikiran seperti ‘sampah tetap bisa didaur ulang untuk menghasilkan sesuatu yang bahkan memiliki nilai manfaat yang lebih besar dari sebelumnya’?” Elang berujar dengan senyum yang masih ia perlihatkan.

Lintang ikut tersenyum, “Semacam itu, tapi… sebenarnya lebih sederhana. Bukan ‘sesuatu yang memiliki nilai manfaat lebih besar dari sebelumnya’, tapi cukup sekadar ‘sesuatu yang masih tetap memiliki nilai manfaat’,” sahut Lintang meluruskan.

Elang terdiam, senyum di wajahnya kini menghilang. Ia menatap Lintang dengan pandangan rumit. Otak cerdasnya berusaha keras menerka-nerka tentang apa yang dipikirkan gurunya ini.

Elang mendesis pelan sebelum kembali berkata, “Saya tidak mengerti mengapa sejak tadi Bapak membahas Dirga.”

“Itu karena…” Lintang menyatukan kedua tangannya, meletakkannya di atas meja. Tubuhnya condong ke depan, kedua irisnya menatap Elang dengan sorot serius. “Saya ingin meminta bantuanmu.”

-

Bagian Kedua

Potret dalam figura berukuran 30 × 40 inci itu berisikan sepasang suami istri yang duduk berdampingan beserta dua orang putra yang berdiri di belakang mereka. Keempat orang itu memang menunjukkan senyumnya. Namun entah untuk alasan apa, rasanya sedikit sulit untuk menemukan pancaran bahagia dalam potret keluarga itu. Alih-alih kebahagiaan, empat pasang mata itu lebih menunjukkan tatapan rumit berisi ambisi yang besar. Benar-benar kompleks, terlebih untuk menjelaskannya.

Keluarga itu nampak begitu hebat, terlebih dengan deretan figura berisi piagam penghargaan yang terpasang pada dinding di sampingnya. Jangan lupakan figura-figura lain yang berjajar rapi di atas meja. Dua sosok pria berjas putih yang nampak hebat, sosok wanita dengan piala penghargaan di tangannya, serta sosok remaha dengan medali emas di lehernya. Semua itu lebih dari cukup untuk menggambarkan betapa hebatnya keluarga itu.

Namun, seorang yang kini memandangi bukti kehebatan itu justru menunjukkan senyum kecut di wajahnya. Terlebih ketika netra coklatnya itu menangkap sosok dirinya sendiri dalam potret-potret itu. Ia ingin tertawa, menertawakan dirinya sendiri. Entah mengapa ia merasa begitu menyedihkan berada di antara orang-orang “hebat” itu.

-

Cahaya lembut bulan masuk melalui celah-celah tirai yang tertutup. Malam semakin larut dan suasana makin hening. Waktu telah menunjukkan pukul satu malam, lazimnya, ini adalah waktu di mana semua orang beristirahat setelah hari yang melelahkan. Namun sepertinya itu tak berlaku bagi siswa SMA tahun terakhir bernama lengkap Elang Maharendra ini.

Sejak hari berganti, fokusnya tak beralih dari selembar kertas berukuran A4 di hadapannya. Pada bagian paling kertas tersebur, tertulis dengan huruf kapital bercetak tebal judul “Lembar Perencanaan Masa Depan”. Dari empat kolom yang tersedia, Elang baru mengisi satu kolom, kolom yang mengharuskannya menuliskan nama lengkap dan asal kelas. Sementara tiga kolom lain masih kosong.

Ketika matanya tertuju pada kolom berjudul “Jurusan dan Perguruan Tinggi yang Diinginkan”, ia nampak gusar. Satu helaan napas kasar terdengar. Elang menyandarkan punggungnya, lantas mengangkat kepala, menatap layar komputer di depannya.

Kedokteran UI Menjadi Prodi Saintek Paling Diminati pada Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Tahun 2013

Universitas Indonesia Menolak Ribuan Peserta Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Tahun 2013

Kedokteran UI, Jurusan Favorit 5 Tahun Terakhir Ini

Untuk Calon Mahasiswa Baru, Perhatikan Hal-Hal Berikut Sebelum Mendaftar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Wajah lelahnya semakin kentara kala matanya membaca judul-judul artikel yang tertera pada layar komputernya. Gusar yang dirasakannya semakin menjadi. Ia melepas kacamatanya, lantas memejamkan matanya. Tangan kanannya mengepal hingga kuku-kukunya memutih. Bolpoin dalam genggamannya patah, namun ia mengabaikannya. Bahkan ketika kuku dan patahan bolpoin itu mulai melukai telapak tangannya, Elang hanya menatapnya dingin, seolah ia telah mati rasa.

“Nilai-nilaimu mengagumkan, kamu juga mempunyai segudang prestasi. Semua yang kamu lakukan, pencapaianmu, itu menunjukkan betapa hebatnya kamu. Portofolio kamu nyaris sempurna, saya akui itu Elang. Tapi… tidakkah kamu tahu bahwa alam semesta memiliki tujuh lapis langit?  

“Kamu bisa percaya diri dengan segala yang kamu punya. Silahkan, saya tidak akan menghalanginya. Itu juga bukan sesuatu yang salah. Tapi sebagai orang dewasa… saya hanya ingin mengingatkanmu bahwa sesuatu yang tak terduga selalu datang di dunia yang kejam ini.”

Ketika perkataan Lintang siang tadi terngiang kembali di telinganya, Elang tak dapat menahan diri untuk tidak memperkuat cengkeraman tangannya. Ia tak memerdulikan darah yang mulai mengucur, mengotori meja belajarnya.

“Simbiosis mutualisme, win win situation, saya tahu bahwa kamu hanya bersedia melakukan hal-jal seperti itu. Jadi mari buat kesepakatan yang sama-sama menguntungkan.

“Ini jarang diungkit tapi sebenarnya ini poin yang sangat penting bagi kamu yang ingin diterima di universitas bergengsi tanpa melalui tes tertulis. Surat rekomendasi guru, yang akan sangat baik jika ditulis langsung oleh wali kelas.  

“Jika kamu bersedia melakukan permintaan saya, saya pastikan wali kelasmu sejak tahu pertama, menuliskan segala hal baik tentangmu. Saya juga memberi jaminan bahwa di mata pelajaran saya, kamu tidak akan pernah dirugikan, berapapun nilai yang kamu dapatkan. Saya tidak memintamu untuk membuat Dirgantara menjadi siswa ambisius seperti kamu, atau membuat nilainya meroket. Saya hanya meminta kamu memotivasinya, memberi cambukan keras agar dia kembali memikirkan masa depannya. Hanya itu.”

Bolpoin dalam genggaman Elang jatuh menyentuh permukaan lantai. Seraya menatap telapak tangannya yang dipenuhi darah, Elang membuat keputusan dengan mantap.

-

Tugas akhir mata pelajaran Bahasa Indonesia: membuat ulasan novel yang diadaptasi menjadi film beserta ulasan dari film tersebut; membuat powerpoint berisi pesan moral yang ingin disampaikan dalam film dan novel tersebut, alasan pemilihan, bagian atau adegan yang berkesan, boleh menyertakan kutipan menarik. Tugas dikumpulkan paling lambat Senin, 24 Februari 2013.

Ps: film dan novel yang dipilih harus berasal dari Indonesia. Mari kita cintai karya bangsa kita sendiri.

Dirga memutar bola matanya jengah. Ia menghela napas kasar ketika matanya menangkap kalimat terakhir pada pesan tersebut. Dirga tak habis pikir apa Lintang tidak memiliki kesibukan lain hingga selalu sempat mengiriminya pesan ini itu. Selama enam bulan terakhir, sejak mereka resmi bertetangga, gurunya tak pernah satu haripun absen mengiriminya pesan. Dirga bahkan berpikir bahwa ia tak memerlukan aplikasi pengingat jadwal di ponselnya, karena gurunya yang baik hati itu akan dengan dengan senang hati menggantikan fungsi aplikasi itu.

Terima kasih atas perhatiannya Pak Lintang yang budiman. Doakan saya agar saya sanggup untuk mengumpukan niat untuk mengumpukan niat untuk mengumpukan niat untuk mengumpukan niat untuk mengumpukan niat untuk mengerjakan tugas yang Bapak berikan.

Dirga melempar ponselnya ke tempat tidur setelah mengirimkan pesan balasan. Beberapa detik kemudian, ponselnya kembali bergetar ketika dirinya hendak berjalan pergi keluar kamar. Dalam benaknya Dirga berpikir tentang betapa luangnya waktu yang Lintang punya hingga dapat membalas pesannya secepat itu, ini bahkan sudah tengah malam.

Namun ketika ponsel berada di tangannya, sementara matanya melihat nama pengirim pesan yang baru masuk, ia justru menatap ponselnya heran. Dahinya mengerut dengan mulut yang menganga, seolah tak menyangka.

Elang Maharendra

Ibu jari Dirga menggeser pemberitahuan teratas di ponselnya. Ruang obrolan terbuka sesaat setelah ia memindai sidik jarinya.

Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Negeri 5 Menara, dan Sang Pencerah. Baru itu yang terpikir olehku menarik untuk dibahas. Baca ulasan film dan novelnya di internet. Aku harap kamu setidaknya sudah menonton filmnya.

Katakan jika kamu mempunyai rekomendasi lain.

“Apa dia tidak salah kirim?” tanya Dirga pada entah pada siapa, matanya berulang-ulang membaca pesan yang Elang kirim, seolah berusaha mencari kejanggalan di dalamnya.

“Tapi aku memang satu-satunya rekan kelompoknya,” ujarnya lagi.

“Tapi ini aneh.” Dirga melanjutkan monolognya.

“Apa otaknya terganggu karena terlalu banyak belajar?”

Dirga terus menyuarakan isi pikirannya dalam bentuk monolog yang agak sedikit aneh. Jika orang lain melihatnya, mereka mungkin menyarankannya untuk menemui dokter jiwa.

Namun tingkah aneh Dirgantara ini benar-benar alasan, kebingungannya muncul bukan tanpa sebab. Pasalnya Elang, siswa teladan serba bisa itu baru saja mengiriminya pesan, di mana ia menanyakan pendapat Dirga.

Serius, Dirga sama sekali tak melebih-lebihkan apapun. Ia telah berada di kelas yang sama bersama Elang sejak kelas 1 SMP. Mereka memang tidak dekat, namun 6 tahun merupakan waktu yang cukup lama untuk mengenali setidaknya sedikit tentang kepribadian orang lain. Elang yang Dirga kenal selalu melakukannya semuanya sendiri, semua orang mengakui kehandalannya dalam bidang apapun yang dia tekuni, maka jangan tanyakan soal hasil pekerjaannya. Elang cenderung keras kepala dan kurang bisa menerima pendapat orang lain, tidak, dia bahkan tak pernah menanyakannya dan melakukan semuanya berdasarkan pemikirannya sendiri.

Segala tentang Elang yang Dirga ketahui membawanya pada satu kesimpulan bahwa seorang Elang Maharendra, sangat mustahil untuk menanyakan pendapat rekan kelompoknya sendiri, terlebih jika orang itu macam dirinya. Dan hal yang tengah terjadi saat ini, benar-benar tak terduga.

“Pak Lintang?” tebak Dirga. “Tapi apa yang Pak Lintang katakan pada batu macam dia?” ujarnya tak yakin.

Dirga mendesis pelan, kemudian menggelengkan kepalanya. Ia masih berusaha menebak dan meyakinkan pemikirannya, “Tapi semuanya menjadi paling masuk akal jika Pak Lintang ‘pelaku’-nya.”

“Sebenarnya apa maunya itu!” seru Dirga setelahnya, berteriak pada angin. Tangannya mengacak rambutnya, gusar.

-

Pukul 6.20 pagi, ketika Lintang sampai di ruang guru, biasanya pintu ruangan itu masih tertutup rapat. Ia selalu menjadi orang pertama yang mematikan alarm keamanan pada pintu ruang guru. Selain penjaga sekolah dan perugas kebersihan, Lintang jarang menemui penghuni sekolah lain di jam itu. Namun hari ini, sepertinya sedikit berbeda.

Ketika kakinya memasuki koridor ruang guru, dari kejauhan, matanya langsung menangkap sosok berseragam putih abu-abu berdiri dengan punggung bersandar pada dinding. Sosok itu tak menyadari kehadiran Lintang, bahkan ketika ia berjalan mendekatinya, sepertinya buku tebal di kedua tangannya itu benar-benar mengambil seluruh perhatian dan fokusnya.

“Apa kamu memang selalu datang sepagi ini?” tanya Lintang seraya memindai sidik jarinya untuk membuka pintu ruang guru.

Elang, yang sejak tadi terus menunduk, fokus pada buku tebalnya itu mengangkat kepalanya.

“Saya datang lebih awal jika ada keperluan,” jawabnya datar.

Ketika pintu terbuka, Lintang masuk diikuti Elang di belakangnya. Keduanya berjalan menuju meja kerja Lintang yang terletak di sudut kanan ruang guru.

“Jam berapa kamu sampai? Apa kamu sudah lama menunggu?” tanya Lintang, terkesan basa-basi. Ia meletakkan tas punggungnya di bawah kursi, lalu melepas jas hitamnya, menyampirkannya pada sandaran kursi.

Sementara itu Elang memperhatikan seluruh gerakan gurunya itu dalam diam, wajahnya memperlihatkan raut yang seolah menunjukkan bahwa ia tak berminat untuk menjawab pertanyaan Lintang itu. Ia masih berdiri sekalipun Lintang telah mempersilahkannya untuk duduk.

Melihat ekspresi wajah Elang, Lintang menghentikan kegiatannya yang hendak mengeluarkan laptop dari tasnya. Ia menghela napas pelan, lantas memilih duduk di kursinya dengan gerakan tenang.

“Akan lebih baik jika kamu duduk terlebih dulu. Penjaga sekolah masih suka berkeliling, jika beliau melihat kita bicara dengan posisi seperti ini, beliau mungkin salah paham,” ujar Lintang seraya tersenyum tipis.

Elang menghela napas kasar, samar-samar terlihat raut jengkel di wajahnya. Namun ia tak mempersulit apapun, memilih duduk seperti apa yang Lintang minta.

“Jadi keperluan apa yang membawamu datang menemui saya sepagi ini Elang?” tanya Lintang dengan raut serius, namun senyum tipis belum menghilang dari wajahnya.

“Soal ‘kesepakatan menguntungkan’ yang Bapak bahas kemarin. Apa saya bisa melakukan negosiasi?”

“Sebutkan penawaranmu,” titah Lintang.

“Selain surat rekomendasi guru, saya membutuhkan satu hal lagi,” Elang menyahut, membuat lawan bicaranya itu mengerutkan dahi dengan raut bingung.

“Apa itu?” tanya Lintang.

“Surat rekomendasi kepala sekolah. Jika saya bisa mendapatkannya, saya akan melakukan lebih dari yang Bapak minta kemarin.”

“Seperti?”

Elang mengambil napas panjang sebelum menjelaskan, “Soal nilainya, saya tidak memiliki banyak waktu untuk membantunya memperbaiki semuanya. Tapi tugas-tugas yang harus Dirga kerjakan, saya menjamin bahwa dia akan berusaha keras melakukan yang terbaik.” Elang mengucapkan kalimatnya itu dengan penuh keyakinan.

Melihat sorot percaya diri yang terpancar di ekspresi datar Elang, Lintang lantas tertawa pelan. “Kamu terlihat sangat yakin? Sepertinya kamu sudah menyusun rencana.”

“Ya, tentu saja. Jika Bapak dapat memenuhi syarat yang saya ajukan.”

Lintang mengangkat bahu kemudian menjulurkan tangannya, “Setuju,” ujarnya seraya meminta Elang untuk menjabat tangannya. Namun, Elang tak melakukan permintaannya, memilih diam menatap uluran tangan Lintang.

Ketika Lintang mengalihkan pandangannya pada tangan kanan Elang yang terbalut perban, ia tak bisa menyembunyikan raut terkejutnya. “Ada apa dengan tanganmu?” tanya Lintang.

Elang nampak sama terkejutnya. Dengan gerakan canggung, ia menyembunyikan tangan kanannya ke belakang tubuhnya. “Bukan apa-apa,” jawab Elang, sebisa mungkin menjaga nada bicaranya agar tetap terdengar tenang.

Respon yang Elang tunjukkan menyadarkan Lintang bahwa ada sesuatu yang salah darinya. Namun Lintang memilih untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya, bukan, ini jelas rasa khawatir.

-

Seperti hari-hari lainnya, Dirga menghabiskan jam pelajaran di atap gedung sekolah, duduk di tempat yang sama, dengan gaya yang sama. Namun pagi ini, ia melakukannya tanpa musik dan camilan. Dengan mata terpejam, ia membiarkan cahaya hangat matahari menerpa permukaan kulit wajahnya.

Sayangnya, ini mungkin bukan hari baiknya. Baru beberapa menit ia menikmati waktu menyenangkan itu, di detik berikutnya, ia merasakan hangat tak lagi menerpa kulit wajahnya. Dengan gerakan malas, ia membuka matanya, mencari tahu tentang apa penyebabnya. Orang menyebalkan mana yang berani mengganggu ritual paginya ini?
Dirga mendengus kasar dengan wajah kesal ketika mendapati seseorang berdiri di depannya, menghalangi cahaya matahari yang sedang ia nikmati.

“Minggir! Kamu menghalangi cahaya matahari,” titah Dirga, lantas kembali memejamkan matanya.

Elang mengabaikan perintah Dirga, ia tak beranjak sedikitpun dari tempatnya. “Berapa banyak ulasan yang kamu baca?” tanya Elang.

“Ulasan apa?” Dirga balik bertanya, namun matanya masih terpejam.

Elang menghela napas kasar seraya memutar bola matanya, “Aku lihat kamu membaca pesan teks yang aku kirimkan. Jadi, apa pertanyaan itu perlu?” Elang justru kembali membalik pertanyaan.

“Belum,” jawab Dirga cepat, tanpa minat sedikitpun.

“Itu sudah terduga, justru aneh jika kamu melakukannya,” gumam Elang, namun dengan suara yang ia atur agar masih dapat terdengar oleh lawan bicaranya. “Kalau begitu, bagaimana pendapat kamu tentang filmnya? Jika dugaanku benar kamu pasti belum membaca novelnya.”

“Dugaanmu benar, aku hanya menonton Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi, dan aku sudah lupa jalan ceritanya.”

“Lalu mengapa kamu tidak menonton ulang? Bukankah aku sudah menyuruhmu?” tanya Elang, berusaha menyembunyikan segala kejengkelan di balik suaranya yang datar.

“Kamu tidak menyuruhku,” jawab Dirga cepat, kini ia membuka matanya, menurunkan kaki yang semula berada di atas meja. “Tidak ada satupun dari kalimat dalam pesan teks yang berisi suruhan untuk menonton film-filmnya,” ujar Dirga, suaranya sedikit lebih tinggi dari ucapan-ucapan sebelumnya.

“Apa kamu tidak tahu apa yang disebut makna tersirat? ‘Aku harap kamu sudah menontonnya’ bukankah itu sudah jelas?”
Berbicara dengan Elang memang sulit, bahkan sangat. ‘Si jenius’ yang satu ini tidak akan pernah terkalahkan. Dirga mengakui hal itu, mengajaknya berdebat benar-benar pilihan yang salah.
“Iya aku tidak tahu! Minggir sana! Jangan menghalangi matahari!” seru Dirga kesal, ia kembali meletakkan kakinya di atas meja dan memejamkan matanya. Sementara Elang, yang masih dengan geras kepala terdiam di tempat, menatapnya jengah.

“Sebenarnya kamu ini sedang apa?” tanya Elang, kini raut tenang yang sejak tadi ia tunjukkan mulai memudar.

“Fotosintesis!” Dirga menjawab dengan malas.

“Manusia bukan makhluk autotrof. Dan setahuku, sampai saat ini belum ditemukan teknologi yang memungkinkan manusia untu mensintesis makanannya sendiri. Apa kamu bahkan tidak tahu tentang hal itu?” balas Elang.

Dirga menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya kasar. Ia membuka matanya, kembali menurunkan kakinya, kini ia duduk tegak. Matanya menatap Elang yang belum sedikitpun beranjak dari tempatnya berdiri.

“Berjemur! Aku berjemur sekarang! Matahari pagi sangat bagus untuk kesehatan tulang dan kulit! Apa kamu tidak tahu hal itu!” Dirga menyeru dengan penekanan di kalimat terakhirnya.

“Hal yang lebih kamu perlukan adalah sesuatu yang dapat memperbaiki cara kerja otakmu,” ujar Elang menanggapi.

Merasa bahwa pembicaraan mereka hanya akan berakhir sia-sia, Elang memilih untuk kembali pada tujuan awalnya datang menemui Dirga.

“Kamu sepertinya punya banyak waktu luang. Jadi gunakan waktu itu untuk menonton film-filmnya dan melihat ulasannya di internet. Temui aku di perpustakaan sepulang sekolah.”

“Mengapa aku harus? Hei, Elang Maharendra, apa kamu tidak tahu apa itu membolos? Orang tidak waras mana yang membolos untuk mengerjakan tugas?”

“Tidak dan aku tidak tertarik untuk tahu. Aku pikir kamu harus mengerjakannya untuk menyangkal dugaanku yang satu ini.” Elang mengucapkannya seraya menatap Dirga tepat pada iris legamnya.

“Dugaan apa?” tanya Dirga bingung.
Elang maju dua langkah sebelum berkata dengan tajam, “Bahwa berharap agar kamu bisa andalkan, itu sama halnya dengan berharap agar seekor tikus dapat terbang.” Elang berbalik pergi setelah mengatakannya, meninggalkan Dirga yang mati-matian menahan diri untuk tidak berkata kasar padanya.

“Ti-tikus?” tanya Elang, tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Dia pikir dia siapa? Otak pintarnya benar-benar tidak berguna, dia bahkan tidak bisa menyaring perkataannya!” Dirga menyeru kesal.

“Apa yang salah dengan tikus terbang? Letakkan saja di dalam pesawat terbang!” maki Dirga pada Elang yang sudah menghilang dari balik pintu.

Sungguh, mengapa akhir-akhir ini banyak orang yang sangat suka membuatnya kesal. Apa ceramah panjang lebar dan pesan teks yang terus Lintang berikan padanya tidak cukup untuk mengganggu harinya. Sekarang, Elang Maharendra, siswa teladan yang sayangnya memiliki masalah dengan penyaringan ucapan itu harus turut mengusiknya juga. Dirga benar-benar mengutuk nasibnya yang benar-benar menjengkelkan ini.

-

Bagian Ketiga

Menghadapi Dirgantara Putra benar-benar membutuhkan kesabaran ekstra. Elang mengakui hal itu. Seumur hidup inilah adalah pertam kali baginya menemui orang yang sama keras kepalanya dengan dirinya, dan itu adalah hal sulit yang membuatnya ingin memaki setiap kali mengingatnya. Saat ia meminta Dirga menemuinya di perpustakaan sekolah untuk membahas tugas mereka, jangankan datang, Dirga bahkan mengabaikan seluruh pesan yang ia kirimkan. Lalu ketika Elang pergi memeriksa keberadaan Dirga di atap sekolah, seperti yang Lintang sarankan, ia hanya mendapati tempat itu kosong. Dirga memang benar-benar ingin membuatnya kesal. Sialnya itu tak hanya berlangsung sekali.

Dirga akan mengabaikan seluruh perkataan Elang setiap kali dirinya datang ke atap sekolah untuk menjelaskan perkembangan tugas mereka. Dirga akan mengabaikan apapun pesan yang dikirimkannya. Terakhir, Dirga selalu menghilang setiap kali Elang mencari keberadaannya di atap sekolah saat ia telah terlalu lama menunggunya di perpustakaan. Semua itu nyaris membuat kesabaran Elang habis. Jika saja tak mengingat tentang apa yang Lintang janjikan padanya, Elang bersumpah bahwa ia tak akan sudi melakukan hal semacam ini.

Alasan-alasan itulah yang membuat Elang pada akhirnya memutuskan untuk melakukan ini. Jika Dirga berpikir bahwa sikap menyebalkannya dapat membuat Elang menyerah, maka Dirga salah besar. Elang telah dibesarkan untuk tidak menjadi seseorang yang akan mengaku kalah dengan mudah, dan itu berlaku pada seluruh aspek kehidupannya.

Maka di sinilah Elang sekarang, di depan pintu apartemen Dirga. Tidak perlu ditanyakan tentang bagaimana ia mendapatkan alamat rumah siswa malas ini. Itu perkara mudah baginya.
Pintu terbuka beberapa saat setelah Elang menekan bel. Ketika itu, didapatinya wajah terkejut Dirga, bercampur dengan raut jengkel yang begitu kentara.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Dirga tanpa sedikitpun keramahtamahan dalam suaranya.

“Kamu tidak pernah datang setiap kali aku memintamu datang ke perpustakaan. Aku selalu berakhir mengerjakan semuanya sendirian, padahal ini tugas kelompok. Aku pikir kamu tidak terlalu nyaman dengan suasana perpustakaan sekolah, jadi aku datang untuk membahas tugas kita di rumahmu.” Elang menjawab dengan nada tenangnya yang khas, nada tenang yang membuat Dirga kesal setiap kali mendengarnya.

“Jika seseorang tidak pernah datang setiap kali kamu memintanya, bukankah artinya sudah jelas? Apa kamu tidak tahu apa yang disebut makna tersirat?” Dirga membalas dengan suara penuh penekanan, pada akhir kalimatnya, ia memperingatkan kembali ucapan Elang tempo hari.

“Ya, itu sangat jelas. Artinya kamu tidak sudi untuk datang.”

“Kalau kamu sudah tahu, lalu mengapa kamu tetap datang? Apa kamu memiliki masalah dengan otakmu?”

“Untuk memberimu pilihan.” Elang mengangkat bahunya tak acuh.

Dirga mengerutkan dahinya, tak mengerti akan kalimat yang baru saja Elang ucapkan. “Pilihan?”

“Persilahkan aku masuk lalu kita selesaikan tugas ini, karena kita, maksudnya, aku masih memiliki banyak hal untuk dikerjakan. Atau terus bersikap menyebalkan dan aku akan membalasnya seribu kali lipat,” Elang mengambil jeda pada kalimatnya, tersenyum miring sebelum melanjutkan, “Putuskanlah dengan bijak karena aku tidak pernah main-main dengan perkataanku.”

-

Elang Maharendra adalah tipikal menyebalkan yang lebih baik untuk dihindari. Setidaknya itulah yang Dirga ketahui mengenai kepribadian Elang lewat 6 tahun yang mereka habiskan sebagai rekan sekelas. Ia tak pernah tertarik untuk mengetahui lebih rinci, lagipula untuk apa? Namun sekarang, ia menyadari bahwa kenyataan yang ada benar-benar meleset dari penilaiannya saat itu. Elang Maharendra bukan hanya menyebalkan, tapi sangat menyebalkan hingga membuat Dirga ingin menendang wajahnya itu. Dan kini, orang menyebalkan itu tengah duduk di ruang tamunya dengan pandangan mengedar ke setiap sudut ruangan.

“Jadi sekarang aku berada di rumah artis terkenal Marisha Lee?” tanya Elang entah pada siapa. Bersamaan dengan itu, Dirga datang dengan dua gelas jus jeruk di tangannya.

“Siapa bilang ini rumah Marisha Lee?” Dirga balik bertanya setelah meletakkan dua gelas jus itu di atas meja. Elang menoleh, menatapnya bingung.

“Putranya tinggal di sini,” ujar Elang seraya menunjuk Dirga dengan jarinya.

“Apa anak dan ibu harus selalu tinggal bersama? Lagipula Marisha Lee punya banyak ‘tempat’ untuk kembali,” balas Dirga dingin.

Elang menghela napas pelan, sepertinya ia mengerti situasinya. “Ucapanmu agak terlalu kasar untuk seseorang yang telah bertaruh nyawa melahirkanmu,” ujarnya berkomentar.

“Apa kita hanya diizinkan mengatakan hal-hal yang baik tentang ‘seseorang yang telah bertaruh nyawa’ itu?” Dirga bertanya retoris.

Merasakan atmosfer tak menyenangkan yang tiba-tiba tercipta, Elang mengangkat tangannya,

“Oke, maaf jika pertanyaanku terlalu menyentuh wilayah pribadimu.” Elang mencoba memperbaiki keadaan dengan mengingat kembali niatnya datang ke apartemen Dirga.

“Kamu telah kehilangan kesempatan untuk memberikan pendapat, jadi aku memutuskan bahwa film dan novel yang akan kita ulas adalah Laskar Pelangi,” Elang berujar seraya mengeluarkan laptop dan sebuah diska lepas dari tasnya.

“Ulasan untuk novel sudah aku kerjakan, tapi aku belum sempat memeriksanya. Baca ulang dan perbaiki kesalahan ketik lalu buka file power point, materinya sudah lengkap, kamu hanya perlu menambah transisi dan animasi,” jelas Elang panjang lebar seraya memberikan diska lepas di tangannya pada Dirga. “Gunakan templat apapun yang kamu suka.”

Dirga menerima benda kecil berwarna perak itu dengan tatapan bingung. “Mengapa aku… harus mematuhi perintahmu?”

Elang hanya menjawab pertanyaan Dirga dengan mengangkat bahunya. “Ini kesempatan terakhirmu,” ujarnya dingin.

“Pak Lintang yang menyuruhmu?” Dirga bertanya tiba-tiba. Elang yang sudah mengalihkan pandangannya pada layar laptop kembali menoleh padanya.

“Apapun itu, kamu tidak perlu repot-repot berbuat baik. Katakan itu juga pada Pak Lintang jika beliau yang memintamu melakukan ini.” Dirga menatap Elang tepat pada iris coklatnya, atmosfer dingin tiba-tiba tercipta di antara keduanya.

Untuk sementara waktu, Elang hanya terdiam, tak memberikan tanggapan apapun atas perkataan Dirga. Hal ini lantas membuat Dirga memilih untuk beranjak dari tempatnya duduk, berniat untuk pergi sebelum suara Elang menghentikannya.

“Bagi Pak Lintang mungkin ini perbuatan baik, tapi bagiku…” Elang mengangkat kepalanya, menatap Dirga yang telah berdiri di belakang sofa yang ia duduki, “ini sama sekali bukan perbuatan baik.” Lagi-lagi Elang tersenyum miring, kali ini terdapat kesan meremehkan di dalamnya.

“Entah kamu yang terlalu naif atau memang bodoh. Dirga, apa kamu pikir aku akan dengan suka rela menghabiskan waktu untuk bersabar menghadapi orang seperti kamu?” Elang bertanya dengan penekanan pada akhir kalimatnya. “Tentu saja ini situasi memberi dan menerima.”

“Denganku?” Dirga balik bertanya.

“Dengan Pak Lintang,” jawab Elang mengoreksi. “Aku tidak tahu apa niat beliau sebenarnya. Aku hanya menilainya sebagai bentuk kepeduliaan. Dan itu membuatku sedikit tersentuh.”

“Itu di antara kamu dan Pak Lintang, tidak ada urusannya sama sekali denganku,” sahut Dirga cepat. “Jadi selesaikan saja urusanmu dengannya tanpa melibatkanku.”

“Jika saja permintaan Pak Lintang tidak ada sangkut pautnya denganmu aku pun tak akan repot-repot melakukannya. Mau bagaimana lagi?”

“Mengapa kamu sangat berusaha keras? Sebenarnya apa tujuanmu?”

“Tentu saja mendapatkan imbalan yang Pak Lintang janjikan.”

“Imbalan seperti apa yang membuatmu sekeras kepala ini?”

“Aku tidak merasa perlu memberitahumu.”

Dirga bergeming, tak tahu harus berkata apa untuk menanggapi ucapan Elang.  

-

Lintang meletakkan mug berisi coklat panas di atas meja kerjanya, menarik kursi, lalu duduk di atasnya. Tepat di hadapannya, terdapat setumpuk kertas yang hendak dibacanya. Itu adalah lembar perencanaan masa depan milik murid-murid kelas yang dipegangnya. Ketua kelas menyerahkannya pada Lintang tadi pagi.

Lintang membacanya satu-persatu, dari satu kolom ke kolom lain. Sesekali ia tersenyum ketika membaca apa yang tertulis di sana. Dalam hati, ia mengharapkan semua mimpi yang murid-muridnya ceritakan dalam lembar tersebut dapat terwujud. Ia terus membaca hingga pada satu lembar, senyum di wajahnya memudar, matanya yang semula menunjukkan binar antusias, kini berganti menjadi sorot sendu.

Dari empat kolom yang tersedia pada lembar tersebut, hanya satu kolom yang terisi, sementara kolom lain hanya terisi dengan satu garis pendek. Lalu ketika ia melihat lembar berikutnya, sorot sendunya itu berubah menjadi sorot khawatir. Tidak seperti lembar sebelumnya, seluruh kolom pada lembar ini memang terisi. Pada lembar-lembar kertas yang lain, kolom terakhir terisi dengan kalimat-kalimat yang panjang, bahkan hingga melampaui garis pembatas yang tersedia. Namun pada lembar yang satu ini, kolom berjudul “Ceritakan tentang Mimpi-Mipimu” itu hanya terisi dengan satu kalimat pendek.

Ini tak bisa disebut sebagai mimpi, saya hanya tak memiliki pilihan.

Lintang menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, lantas melepaskan kacamata yang bertengger di hidung bangirnya. Ia bersandar dengan kepala terangkat, wajahnya menatap langit-langit kamarnya. Otaknya tiba-tiba memutar ulang segala yang pernah terjadi, setidaknya selama enam bulan terakhir ini.

Lintang tak pernah bermimpi untuk menjadi seorang yang bergelut di bidang pendidikan. Menjadi guru, menghabiskan waktu bersama para siswa tidak pernah berada dalam rencana hidupnya. Keadaanlah yang membuatnya berakhir pada jalan ini.

Maka ketika ia lulus dan mendapatkan pekerjaan, ia hanya melakukan apa yang menurutnya harus dilakukan. Ia mengajar siswa, menuliskan nilai mereka di buku rapor, memberikan konsultasi seadanya, sembari berusaha keras untuk mendapat gelar pegawai negeri. Baginya guru hanya sekadar profesi, tidak kurang dan tidak lebih. Baginya tugas seorang guru hanyalah sekadar transfer ilmu pada siswa yang diajarnya. Ia melakukan semuanya semata-mata hanya agar ia tidak menerima gaji buta. Hanya itu. Sebelumnya ia tak pernah tahu bahwa guru merupakan tanggung jawab besar dan suatu pekerjaan yang mulia.

Namun segala pandangannya itu berubah ketika ia dipindah tugaskan, enam bulan yang lalu. Saat itu adalah pertama kalinya diberi beban tanggung jawab sebagai wali kelas. Menjadi wali kelas berarti bertanggung jawab penuh atas seluruh siwa kelasnya. Itu tugas yang berat, ia tahu akan hal itu. Sayangnya, ia tak bisa menolak.

Kelas yang dipegangnya berisi siswa-siswi tahun terakhir yang tengah mempersiapkan diri untuk melakukan berbagi seleksi masuk perguruan tinggi. Mereka belajar keras, membuat kelompok belajar, mengambil jam tambahan, dan hal umum lainnya. Semua itu hal-hal yang sudah Lintang duga sebelumnya. Namun ketika ia sering kali mendapati satu bangku di sudut kelas yang selalu kosong, ia mulai bertanya-tanya tentang siapa pemilik bangku tersebut.

Satu waktu ia bertanya pada salah satu siswinya mengenai pemilik bangku kosong tersebut. Siswi itu mengatakan bahwa pemilik bangku itu bernama Dirgantara Putra, siswa yang nyaris selalu absen di semua mata pelajaran. Sedikit ia mendapat cerita tentang keluarga Dirga, namun ia sendiri tak tahu tingkat kebenaran dari serita tersebut.

Ayah Dirga merupakan seorang yang duduk di kursi pemerintahan, hanya saja tersangkut berita korupsi, dan meninggal dunia di tengah proses pengadilannya lima tahun yang lalu, itu berarti ketika Dirga duduk di bangku kelas 1 SMP. Sedangkan ibu Dirga adalah seorang aktris kondang Marisha Lee, wanita campuran Indonesia-Korea. Wajah aktris itu sangat tak asing di matanya. Bagaimana tidak? Ibunya merupakan penonton setia dari seluruh serial televisi yang dibintanginya. Marisha Lee dan karya-karyanya selalu menjadi buah bibir orang banyak di akhir abad 20. Namun ia tak lagi mendengar kabar Marisha Lee, di media manapun selama sepuluh tahun terakhir. Satu-satunya berita yang ditayangkan adalah skandal hubungan-hubungannya dengan beberapa petinggi negara dan pengusaha terkenal. Ibunya yang dahulu selalu berbicara tentang Marisha Lee seolah mereka adalah saudara jauh, kini tak pernah sekalipun membahasnya.

Cerita mengenai Dirga yang dia dengar membangkitkan satu sisi simpatinya. Saat itulah, ia menyadari bahwa tugas seorang guru, lebih dari sekadar transfer ilmu, bukan sekadar perkara mencantumkan nilai atau apapun itu. Lintang menyadari bahwa memutuskan menjadi seorang guru, berarti bersedia bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi pada murid-muridnya.

Dirgantara Putra selalu menghabiskan waktu di atap gedung sekolah. Entah untuk melanjutkan mimpinya yang belum selesai, memakan berbungkus-bungkus camilan, atau menikmati matahari pagi bersama musik dari groupband yang eksis di tahun 90-an favoritnya. Pertama kali Lintang menemui Dirga, siswa dengan predikat “siswa malas” membuat atap sekolah yang sudah kumuh itu menjadi lebih mengerikan dengan bungkus-bungkus makanan ringan yang berserakan. Saat ia memberikan nasihat, siswa mala situ justru mengabaikannya, menganggap ceramah panjang lebarnya hanya sebagai angin lalu.

Kesan pertamanya terhadap Dirga membuat Lintang benar-benar mengubah seluruh pandangannya. Saat itu untuk pertama kalinya, ia memperdulikan muridnya, lebih dari ia memperdulikan dirinya sendiri. Dirga yang memiliki pandangan dangkal tentang kehidupan, yang tak memikirkan apapun selain kesenangan sesaatnya, yang tak peduli pada apa yang akan ia lakukan di masa depan, Lintang ingin membantunya mengubah seluruh pandangan itu. Entah untuk alasan apa, ia merasa menjadi orang yang paling bertanggung jawab untuk melakukan itu karena orang yang seharusnya justru memilih lepas tangan. Semua niatnya didukung dengan takdir yang membuat mereka harus hidup bertetangga.

Dirga dengan kehidupannya yang tak terarah sepertinya tidak cukup untuk menyentuh sisi simpati pada diri Lintang. Satu siswa yang selalu menjadi kebanggaan guru, siswa dengan nilai-nilai yang mengagumkan di semua mata pelajaran, siswa yang namanya nyaris selalu berada di peringkat pertama, siswa yang nyaris tak memiliki kekurangan pada dirinya, dan siswa itu bernama Elang Maharendra. Kesan pertama Lintang terhadap siswa teladan itu sama seperti guru-guru lainnya. Siswa teladan yang tak akan membua kepalanya sakit, baik karena tingkah lakunya, maupun nilai-nilainya.

Namun perlahan, ia melihat sesuatu yang lain dari diri Elang. Elang yang terlampau perfeksionis, individualis, dan kadang terkesan oportunis. Tidak peduli dijelaskan tentang betapa kompetitif dirinya itu. Lintang menilai Elang sebagai pribadi yang melakukan segala hal berdasarkan kehendaknya sendiri, ia nyaris tak pernah mendengarkan pandangan orang lain. Elang hanya menganggap rekan satu kelompoknya sebagai patung yang tak bisa berbicara. Predikat Elang sebagai siswa jenius serba bisa membuat siapapun tak bisa menentang sikapnya itu. Mengingat hal itu membuatnya kembali teringat pada pembicaraannya dengan Elang beberapa hari yang lalu.

“Elang saya meminta satu hal lagi padamu.”

“Apa itu?”

“Saat kalian mengerjakan tugas bersama, saya harap kamu bisa menanyai pendapatnya, dengarkan dan hargai itu. Jika pendapatnya bertentangan denganmu, kamu harus memberikan pengertian padanya baik-baik. Bisa kamu melakukannya?”

Saat itu Elang terdiam sebentar, nampak menimang-nimang sebelum memberikan jawaban.

“Akan saya usahakan.”

Pada awalnya, Lintang menganggap bahwa permasalahan Elang dapat diselesaikan dengan beberapa konsultasi dengannya. Namun ia justru mendapati bahwa apa yang terjadi Elang, sangat jauh dari apa yang ia perkirakan. Saat ia mendapati tatapan penuh amarah dari mata Elang setiap kali nilai ulangannya berada satu poin saja di bawah teman sekelasnya. Saat ia mendapati Elang yang entah sadar atau tidak tengah menggenggam erat-erat bolpoinnya hingga patah setiap kali peringkat paralelnya turun. Elang dengan sifat kompetitifnya yang berlebihan menyadarkannya bahwa ada yang salah dengan muridnya itu.

Satu waktu pernah Lintang mendapati Elang berdiri sendirian di belakang sekolah. Betapa terkejutnya ia ketika Elang tanpa perasaan memukul tembok bata dengan tinjunya keras-keras. Ia bahkan melihat darah mengucur dari jari-jari muridnya itu, namun Elang hanya menatap dingin, lurus ke depan, seolah luka itu bukan apa-apa baginya. Saat ia mencari tahu, alasannya hanyalah sesedarhana Elang yang melupakan sebagian materi presentasinya.

Sedikit banyak ia mencari tahu mengenai kehidupan Elang melalui data yang disediakan oleh sekolah, guru-guru lain, dan para siswa. Lintang menduga bahwa sikap Elang muncul karena penekanan dari keluarganya yang menuntut kesempurnaan. Ayah Elang adalah seorang profesor ahli bedah di rumah sakit besar, kakaknya pun bekerja di tempat yang sama sebagai profesor termuda di sana. Sementara ibunya adalah seorang dosen hukum di universitas ternama. Dengan latar belakang keluarga seperti itu, nyaris mustahil jika Elang tidak dituntut untuk melanjutkan keberhasilan mereka.

Apa yang dilihatnya beberapa hari yang lalu memperkuat dugaannya tersebut. Ketika ia mendapati tangan kanan Elang yang terbalut perban, ia khawatir jika Elang melukai dirinya sendiri lagi karena rasa tertekannya yang tak dapat ia sampaikan pada siapapun. Lintang sangat ingin membantu muridnya itu. Namun ia tidak yakin tentang cara apa yang sebaiknya ia lakukan. Bagaimana pun ia ini orang asing, turut campur akan kehidupan pribadi siswa bukanlah merupakan pilihan yang bijak.

Satu-satunya cara yang terpikirkan adalah hal yang sedang ia lakukan saat ini. Anggaplah saat ini ia tengah menerapkan salah satu hukum fisika yang menerangkan bahwa dua kutub magnet yang berlainan jenis, akan saling tarik-menarik jika diletakkan di tempat yang berdekatan.

-

Bagian Keempat

Dirgantara Putra dan Elang Maharendra adalah dua orang dengan kepribadian yang saling bertolak belakang, mereka layaknya dua kutub magnet yang berlawanan. Dirga dengan jiwa bebasnya menganggap bahwa hidup layaknya taman bermain di mana bisa melakukan apapun sesuka hatinya, tanpa aturan, tanpa pengekangan, hanya mengedepankan naluri. Sementara Elang mengekang dirinya dengan segudang aturan yang ia buat sendiri. Elang melakukan segala hal dengan berbagai perhitungan dan pertimbangan, memutuskan apapun dengan menimbang-nimbang tentang risiko dan konsekuensi apa yang akan datang di masa depan. Keduanya jelas pribadi yang sangat berbeda, tak ada yang bisa menentangnya.

Namun Lintang justru mendapati perbedaan tersebut sebagai suatu hal yang unik. Seperti menempatkan dua kutub magnet berlawanan di tempat yang sama, keduanya akan saling tarik-menarik. Lintang meyakini bahwa Dirga dengan segela kebebasan yang ia punya dapat setidaknya mengubah sedikit pandangan rumit Elang tentang hidup, sehingga ia dapat sedikit beristirahat dari segala kerja kerasnya. Lalu Dirga akan banyak belajar tentang arti kerja keras dan tekad yang kuat dari Elang. Elang akan mengajarkan Dirga untuk tidak menyerah pada masa depan, sesulit apapun situasi yang dijalaninya. Lintang berharap dua muridnya itu dapat menjad teman baik dan dapat saling mengandalkan satu sama lain.

-

“Apa saja yang kamu lakukan hingga pulang selarut ini?”

Suara tegas penuh wibawa, namun terkesan begitu tajam itu menjadi hal pertama yang menyambut kepulangan Elang. Matanya menangkap sosok pria paruh baya duduk di sofa ruang keluarga dengan selembar koran di tangannya. Ketika dua pasang obsidian serupa itu saling menatap, Guntur, sosok paruh baya yang merupakan ayah dari Elang itu melipat korannya. Guntur berdiri, berjalan menghampiri putranya yang berdiri mematung, tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya.

“Jawab pertanyaan saya, Elang Maharendra,” ujar Guntur saat dirinya telah berdiri di hadapan Elang.

“Saya mengerjakan tugas kelompok di rumah teman,” Elang menjawab dengan pandangan tertunduk.

“Entah yang kamu katakan itu kebenaran atau bukan,” balas Guntur seraya melipat kedua tangannya di dada.

“Saya tidak berbohong, Ayah bisa bertanya langsung pada-“

“Bukan itu poin pentingnya,” Guntur berujar, memotong ucapan Elang. “Bukan itu yang ingin saya bahas.”

Elang menggerakkan bola matanya, memandang ekspresi rumit di wajah ayahnya.

“Saya mendapat laporan bahwa nilai-nilaimu menurun, bukan hanya itu, kamu juga menempati peringkat dua pada beberapa mata pelajaran. Apa itu benar, Elang?” Guntur bertanya dengan mata menatap tajam tepat pada sepasang iris coklat gelap milik putranya.

Elang meneguk liurnya sendiri, mengepalkan kedua tangannya, raut tegang tergambar jelas di wajahnya, matanya kembali menatap lantai.

“Saya minta maaf, itu karena saya kehilangan fokus akhir-akhir ini. Saya berjanji akan memperbaikinya,” Elang menjawab tanpa berani menatap ayahnya.

“Itu dia masalahnya,” balas Guntur, suaranya masih tenang seperti sebelumnya, namun tatapan tajam tak juga lepas dari matanya. Atmosfer semakin terasa mencekam setiap detiknya.

“Kamu kehilangan fokusmu karena terlalu banyak melakukan hal tidak berguna,”ujar Guntur, lantas mendekatkan wajahnya pada telinga Elang, membuat tubuh putranya itu menegang. “Jangan merasa bebas hanya karena telah menyelesaikan lima semester, kecuali jika kamu dapat memberi saya jaminan bahwa kamu bisa melakukan apa yang saya dan kakakmu lakukan,” Guntur berbisik dengan penekanan pada setiap kata yang ia ucapkan.

Elang mengepalkan tangannya kuat-kuat, tak diperdulikannya kuku-kuku yang melukai telapak tangannya, tak diperdulikannya luka pada telapak tangan kanan yang belum sepenuhnya mengering, kini kembali mengeluarkan darah. Kedua tangan ayahnya mencengkeram bahunya kuat-kuat, kembali berbisik, “Kamu telah membuat saya kecewa dengan gagal masuk SMA favorit di negara ini, jika kali ini kamu gagal lagi,” Guntur menjeda ucapannnya, lantas menoleh menatap wajah tegang putranya dari samping, “Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan padamu.”

Setelah itu, Guntur melepaskan cengkeramannya, kemudian melangkah kembali ke tempat semula. Elang mengangkat kepalanya, memandang sang ayah yang kini kembali duduk tenang seolah tidak terjadi apapun. Dengan langkah cepat, ia berjalan ke arah tangga rumahnya, menaikinya, kemudian masuk ke kamarnya.

Elang berbalik setelah menutup pintu kamarnya. Kepalanya menunduk, menatap kedua tangannya yang gemetar. Ia memejamkan mata, menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan, berusaha menenangkan diri. Ia terus melakukannya berkali-kali, namun sepertinya nihil. Tangannya semakin bergetar hebat, kini diiringi rasa mual yang terasa di perutnya.

Elang berlari menuju kamar mandi di dalam kamarnya, lantas mengeluarkan seluruh isi perutnya. Itu membuat seluruh tubuhnya lemas seolah tak bertenaga. Tubuhnya jatuh menyentuh permukaan lantai yang dingin, bersandar pada dinding yang sama dinginnya. Di tengah sesak dan lelah yang ia rasakan, Elang justru tersenyum, sebuah senyuman miris. Ia ingin menertawakan dirinya sendiri. Si lemah yang menyedihkan.

-

“Ini jelas kepeduliaan, beliau mengkhawatirkanmu, itu membuatku sedikit tersentuh. Seseorang mengulurkan tangan padamu tanpa kamu minta, itu suatu hal yang harus kamu syukuri. Jika kamu tidak bisa melakukannya untuk dirimu sendiri, lakukanlah setidaknya untuk menunjukkan rasa terima kasih pada orang yang menaruh peduli padamu.

“Aku tidak mengguruimu, ini hanya saran. Tapi aku pikir, jika hari nuranimu masih ‘berfungsi dengan baik’ kau akan mempertimbangkannya. Semuanya terserah padamu.”

Elang mengatakan itu sesaat sebelum dirinya meninggalkan apartemen Dirga. Sejak satu jam yang lalu, ucapan itu terus terngiang di kepala Dirga, seolah memberinya peringatan agar tidak mengabaikannya. Dirga mengacak rambutnya frustasi karena hal itu. Kemudian, entah apa yang berada di pikirannya, Dirga mengambil diska lepas yang tadi Elang berikan padanya, lalu memasangkan benda kecil itu pada laptopnya.

-

Sepasang mata yang semula terpejam itu sontak terbuka ketika tiba-tiba saja suara keras yang berasal dari benda hitam berbentuk persegi panjang itu masuk ke dalam indera pendengarannya. Lelaki bersurai madu itu mengangkat kepalanya, menampakkan wajahn mengantuknya. Ia menguap sekali sebelum merentangkan kedua tangannya, meregangkan tubuhnya yang terasa pegal karena tertidur di tempat yang seharusnya.

Saat kesadarannya telah terkumpul, Dirga menatap sekitarnya dengan sorot bingung, kemudian menatap laptop yang terbuka di hadapannya dengan wajah terkejutnya. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang.

“Apa aku baru saja… tidak sengaja tertidur karena mengerjakan tugas?” tanya Dirga entah pada siapa. “Aku?” Dirga menunjuk dirinya sendiri, matanya menatap pantulan wajahnya pada layar laptop yang mati.

“Wah!” Dirga berseru seraya menepuk tangannya. “Ini sulit dipercaya! Benar-benar sulit dipercaya.”

-

Ketika pintu atap sekolah terbuka, Elang hampir tak mempercayai apa yang dilihatnya. Ia terdiam di tempat, mengerjapkan matanya berkali-kali untuk memastikan bahwa yang ia lihat saat ini bukanlah bagian dari halusinasinya. Bagaimana tidak, saat ini ia mendapati sosok Dirgantara Putra duduk dengan mata menatap serius pada laptop di hadapannya. Elang nyaris menampar wajahnya sendiri untuk meyakinkan dirinya tentang apa yang matanya lihat itu, jika saja Dirga tak menoleh, mendapati keberadaannya, lantas memberinya tatapan angkuh.

“Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Dirga dingin.

Sadar bahwa ia hampir saja melakukan melakukan hal bodoh, Elang langsung menyadarkan dirinya sendiri. Ia mengembalikan wajah datar dan sorot dingin yang biasa ia tunjukkan, kemudian berjalan menghampiri Dirga yang kembali fokus pada laptopnya.

Elang berdiri di samping Dirga, turut melihat pekerjaannya. Ketika dilihatnya Dirga justru membuat bentuk-bentuk abstrak pada halaman power point di laptopnya, bukan memasukkan tulisan-tulisan yang sudah ia buat, Elang mendekatkan wajahnya pada layar laptop Dirga. Matanya membulat melihat bentuk-bentuk abstrak yang Dirga buat, karena itu justru sangat menarik di matanya.

“Sebenarnya apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Dirga, merasa terganggu dengan gerakan Elang yang tiba-tiba.

Elang mengangkat kepalanya, menatap Dirga dengan sorot takjub. Mata besarnya membulat sempurna, sementara mulutnya menganga. Ini adalah satu-satunya ekspresi lain yang Dirga lihat dari wajah Elang, selain raut angkuhnya yang sungguh menjengkelkan itu.  “Templatnya. Alih-alih mengunduh dari internet atau menggunakan yang sudah ada, kamu justru membuatnya sendiri?” tanya Elang dengan nada tak percaya.

Dirga hanya menggangguk sebagai jawaban.

Elang kembali mendekatkan wajahnya pada laptop Dirga, melihat hasil pekerjaannya. Siswa teladan itu tak berhenti berdecak kagum pada setiap halaman yang dilihatnya. Hal itu entah mengapa membuat satu sudut dalam hati Dirga tersentuh. Ia tak ingat kapan terakhir kali seseorang memberikan reaksi seperti itu atas hasil pekerjaannya.

Melihat Elang yang masih betah memandangi hasil karyanya membuat Dirga tersenyum jahil, “Apa kamu baru saja merasa kagum?” tanya Dirga dengan wajah tengilnya.

Pertanyaan Dirga seolah menyadarkan Elang. Ia menjauhkan wajahnya, lantas mengembalikan ekspresinya yang angkuh. “Aku?” tanya Elang seraya menunjuk dirinya sendiri, ia tertawa hambar setelahnya. “Mengapa aku harus?”

Dirga mendengus keras, sudah menduga akan reaksi yang akan Elang berikan. Tanpa berkata apapun lagi, ia kembali fokus pada laptopnya. Untuk sesaat, dua orang sebaya itu membiarkan hening menyelimuti atmosfer yang tercipta.

“Tapi itu tidak buruk juga,” ujar Elang memecah keheningan. “Kamu bisa jadikan itu sebagai pekerjaan.”

Dirga menghentikan gerakan tangannya, kepalanya kembali menoleh, menatap Elang. “Maksudnya?” tanya Dirga bingung.

“Kalau kamu tidak tertarik untuk merencanakan masa depan, jadikan saja ini sebagai ladang uangmu,” jawab Elang. “Setidaknya lakukanlah hal yang berguna.”

“Jadi maksudmu, selama ini… aku hanya melakukan hal-hal yang tak berguna?” Dirga bertanya lagi.

“Apa kamu tidak menyadarinya? Astaga betapa kacaunya kamu ini. Apa kamu pikir itu hal yang berguna?” Elang menunjuk ponsel Dirga yang tergeletak di samping laptopnya. “Lalu  itu! Itu! Itu!” Elang berseru seraya menunjuk earphone yang tersambung pada ponsel Dirga, lalu pada sebungkus makanan ringan di atas meja, dan pada beberapa bungkus makanan ringan yang berserakan di lantai.

“Apa kamu tidak tahu seberapa sering kota ini mengalami banjir karena perilaku tidak bertanggung jawab ini?” tanya Elang dengan suara yang agak meninggi. “Perbanyaklah literasi agar pengetahuanmu kaya, lalu hiduplah dengan memperdulikan sekitarmu.”

“’Hiduplah dengan memperdulikan sekitar’, kalimat itu lebih tepat ditujukan untukmu,” cibir Dirga, kemudian melanjutkan pekerjaannya. Diabaikannya raut protes yang Elang tunjukkan.

Tanpa keduanya sadari, seseorang mengawasi interaksi mereka sejak tadi. Satu lengkungan kurva terbentuk di wajah orang itu, menunjukkan senyum lega.

-

Bagian Kelima

“Ikan di freezer sudah dibumbui, kamu hanya tinggal menggorengnya sebelum memakannya, semua tumisan sayur ada baris satu, telor balado dan ayam kecap di baris dua, di pintu baris dua dari bawah ada yoghurt buatan kakakmu, dan di bawahnya Mama menyimpan beberapa susu coklat.”

Lintang tersenyum geli mendengar penjelasan panjang lebar yang ibunya sampaikan. Ia menyandarkan punggungnya pada dinding lift, kemudian memindahkan letak ponsel ke telinga kirinya. “Apa Mama dan Papa baru saja merayakan ulang tahun pernikahan? Mengapa Mama memasak begitu banyak makanan?”

“Ya… seharusnya tahun ini Mama merayakan hari pernikahan putra bungsu Mama yang sangat sulit untuk ditemui.”

Mendengar ucapan ibunya, Lintang hanya memutar bola matanya jengah. Astaga, ini topik yang agak sensitif untuknya. Mengapa ibunya itu tiba-tiba membahasnya? Meski begitu, seulas senyum masih terus berada di wajahnya.

“Tidak ada komentar untuk itu,” ujar Lintang dengan nada datar, namun diiringi tawa ringan setelahnya. “Terima kasih untuk makanannya. Titip salam untuk Papa dan Mbak Laisa.”

“Ya… jaga dirimu baik-baik dan makan dengan teratur. Mengerti?”

“Ya… sangat dimengerti,” Lintang menyahut, kemudian panggilan telepon berakhir. Bersamaan dengan itu, pintu lift terbuka, Lintang melanglah keluar.

Ketika Lintang hendak menekan sandi rumahnya, suara pintu terbuka dari belakang tubuhnya membuat niatnya urung. Ia membalikkan badannya, lantas mendapati sosok Dirga dengan setelan rumahnya. “Oh! Dirga? Apa yang kamu lakukan di luar malam-malam begini?” tanya Lintang.

“Tidak ada, dan ini tidak terlalu malam sehingga saya memang benar-benar harus berada di dalam rumah,” jawab Dirga tak acuh, mengabaikan keramah tamahan yang Lintang tunjukkan seperti biasanya.

“Kapan kamu bisa memperbaiki sikapmu ini?” cibir Lintang pelan, namun tidak sepelan itu karena objek cibiran di hadapannya itu masih dapat mendengar ucapannya.

“Kalau begitu selamat malam dan selamat beristirahat,” ujar Dirga, mengabaikan perkataan Lintang sebelumnya, ia menunduk singkat, hendak berjalan pergi. Namun suara Lintang menginterupsinya.

“Apa kamu sudah makan malam?” tanya Lintang tiba-tiba. “Haruskah saya mengundagmu untuk makan malam bersama?” Lintang menaikkan sebelah alisnya, tersenyum tipis seraya menunjuk rumahnya sendiri dengan ibu jari.

Dirga terdiam sejenak sebelum menjawab, “Maaf tapi saya tidak la-“

Kemudian suasana hening. Keduanya terdiam dengan wajah yang menunjukkan  raut berbeda. Dirga mengutuk dirinya sendiri, mengapa suara perutnya yang memalukan harus muncul di saat yang tidak tepat seperti ini?

“Hei… lihat siapa yang berbohong di sini,” Lintang berujar dengan menahan senyum gelinya.

Sementara Dirga berdehem pelan, bersikap seolah kejadian tadi tidak berefek apapun pada dirinya. “Mungkin lain kali,” balasnya. “Karena sekarang saya harus menemui siswa teladan utusan Bapak.”

“Utusan?” Lintang mengerutkan dahinya bingung.

“Ya, siswa yang sekarang berdiri di belakang Bapak.”

Lintang membalikkan badannya, mengikuti arah jari telunjuk Dirga. Saat itu didapatinya sosok Elang tak jauh dari tempatnya berdiri. Elang berdiri menatap dua orang di depannya itu dengan sorot bingung. Tak mengerti mengapa Dirga tiba-tiba menunjuknya, ditambah ekspresi terkejut di wajah Lintang ketika pandangan mereka bertemu. Dan yang lebih membingungkan adalah fakta bahwa ia mendapati Lintang berada di lantai gedung apartemen yang sama dengan Dirga. Apa mereka bertetangga? Begitu pikirnya.

Sementara Lintang masih bertahan dengan ekspresi terkejutnya. Sejak kapan Elang berdiri di sana? Apa dia menggunakan tangga darurat? Mengapa ia tak mendengar suara lift saat pintunya terbuka?

Lintang tertawa canggung, menatap Dirga dan Elang bergantian. “Saya tidak tahu jika kalian sedekat ini sampai Elang mengunjungi rumah Dirga malam-malam begini.”

“Memangnya ini ulah siapa?” tanya Dirga retoris.

“Hei… kalian memang harus akrab karena berada di kelas yang sama. Tugas yang saya berikan pasti benar-benar membantu memperbaiki hubungan perteman kalian,” Lintang menyahut percaya diri, membuat Dirga memutar bola matanya.

“Tidak ada yang perlu diperbaiki, dan…” Dirga menatap Elang yang terdiam di tempat, hanya menjadi penyimak percakapannya dengan Lintang. “Kami bahkan tidak berteman.”

“Astaga, lihat anak nakal ini,” Lintang kembali mencibir, lagi-lagi dengan suara yang masih bisa didengar oleh objek cibirannya.

“Apapun itu, karena Elang sudah ada di sini, akan lebih baik jika kita makan bertiga bukan? Kalian bisa membahas tugasnya di dalam sambil menunggu saya membersihkan diri. Saya akan dengan senang hati membantu pekerjaan kalian. Bagaimana ide bagus bukan?” Lintang menawarkan dengan senyum lebar di wajahnya, sangat berlawanan dengan raut wajah yang dua muridnya itu tunjukkan.

“Tidak juga.”

“Mengapa kami harus?”

Dirga dan Elang menyahut di waktu yang bersamaan.

“Ya Tuhan… lihat anak-anak ini.”

-

Pada awalnya, Elang berpikir bahwa kepedulian yang Lintang tunjukkan pada Dirga hanyalah berdasarkan rasa kasihan saja. Cerita keluarga Dirga yang rumit, yang diketahui oleh hampir seluruh penghuni sekolah mereka, mungkin membangkitkan sisi simpati Lintang, setidaknya sebagai seorang guru. Namun mendapati apa yang dilihatnya hari ini, Elang merasa ia terlalu cepat menilai. Interaksi yang berlangsung antara keduanya memang berlangsung dingin dan agak kaku, namun terkesan nyaman dan alami di saat yang bersamaan. Kini ia mulai mengerti tentang alasan Lintang meminta ‘bantuannya’. Ini jelas kepedulian, murni kepedulian.

‘Ide tidak bagus’ yang beberapa saat lalu Lintang tawarkan justru membawa dua siswa dengan kepribadian bertolak belakang itu berada di sini, di dalam tempat tinggalnya. Jika Elang adalah seorang pendebat yang baik, maka Lintang adalah seorang pembujuk yang sangat baik. Gurunya yang gemar ‘memaksa’ itu pada akhirnya berhasil ‘menyeret keduanya masuk.

“Apa kamu tertarik pada bunga atau tertarik pada lukisan?” tanya Dirga pada Elang yang sedari tadi begitu betah memandangi lukisan bunga-bunga kecil yang terpajang di dinding ruang tamu Lintang. Dirga tidak tahu jenis bunga apakah itu, sekilas formasinya mengingatkannya pada salah satu jenis sayuran… entahlah, Dirga juga tidak yakin karena ia sendiri tidak ingat nama jenis sayuran itu. Untuk apa juga pembenci sayur harus menghafal nama-sama sayuran.

Elang menoleh pada Dirga yang telah berdiri di sampingnya, menatapnya sejenak sebelu kembali mengalihkan pandangannya pada objek semula. 

“Tidak keduanya,” jawab Elang singkat, namun langsung menambahkan karena merasa bahwa jawabannya tidak akan membuat Dirga puas. “Hanya sedang menebak-nebak, dari semua jenis bunga, mengapa harus hydrangea yang harus dijadikan pajangan.”

Hydrangea?” ujar Dirga mengulangi. Ia ingat sekarang, jadi bunga mirip kembang kol itu bernama hydrangea. Apa itu bahasa asing? Apa bunga itu tidak berasal dari dalam negeri? Dirga agak penasaran, namun tidak tertarik untuk mengajukan pertanyaan.

“Sebenarnya tidak ada alasan khusus, saya hanya menyukai makna yang ditunjukkan dari bunga itu.”

Dirga dan Elang menoleh di waktu yang bersamaan. Keduanya mendapati Lintang berdiri di belakang mereka, kini dengan pakaian rumah dan handuk yang tersampir di lehernya. Elang lagu-lagi mengembalikan pandangannya pada objek yang sejak tadi menarik perhatiannya. “Ucapan terima kasih yang besar?” tanya Elang retoris.

Tentu saja Elang mengetahui makna dari bunga hydrangea itu. Ibunya selalu mendapatkan buket bunga-bunga kecil itu setiap tahun. Pernah sekali ia bertanya akan alasannya. Mengapa hydrangea? Mengapa bukan bunga mawar saja yang umum orang gunakan untuk mengekspresikan perasaannya?

“Lukisan bunga hydrangea seperti sebuah motto yang mengingatkan saya untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama, untuk selalu memberi bantuan pada semua orang selagi kita bisa,” Lintang menjeda ucapannya, menarik napas lalu menghembuskannya perlahan, “Itu memberi pengajaran yang mengingatkan saya setiap hari.”

Elang tak melepaskan pandangannya dari lukisan di hadapannya, ia terlihat hanya memperdulikan itu. Namun sebenarnya ia menyimak satu-persatu kata yang keluar dari bibir Lintang. Bunga hydrangea melambangkan ucapan terima kasih yang besar, itulah yang ia ketahui, sebenarnya hanya sekadar menambah pengetahuannya saja, bukan untuk memahami maknanya. Ia tak pernah tahu bahwa ucapan terima kasih yang disampaikan melalui hydrangea menyimpan makna yang begitu mendalam.

Dirga yang sejak tadi tidak turut serta pada percakapan Elang dan Lintang, diam-diam menyimpan baik-baik bentuk bunga yang dilihatnya dalam memorinya, bersamaan dengan makna menyentuh yang dilambangkan melalui formasinya yang unik.

-

“Saya akan mengembalikan lembar perencanaan masa depanmu dan memberi kamu kesempatan untuk memperbaikinya,” ujar Lintang tiba-tiba, sesaat setelah lift yang membawa Elang turun tertutup.  

Dirga menoleh, menatap Lintang yang berdiri di sampingnya dengan pandangan bingung. “Saya merasa bahwa tidak ada isi yang harus saya perbaiki.”

Lintang memalingkan pandangannya, membalas tatapan Dirga. Matanya menunjukkan sorot serius, begitu berbeda dengan sorot yang tadi ia tunjukkan saat makan malam berlangsung. Bibirnya membentuk sebuah senyuman asimetris saat berkata, “Itu karena kamu hanya mengisi kolom nama.”

“Itu sangat sesuai dengan apa yang saya pikirkan tentang masa depan saya. Tidak rencana apapun, biarkan saja mengalir seperti air,” balas Dirga tenang.

“Apa kamu pikir ini lelucon? Sampai kapan kamu akan hidup seperti ini?” Lintang bertanya dengan suara yang sedkit lebih tinggi dari sebelumnya. Hal ini lantas membuat Dirga berdecak pelan, ia mengubah posisinya, kini berdiri menghadap gurunya itu.

“Biarkan saya bertanya satu hal pada Bapak,” ujar Dirga dengan mata yang menatap Lintang sama seriusnya. “Mengapa Bapak berbuat sejauh ini? Saya bukan keluarga atau kerabat dekat Bapak, bukankah kepedulian yang Bapak tunjukkan ini terkesan terlalu berlebihan?” tanya Dirga, pertanyaan yang sebenarnya sudah sejak lama ingin ia ketahui jawabannya.

Lintang terdiam sejenak, sedikit tak menduga jika Dirga akan mengajukan pertanyaan itu. Satu helaan napas terdengar, kini iris legamnya itu menatap sosok di hadapannya dengan sorot sendu. “Karena kamu mengingatkan saya pada diri saya di masa lalu. Kamu bermain-main seumur hidupmu, menganggap masa depan hanyalah bagian dari delusi. Hal yang saya khawatirkan adalah ketika suatu saat di masa depan, kamu akan menyesal karena mengecewakan orang-orang yang berharga bagimu, mereka yang memperdulikanmu, dan menaruh harapan yang besar terhadapmu. Saat waktu seperti datang, tidak akan ada yang bisa kamu lakukan karena waktu tidak akan bisa berjalan mundur.”

“Lagipula tidak ada seorang yang berharga bagi saya. Orang tidak waras mana yang menaruh harapan pada orang seperti saya?” Dirga membalas perkataan Lintang dengan suara rendah, matanya menatap tajam lurus ke depan, sementara bibirnya menyugingkan senyuman sinis, seolah meremehkan dirinya sendiri.

“Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri? Bukankah kamu bertahan sampai sekarang karena menganggap dirimu sendiri berharga?” tanya Lintang, sebuah pertanyaan yang serupa tamparan tak kasat mata baginya.

“Ini jelas kepeduliaan, beliau mengkhawatirkanmu, itu membuatku sedikit tersentuh. Seseorang mengulurkan tangan padamu tanpa kamu minta, itu suatu hal yang harus kamu syukuri. Jika kamu tidak bisa melakukannya untuk dirimu sendiri, lakukanlah setidaknya untuk menunjukkan rasa terima kasih pada orang yang menaruh peduli padamu.”

-

Bagian Keenam

Suami Terkait dengan Skandal Aktris Marisha Lee, Istri Direktur PT. Semesta Angkat Bicara

Terlibat Skandal dengan Direktur PT. Semesta, Mari Mengingat Kembali 5 Tokoh Berpengaruh yang Pernah Terlibat Skandal dengan Marisha Lee

5 Skandal Kedekatan Aktris Marisha Lee dengan Orang-Orang Berpengaruh di Indonesia

Satu helaan napas berat terdengar ketika mata Dirga membaca satu-persatu judul artikel yang tertera di layar laptopnya. Dirga menyandarkan punggung lelahnya pada sandaran kursi, lantas memejamkan matanya, membiarkan seluruh pikiran berkecamuk dalam benaknya. Ia tak tahu apa yang berada dalam hatinya sekarang ini. Ia khawatir dan marah di saat yang bersamaan, namun perasaan itu berada di antara rasa kecewa yang sangat sulit untuk ia hilangkan. Tidak, Dirga tidak membernci ibunya, sama sekali tidak. Bukankah orang mengatakan bahwa pada akhirnya anak dan ibu tak akan benar-benar saling mengabaikan? Pertalian darah dan ikatan batin yang terlampau kuat tak akan pernah dapat ditembus bahkan oleh rasa kecewa yang besar. Bukankah sangat hiperbolis? Namun Dirga mengakui bahwa hal itu adalah kebenaran. Karena tidak peduli berapa banyak rasa sakit yang ibunya tinggalkan ketika ia justru harus menghadapi banyak kesulitan seorang diri, Dirga tak akan pernah bisa membenci ibunya, bahkan hanya untuk mengabaikannyapun sangat sulit untuk ia lakukan.

Dirga membuka matanya, menampilkan sorot sendu yang begitu kentara. Dengan ragu ia meraih ponselnya, menyalakannya, kemudian menekan ikon kontak di sana. Ketika ditemuinya kontak bernama “Mama”, rasa ragu dalam hatinya semakin membesar. Hati dan pikirannya menimbang-nimbang tentang apa yang sebaiknya ia lakukan. Haruskah ia menghubungi ibunya? Lalu apa yang harus ia katakan? Menanyakan kabar? Mereka bahkan terlalu canggung untuk itu.

Setelah lama berpikir, sekalipun rasa ragu masih bersarang di hatinya, pada akhirnya Dirga memilih untuk menekan kontak ibunya itu, kemudian meneleponnya. Nada sambung terdengar sesaat setelahnya, Dirga menunggu dengan hati yang risau dan bingung. Otaknya berpikir keras tentang apa yang harus ia katakan ketika ibunya menjawab panggilannya itu.

“Halo.”

Dirga bergeming, tak tahu harus berkata apa ketika suara lembut itu didengarnya. Suara yang sejatinya begitu ia rindukan. Saat ini Dirga merasa seolah seseorang tengah meremas hatinya keras-keras. Ia merasakan sesak di dadanya, bibirnya terasa kelu, dan otaknya teraa kosong. Entah sejak kapan air mata jatuh, meluncur melintasi pipinya tanpa tahu malu.

“Halo.”

Suara itu kembali terdengar, Dirga tak lagi sanggup menghadapinya. Ia menjauhkan ponselnya dari telinga, hendak memutuskan panggilan. Namun ia mengurungkan niatnya itu ketika ibunya kembali bersuara.

“Halo? Dirga?”

Dirga tak bersuara, memilih kembali mendekatkan ponsel pada telinganya. Seraya  suara ibunya kembali terdengar, ia berusaha mengendalikan dirinya.

“Dirga, tolong jangan putuskan panggilannya dulu. Mama… ada banyak hal yang ingin Mama sampaikan padamu, Nak.”

Suara itu begitu lembut seperti angin sore yang membelai kulit. Namun tidak peduli selembut apa suara itu, setenang apa nada bicara itu, sulit menarik kesimpulan bahwa si pemilik suara tengah berada pada keadaan baik-baik saja. Segalanya terlalu terbaca, satu bentuk kamuflase yang amatir.

“Bagaimana kabarmu Dirga? Mama sangat merindukanmu. Maafkan Mama karena tidak memiliki keberanian untuk menemuimu. Mama tahu tentang seberapa besar rasa kecewa yang Mama berikan padamu, pasti sangat sulit bagimu memaafkan Mama, Mama memang tak termaafkan. Tapi Dirga, Mama harap kamu tak pernah melupakan bahwa Mama menyayangimu, itu tak pernah berubah. Mama hanya…”

Dirga mengepalkan tangannya kuat-kuat ketika isakan samar terdengar di telinganya.

“Mama hanya terlalu pengecut untuk menghadapi semuanya. Mama terlalu lemah untuk itu hingga tidak sadar bahwa itu hanya melukaimu. Apa kamu… hidup dengan baik? Mama harap begitu, Mama tahu bahwa kamu dapat menghadapi apapun yang terjadi dalam hidupmu. Mama tahu, meskipun kamu sendiri, kamu cukup kuat untuk menghadapi segala kesulitan yang datang. Jadi, hiduplah dengan baik dan berbahagialah. Segala hal menyakitkan yang pernah terjadi, Mama harap kamu dapat melupakannya dan melanjutkan hidupmu. Tolong… jalani hidupmu sebaik mungkin.”

Dirga mengumpulkan keberaniannya, berusaha sekuat mungkin. Dengan suara bergetar, ia mulai bersuara, mengakhiri pembicaraan sepihak yang sejak tadi ibunya lakukan. “Aku… hidup dengan baik.”

Hening berlangsung untuk beberapa saat.

“Syukurlah.”

Dirga dapat mendengar helaan napas lega dari bibir ibunya. Entah mengapa hatinya meyakini bahwa saat ini, ibunya tengah tersenyum. Ia merasa lega untuk itu.

“Maka dari itu, Mama juga harus hidup dengan baik,” ujar Dirga, masih dengan suaranya yang bergetar. Air matanya kembali jatuh, dan terus jatuh, tidak peduli sekuat apapun ia menahannya.

“Iya, Mama berjanji. Jadi… bisakah kamu memberi Mama kesempatan? Untuk memulai semuanya dari awal. Untuk menebus kesalahan Mama.”

Kepala Dirga menengadah, mencoba mencegah jatuhnya air mata yang terasa memenuhi kelopak matanya. Ia menggigit bibirnya sendiri, berusaha menyembunyikan isakannya. Saat ini yang berada di pikirannya adalah keinginan untuk kembali ke masa lalu. Saat di mana ia masih dapat merasakan hidup di antara keluarga yang harmonis. Dirga ingin kembali pada masa di mana ia menangis keras saat temannya merebut mainan yang ia suka. Saat ia bisa menangis meraung-raung di pelukan ibunya seraya mencurahkan segala yang ada dalam hatinya pada ibunya. Menyampaikan semuanya tanpa beban. Ia ingin melakukan itu. Namun, ia menahan diri. Penahanan itulah yang membuat dadanya terasa sesak luar biasa.

“Hal seperti itu…” Dirga menjeda ucapannya, menutup mulutnya, “Seharusnya kita bicarakan secara langsung… di waktu yang tepat. Jadi… bisa Mama menunggunya sebentar lagi?”

“Tentu saja, tentu saja Mama bersedia.”

Dirga dapat mendengar keharuan dalam suara itu. Saat itu, untuk pertama kalinya setelah waktu yang lama, ia merasakan satu sudut dalam hatinya yang kosong, kini kembali terisi dengan kehangatan yang tak bisa ia jelaskan hanya sekadar melalui kata-kata.

-

Bekas merah masih terlihat cukup jelas di pipi putih Elang. Ingatan ketika satu tamparan dari tangan ayahnya mendarat di wajahnya, masih segar di pikirannya. Itu terus berputar di benaknya layaknya kaset rusak. Panas dan perihnya masih terasa, namun Elang memilih untuk abai. Lagipula ini bukan pertama kalinya.  

Di bawah langit malam yang kelam, di atas atap sebuah gedung tinggi, Elang duduk bersandar pada tembok yang dingin. Pikirannya berkecamuk hingga dingin yang menembus permukaan kulitnya hingga ke tulang itu diabaikannya. Otaknya memutar ulang tentang apa saja yang pernah terjadi selama 18 tahun hidupnya.

Dulu, ketika seragam merah putih masih melekat di tubuh kecilnya, sering kali ia ditanya mengenai apa yang ingin ia lakukan ketika ia dewasa nanti. Cita-cita apa yang ia inginkan. Nyaris setiap hari sebelum bel pulang sekolah berbunyi, gurunya akan meminta satu-persatu anak menceritakan tentang masa depan seperti apa yang mereka inginkan. Semua anak menceritakannya dengan bangga, dengan kalimat-kalimat polosnya.

Elang merindukan masa-masa seperti itu. Waktu di mana orang-orang dewasa menanyakan padanya tentang apa yang ingin ia lakukan. Ketika ia bisa bebas menyatakan apa yang berada di pikirannya, apa yang ia inginkan, tidak peduli sekonyol apapun itu. Ia akan didengarkan dan dihargai. Kemudian mereka akan memberikan respon yang membuatnya merasa seolah apa yang ia harapkan akan benar-benar terwujud di masa depan. Elang ingin kembali pada momen-momen seperti itu.

Elang menyadari bahwa semakin ia tumbuh, pertanyaan akan cita-cita itu semakin jarang ia dengar. Lalu seiring berjalannya waktu, itu benar-benar menghilang, tanpa meninggalkan bekas. Alih-alih menanyakan tentang apa yang ia inginkan, orang-orang dewasa justru memerintahnya untuk melakukan ini dan itu, guna memenuhi keinginan dan ambisi mereka yang tiada habisnya. Orang tua yang ingin ia jadikan tempat berpegang, justru menjadi pelaku utama dari perbuatan itu.

Elang merasa bahwa ia telah menjalani hidup yang benar-benar menyedihkan. Pencapaian dan pengakuan yang mati-matian berusaha ia dapatkan seolah tak berarti apa-apa. Entah untuk alasan apa, ia merasa bahwa semua itu justru menghancurkannya perlahan, seperti piala beracun. Ia telah hidup dengan didikan bahwa menempati posisi teratas dari piramida sosial adalah segala-galanya. Ia telah hidup dengan mengedepankan keserakahan, ketamakan, serta ego yang tinggi. Dan semua itu membuatnya muak, bahkan pada dirinya sendiri.

Di tengah segala kerumitan yang menghampiri benaknya, Elang mengeluarkan satu bungkus rokok dan sebuah pemantik dari satu jakenya. Ia mengeluarkan satu batang dan membakar ujungnya. Ketika asap mulai muncul, Elang terbatuk pelan. Perlahan, ia dekatkan ujung tembakau itu ke bibirnya, menghisapnya pelan-pelan. Namun pada detik berikutnya, ia justru terbatuk keras. Paru-paru sehatnya pasti merasa tidak familiar dengan suatu zat asing bernama nikotin.

Elang menjauhkan rokok itu dari bibirnya, masih terbatuk. Kemudian lama-kelamaan, secara tiba-tiba, tanpa aba-aba, satu isakan pelan muncul dari bibirnya. Isakan-isakan yang terus terdengar, lantas berubah menjadi raungan keras yang memilukan. Seperti bocah kecil yang kehilangan ibunya di tempat ramai yang asing, seperti nenek tua renta yang tertinggal sendiri oleh anak cucunya, seperti seorang yang telah kehilangan seluruh dunianya, Elang menangis keras. Tangannya mengepal, meremas rokok yang dipegangnya, mengabaikan panas yang telapak tangannya rasakan. Ia tahu bahwa kulitnya mungkin terbakar dan melepuh, namun ia tak memperdulikannya.

-

Lintang menutup kembali pintu mobilnya, mengurungkan niat untuk masuk ketika dari kejauhan, matanya menangkap sosok yang tak asing. Ia memicingkan matanya, memastikan bahwa penglihatannya tidak salah. Sosok itu berjalan semakin mendekati tempatnya berdiri. Lintang membulatkan matanya karena terkejut ketika mendapati bahwa sosok yang dilihatnya itu adalah Elang. Keterkejutannya bertambah saat melihat betapa kacaunya Elang sekarang. Muridnya itu berjalan dengan tatapan yang kosong, matanya terlihat sembab dengan pipi yang bengkak, sangat jauh dengan Elang yang biasa Lintang lihat di sekolah.

Mengedepankan rasa khawatirnya, Lintang berlari menghampiri Elang, membuat muridnya itu terkejut ketika tiba-tiba saja ia berdiri menghalangi jalannya.

“Elang? Ada apa? Apa kamu baik-baik saja?” tanya Lintang dengan nada khawtair yang begitu jelas terdengar. Kedua tangannya memegang bahu Elang, matanya meneliti seluruh tubuh Elang, memastikan tidak ada bagian tubuhnya yang terluka. Namun ketika pandangannya melintasi bagian lengan Elang, ia mendapati sesuatu yang janggal di sana. Maka ia meraih tangan Elang, lantas mendapati luka bakar di telapak tangan muridnya itu.

Lintang membeku di tempatnya, matanya beralih menatap wajah kacau Elang. Sementara yang ditatap hanya membalasnya dengan pandangan kosong. Wajah Elang tak menunjukkan emosi apapun. Sosok di hadapan Lintang ini nyaris seperti patung hidup, seolah jiwa telah meninggalkan raganya.

“Elang…” gumam Lintang lirih. Rasa khawatir di hatinya kini bersatu padu dengan rasa takut yang muncul tanpa alasan. Luka di tangan Elang, mustahil jika itu bukan unsur kesengajaan. Hatinya meyakini bahwa Elang sendirilah pelakunya, seperti sebelum-sebelumnya.

-

Bahkan setalah Lintang menyelesaikan pengobatan pada luka di tangan Elang, muridnya itu masih enggan untuk membuka mulutnya. Lintang ingin untuk terus bertanya, ingin memastikan dugaannya tentang apa yang terjadi. Namun ia memilih urung. Jika dugaannya benar, maka bagaimana pun ia bertanya, Elang tak akan pernah menjawabnya.

“Entah sejak kapan kamu mulai seperti ini. Saya juga tak tahu tentang efek apa yang kamu dapatkan setelah melakukan hal seperti ini. Tapi Elang, ini jelas salah, saya yakin kamu pun tahu hal itu dengan sangat jelas,” ujar Lintang, matanya menatap Elang dengan sorot sendu.

Elang menoleh, membalas tatapa Lintang tepat pada iris legam gurunya itu. “Tidak bisakah… Bapak berpura-pura saja bahwa Bapak tak tahu apapun?” tanya Elang dengan suara bergetar, sorotnya dingin, namun matanya berkaca-kaca.

“Soal apa?”

“Betapa menyedihkannya saya. Reaksi yang Bapak tunjukkan sekarang, cukup untuk menjelaskan bahwa apa yang Bapak ketahui, bukan sekadar apa yang Bapak lihat hari ini.”

Lintang menghela napas pelan. “Apa bagimu kamu menyedihkan? Bagi saya kamu hanya berusaha terlalu keras. Kamu menekan dirimu sendiri dan mengabaikan fakta bahwa itu telah melebihi batas kemampuanmu. Sayangnya kamu hidup di antara orang-orang yang sama-sama mengabaikan batas itu. Maka kamu yang harus mengatakannya sendiri. Katakan sakit jika itu memang menyakitkan, katakan bahwa itu melelahkan jika kamu tak lagi sanggup melakukannya, jujurlah dan terima bahwa kamu manusia seperti yang lainnya. Ada batas-batas dalam dunia ini, yang tak akan bisa kamu tembus sekeras apapun kamu mencobanya.

“Itu sulit, saya tahu itu. Banyak orang lebih suka ‘berbicara’ dan ‘mendengar’. Tapi saya tidak ingin menjadi orang seperti itu. Jadi saya harap sekalipun tak bisa memberikan perubahan signifikan, saya harap kamu mengizinkan saya untuk mengulurkan tangan.”

Perasaan rumit dalam hatinya berkembang menjadi begitu kompleks ketika mendengar paparan panjang lebar itu. Elang merasa seolah seseorang tengah meremas hatinya, terasa begitu sesak dan sakit. Air mata yang sejak tadi ditahannya, kini kembali jatuh.

-

Bagian Ketujuh

Sabtu, 18 Januari 2014

Denting piano mengalun lembut menyapa indera pendengaran setiap pengunjung restoran bergaya klasik ini. Di antara banyaknya orang yang menikmati suasana nyaman yang restoran ini tawarkan, Elang mungkin menjadi satu-satunya orang yang tidak merasakannya. Sungguh ia sudah merasa bosan bahkan sejak satu jam yang lalu kedatangannya di tempat ini.

Pembicaraan yang keluarganya dan keluarga teman ayahnya lakukan membuatnya semakin merasa ingin segera meninggalkan tempat ini. Apa yang menyenangkan dari aksi saling balas menunjukkan pencapaian seperti ini? Bahkan pujian yang dilayangkan satu sama lain terdengar sangat palsu. Orang bodoh mana yang akan percaya?

“Elang berhasil masuk dengan nilai seleksi tertinggi, bukankah sepuluh tahun yang akan datang, Elang akan mengikuti jejak kakaknya?” ujar seorang yang duduk tepat di depan Guntur, ayahnya. Elang diberitahu bahwa orang itu adalah teman ayahnya semasa SMA, atau mungkin kuliah. Entahlah, dia juga tidak begitu peduli.

“Elang masih harus banyak belajar. Lalu bagaimana dengan Ashila? Bukankah tahun depan ia akan menyelesaikan pendidikannya? Ya ampun, mahasiswi Harvard itu pasti menjadi kebanggan kalian.” Ibunya membalas pujian itu dengan nada yang dilebih-lebihkan, benar-benar membuat Elang jengah.

Kemudian satu jam lagi Elang habiskan untuk mendengarkan pembicaraan kolot orang tuanya. Segala jenis makanan yang tersaji di hadapannya bahkan tidak mampu untuk membangkitkan minatnya. Ia ingin pergi dari tempat ini, sekarang juga.

-

“Ruang tamu saya sudah hampir seperti gudang penyimpanan jasa pengiriman. Astaga, berapa banyak situs pembelanjaan daring yang Bapak kunjungi tiap minggunya? Sejak kapan Bapak mulai hidup konsumtif seperti ini?”

Tanpa menghilangkan fokus pada jalan di depannya, Lintang berdecak pelan mendengar omelan dramatis dari orang yang diteleponnya itu. “Berhenti menonton drama televisi, efeknya benar-benar mengerikan,” ujarnya disertai tawa geli ketika didengarnya dengusan keras dari ponselnya.

“Hanya cepat kembali dan bawa semua paket-paket ini! Berhenti membuat saya harus menandatangani bukti penerimaan setiap hari!”

Dirga, seorang yang tengah bertelepon dengan Lintang, berseru kesal. Tetangganya itu benar-benar membuatnya jengkel setengah mati. Bagaimana tidak? Lintang pergi mengunjungi orang tuanya di Bandung selama satu minggu. Selama satu minggu itulah Dirga disibukkan dengan aktivitas barunya, menerima semua paket yang dikirim ke alamat Lintang. Itu berlangsung nyaris setiap hari. Lebih parahnya, paket yang datang terkadang muncul beberapa kali dalam satu hari. Ini serius, Dirga sama sekali tak melebih-lebihkan.

“Jalan begitu macet di akhir pekan, mungkin saya baru sampai sekitar pukul sepuluh malam. Jangan khwatir, untuk tetangga yang dengan baik hati menerima paket yang datang, saya tidak mungkin kembali dengan tangan kosong.”

“Tentu saja harus begitu. Bapak harus melakukannya jika hati nurani Bapak masih ‘berfungsi dengan baik’.”

Lintang tak dapat menahan tawanya mendengar kalimat terakhir yang Dirga ucapkan. “Apa itu? Mengapa terkesan aneh ketika kamu mengucapkannya?”

“Ya, karena kalimat itu saya kutip dari pemimpinnya orang-orang aneh.”

Lintang berdecak pelan, bibirnya membentuk sebuah senyuman geli, diam-diam dalam hatinya, ia menyetujui perkataan Dirga. “Elang seperti penulis yang kalimat-kalimatnya sangat suka kamu kutip. Kamu seperti penggemar beratnya. Mungkin di masa depan semua kata ‘mutiara’-nya itu perlu diterbitkan menjadi sebuah buku,” balas Lintang, benaknya membayangkan ekspresi apa yang akan Elang tunjukkan jika mendengar perkataannya barusan.

“Dia bisa menjadikan itu sebagai alternatif ladang uangnya.”

Dirga dan Lintang sama-sama tertawa setelahnya. Kemudian membicarakan beberapa hal sederhana yang lain, sebelum memutuskan untuk mengakhiri panggilan.

Lintang kembali memusatkan seluruh fokus pada jalan di depannya. Saat ini jalanan cukup lenggang, namun Lintang tak ingin berharap banyak. Hal seperti ini nyaris tak pernah berlangsung lama. Lintang menebak-nebak tentang kapan mobilnya akan terjebak di antara ribuan mobil lainnnya, menanti giliran untuk bergerak setidaknya satu meter ke depan. Berapa lama hal itu akan berlangsung? Apa ia bahkan bisa sampai di kota tempat tinggalnya di hari yang sama? Mengingat  sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore.

Di tengah pikiran acaknya itu, suara berdebam keras mengejutkan Lintang. Secara refleks kepalanya menoleh, sekalipun dalam situasi sedang mengemudi seperti ini. Namun, belum sempat diketahuinya tentang penyebab suara yang mengejutkannya itu, tanpa terduga mobilnya terseret ke depan setelah dihantam kendaraan lain dengan bobot berkali-kali lipat dari bobot mobilnya. Lintang tak begitu ingat apa yang terjadi setelahnya. Mungkin tentang mobilnya yang berputar-putar sebelum menabrak pembatas jalan.

Darah segar mengucur dari pelipisnya, menghasilkan bau anyir yang mengganggu indera penciuman. Saat itu, satu-satunya hal yang ingat selain sakit luar biasa di seluruh tubuhnya adalah suara tubrukan besi, teriakan nyaring orang-orang, dan… entahlah, ingatannya begitu kacau saat ia merasa seluruh dunianya berputar. Rasa sakit semakin terasa, semakin menyiksa, rasa sakit yang perlahan menelan kesadarannya atau mungkin… kehidupannya.

-

Tanpa memperdulikan seruan protes orang tuanya, Elang berlari keluar meninggalkan tempat yang sejak tadi menjeratnya dengan rasa bosan. Ia memang ingin memiliki alasan untuk pergi dari pembicaraan membosankan dua keluarga itu, namun bukan alasan seperti inilah yang ia inginkan.

“Terjadi kecelakaan beruntun… Pak Lintang… ada di sana, menjadi salah satu korbannya.”

Dirga mengucapkannya dengan suara bergetar, namun dengan nada yang begitu datar, seolah tanpa emosi. Elang tahu dengan jelas bahwa saat mengatakannya, Dirga pasti telah kehilangan hampir seluruh akal sehatnya.

Akhir pekan dan kemacetan seperti dua hal yang tak dapat dipisahkan. Elang tidak pernah mempermasalahkannya, lagipula ia tak dapat mengubahnya. Namun kali ini, ia merasa seperti ingin memaki sekeras-kerasnya, beteriak pada semua kendaraan di depan taksi yang ia tumpangi, memintanya menyingkir. Ia merasa begitu takut hingga seluruh tubuhnya gemetar. Lebih daripada ketakutannya setiap kali mendengar ucapan tajam atau tamparan keras yang ayahnya berikan. Lebih daripada apapun. Ini jauh lebih menakutkan, karena sebelumnya, ia tak pernah merasakan hal seperti ini.

-

“Hari Sabtu tanggal 18 Januari 2014, disebabkan oleh pendarahan berlebih saat operasi, Pasien Lintang Utara telah meninggal dunia.”

Kalimat itu terus terngiang di benaknya tidak peduli berapa keras usahanya untuk menyingkirkannya. Ketika dilihatnya dari kejauhan raut terluka yang keluarga Lintang tunjukkan, tangis memilukan ibu dari gurunya itu, Dirga merasa dunianya berhenti. Perlahan suara-suara yang berada di sekitarnya menghilang, berganti menjadi dengungan yang menyakiti telinganya.

Bersamaan dengan itu semua, benaknya mulai memutar ulang apa saja yang pernah terjadi antara dirinya dan Lintang. Ceramah panjang lebar membosankan yang dengan anehnya selalu ia dengarkan sampai akhir, pesan teks bagai jadwal pengingat yang tak pernah bisa ia abaikan, semuanya. Semua hal yang membuatnya tersadar bahwa di dunia yang menakutkan ini, masih ada orang yang bersedia mengkhawatirkan. Semua hal yang merasa begitu diperdulikan. Semuanya terputar kembali dan itu membuat dadanya sesak hingga rasanya begitu sulit untuk menarik napas.

Dirga mundur perlahan, ia mulai merasa kesulitan untuk menjaga keseimbangan tubuhnya sendiri. Kepalanya pening bukan main. Jika saja Elang tak datang tepat waktu dan menahan tubuhnya, mungkin lututnya kini sudah menyentuh lantai rumah sakit yang dingin.

“Dirga! Apa kamu baik-baik saja? Dirga! Sadarkan dirimu!”

Dengungan menyiksa itu terus mendera indera pendengarannya. Suara penuh nada khawatir yang Elang tunjukkan padanya tak dapat ia dengar. Ia hanya mampu menerjamahkan perkataan Elang melalui gerak bibirnya.

“Dirga! Dirga!” Elang berteriak cukup keras, ia tak peduli tentang tempatnya berada saat ini. Ia mengguncang bahu Dirga keras-keras, berusaha mengembalikan kesadaran temannya itu.

Dirga bergeming, tak mengindahkan apapun yang Elang lakukan padanya. Tatapannya kosong, dia berdiri seperti patung hidup. Napasnya melambat. Sementara itu, Elang masih terus berusaha memanggil namanya dengan nada frustasi.

“Dirga! Kendalikan dirimu!” Elang berseru tajam, kedua tangannya mencengkeram kerah jaket yang Dirga kenakan.

Bola mata Dirga bergerak pelan, tatapannya jatuh pada iris coklat Elang yang menatapnya dengan mata membulat sempurna Dengungan di telinganya menghilang pelan-pelan, namun sesak masih terasa. Kesadarannya kembali perlahan, bersamaan dengan dengung menyakitkan yang menghilang sepenuhnya.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Elang, kini suaranya melembut. Ketika dirasanya Dirga sudah lebih baik, perlahan ia melepaskan cengkeraman tangannya.

Dirga menatap orang di hadapannya itu tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Lebih tepatnya, ia tak tahu harus berkata atau bebuat apa. Situasi yang berlangsung saat ini, sangat sulit baginya untuk menerima semua ini.

“Dirga,” panggil Elang sekali lagi, namun orang yang dipanggil masih bergeming.  

Detik berikutnya, Dirga merasakan pening luar biasa. Hal terakhir yang dilihatnya adalah raut terkejut Elang ketika tubuhnya limbung ke depan. Ia jatuh tak sadarkan diri di atas dinginnya lantai rumah sakit yang menusuk hingga ke tulangnya.

-

Saat satu-persatu orang mulai pergi meninggalkan area pemakaman, Dirga memberanikan diri untuk menghampiri gundukan tanah yang masih basah itu. Dengan satu buket bunga di tangannya, bunga yang tak pernah ia lupakan bentuk dan maknanya. Hydrangea.

“Jika diingat lagi… kehadiran Bapak, membawa perubahan yang begitu besar dalam hidup saya. Bagaimana bisa… bagaimana bisa Bapak pergi begitu saja sebelum saya bisa membalasnya?” ujar Elang seraya berusaha menahan air matanya. Ditatapnya nisan baru itu dengan pandangan terluka. “Bahkan saya… tidak memiliki kesempatan untuk mengucapkan terima kasih.”
-

Epilog

Tahun 2019, di pertengahan bulan April…

Hujan kembali turun, kali ini lebih deras dibanding sebelumnya. Setengah jam yang lalu, matahari nyaris saja menampakkan cahaya silaunya, siang yang terang akan datang, jika saja awan mendung tak kembali menghalanginya. Akhir-akhir ini, cuaca memang begitu sulit ditebak.

Pada waktu seperti ini, café dengan dekorasi unik sepertinya menjadi pilihan yang tepat untuk menjadi tempat berteduh. Bersama secangkir coklat panas, dilengkapi dengan iringan musik klasik yang menenangkan. Benar-benar sempurna.

Di salah satu meja dalam ruangan café bernuansa retro, dua lelaki sebaya itu duduk berhadapan. Sepuluh menit telah berlalu sejak dua cangkir coklat panas tersaji di atas meja. Asap yang semula mengepul kini tak lagi nampa, hilang bersama angin.

Elang, satu di antara dua orang itu memilih untuk memusatkan pandangannya keluar jendela, menatap satu-persatu kendaraan yang melintas di atas jalan aspal yang basah itu. Pusat kota selalu menjadi tempat yang sibuk, bahkan di kala hujan seperti ini. Orang-orang harus mulai memikirkan keselamatan berkendara saat jalanan licin. Lalu setelahnya, pikiran-pikiran acak lain mulai menghampiri benaknya, nyaris saja membuatnya lupa bahwa kini seseorang duduk di hadapannya.

“Ini café yang nyaman dan menimbulkan kesan romantis. Seharusnya aku duduk di sini bersama seorang perempuan.” Dirga, seseorang yang nyaris diabaikan itu mulai bersuara, memecah keheningan.

Elang menoleh pada lawan bicaranya, meninggalkan kegiatan semulanya, namun tak langsung menyahut. Tangannya meraih cangkir di hadapannya, menyesapnya perlahan. “Karena itu kamu harus cari pacar dan mulai berkencan,” sahut Elang setelah meletakkan kembali cangkirnya.

“Pacar?” Dirga mengangkat sebelah alisnya, lantas tersenyum samar. “Pacar lebih dibutuhkan untuk seseorang yang gila kerja,” ujarnya, diiringi dengan tawa ringan. Elang tak membalas perkataannya.

“Jadi, apa kesibukan siswa teladan kita ini?” tanya Dirga. Ia menegakkan tubuhnya, wajahnya condong ke depan, menatap Elang penuh minat. Senyum jahil terbentuk di bibir tipisnya, membuat seorang di hadapannya itu berdecak pelan.

“Ya… ini dan itu,” jawab Elang sekenanya.

“Ruang operasi nyaris membuatku jadi penghuni rumah sakit jiwa.” Ia melanjutkan, membuat tawa renyah terdengar  dari mulut Dirga.

“Itu berarti masa co-ass-mu berjalan dengan baik. Siswa teladan ini pasti banyak diinginkan ya?” Dirga berujar setelah tawanya berhenti. Mendengarnya, Elang hanya memutar bola matanya, jengah.

“Buang jauh-jauh panggilan itu. Profesorku nyaris menendangku dari ruang operasi karena menyentuh pembuluh darah yang salah.” Elang menggeleng-gelengkan kepala saat mengucapkannya, raut jengkel terlihat jelas di wajahnya. “Itu sangat memalukan hingga membuatku berharap dapat menghilang saat itu juga.”

“Itu hal biasa, kita perlu gagal setidaknya satu kali,” tukas Dirga menanggapi.

Elang tertawa pelan, menatap Dirga seolah takjub, tak menyangka jika kalimat itu bisa keluar dari mulutnya. “Kalimat yang menyentuh. Dirgantara sudah dewasa rupanya.”
Dirga mengangguk-angguk pelan seraya tersenyum tipis, “Oleh karena satu orang.”
Elang membalas senyuman itu, “Benar, oleh karena satu orang.”

Setelah itu, keduanya kembali terdiam, membiarkan keheningan menyelimuti atmosfer menenangkan ini. Elang memilih untuk mengangkat cangkirnya, menyesap coklat panas yang kini mulai mendingin. Pada detik berikutnya, Elang mengalihkan pandangannya ke samping, kembali menatap potret pusat kota di tengah hujan. Dirga mengikuti setelah sama-sama menyesap cokelat panasnya. Keduanya menatap objek yang sama dengan pikiran yang berjalan mundur pada kenangan yang sama, orang yang sama.

-

Salsabila Pragita / XII MIPA 3 / SMA Negeri 1 Padalarang 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun