Mohon tunggu...
Salsabila Pragita
Salsabila Pragita Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

————

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hydrangea

24 Februari 2021   01:39 Diperbarui: 24 Februari 2021   01:43 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tanpa memperdulikan seruan protes orang tuanya, Elang berlari keluar meninggalkan tempat yang sejak tadi menjeratnya dengan rasa bosan. Ia memang ingin memiliki alasan untuk pergi dari pembicaraan membosankan dua keluarga itu, namun bukan alasan seperti inilah yang ia inginkan.

“Terjadi kecelakaan beruntun… Pak Lintang… ada di sana, menjadi salah satu korbannya.”

Dirga mengucapkannya dengan suara bergetar, namun dengan nada yang begitu datar, seolah tanpa emosi. Elang tahu dengan jelas bahwa saat mengatakannya, Dirga pasti telah kehilangan hampir seluruh akal sehatnya.

Akhir pekan dan kemacetan seperti dua hal yang tak dapat dipisahkan. Elang tidak pernah mempermasalahkannya, lagipula ia tak dapat mengubahnya. Namun kali ini, ia merasa seperti ingin memaki sekeras-kerasnya, beteriak pada semua kendaraan di depan taksi yang ia tumpangi, memintanya menyingkir. Ia merasa begitu takut hingga seluruh tubuhnya gemetar. Lebih daripada ketakutannya setiap kali mendengar ucapan tajam atau tamparan keras yang ayahnya berikan. Lebih daripada apapun. Ini jauh lebih menakutkan, karena sebelumnya, ia tak pernah merasakan hal seperti ini.

-

“Hari Sabtu tanggal 18 Januari 2014, disebabkan oleh pendarahan berlebih saat operasi, Pasien Lintang Utara telah meninggal dunia.”

Kalimat itu terus terngiang di benaknya tidak peduli berapa keras usahanya untuk menyingkirkannya. Ketika dilihatnya dari kejauhan raut terluka yang keluarga Lintang tunjukkan, tangis memilukan ibu dari gurunya itu, Dirga merasa dunianya berhenti. Perlahan suara-suara yang berada di sekitarnya menghilang, berganti menjadi dengungan yang menyakiti telinganya.

Bersamaan dengan itu semua, benaknya mulai memutar ulang apa saja yang pernah terjadi antara dirinya dan Lintang. Ceramah panjang lebar membosankan yang dengan anehnya selalu ia dengarkan sampai akhir, pesan teks bagai jadwal pengingat yang tak pernah bisa ia abaikan, semuanya. Semua hal yang membuatnya tersadar bahwa di dunia yang menakutkan ini, masih ada orang yang bersedia mengkhawatirkan. Semua hal yang merasa begitu diperdulikan. Semuanya terputar kembali dan itu membuat dadanya sesak hingga rasanya begitu sulit untuk menarik napas.

Dirga mundur perlahan, ia mulai merasa kesulitan untuk menjaga keseimbangan tubuhnya sendiri. Kepalanya pening bukan main. Jika saja Elang tak datang tepat waktu dan menahan tubuhnya, mungkin lututnya kini sudah menyentuh lantai rumah sakit yang dingin.

“Dirga! Apa kamu baik-baik saja? Dirga! Sadarkan dirimu!”

Dengungan menyiksa itu terus mendera indera pendengarannya. Suara penuh nada khawatir yang Elang tunjukkan padanya tak dapat ia dengar. Ia hanya mampu menerjamahkan perkataan Elang melalui gerak bibirnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun