Mohon tunggu...
Salsabila Pragita
Salsabila Pragita Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

————

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hydrangea

24 Februari 2021   01:39 Diperbarui: 24 Februari 2021   01:43 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Lintang membacanya satu-persatu, dari satu kolom ke kolom lain. Sesekali ia tersenyum ketika membaca apa yang tertulis di sana. Dalam hati, ia mengharapkan semua mimpi yang murid-muridnya ceritakan dalam lembar tersebut dapat terwujud. Ia terus membaca hingga pada satu lembar, senyum di wajahnya memudar, matanya yang semula menunjukkan binar antusias, kini berganti menjadi sorot sendu.

Dari empat kolom yang tersedia pada lembar tersebut, hanya satu kolom yang terisi, sementara kolom lain hanya terisi dengan satu garis pendek. Lalu ketika ia melihat lembar berikutnya, sorot sendunya itu berubah menjadi sorot khawatir. Tidak seperti lembar sebelumnya, seluruh kolom pada lembar ini memang terisi. Pada lembar-lembar kertas yang lain, kolom terakhir terisi dengan kalimat-kalimat yang panjang, bahkan hingga melampaui garis pembatas yang tersedia. Namun pada lembar yang satu ini, kolom berjudul “Ceritakan tentang Mimpi-Mipimu” itu hanya terisi dengan satu kalimat pendek.

Ini tak bisa disebut sebagai mimpi, saya hanya tak memiliki pilihan.

Lintang menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, lantas melepaskan kacamata yang bertengger di hidung bangirnya. Ia bersandar dengan kepala terangkat, wajahnya menatap langit-langit kamarnya. Otaknya tiba-tiba memutar ulang segala yang pernah terjadi, setidaknya selama enam bulan terakhir ini.

Lintang tak pernah bermimpi untuk menjadi seorang yang bergelut di bidang pendidikan. Menjadi guru, menghabiskan waktu bersama para siswa tidak pernah berada dalam rencana hidupnya. Keadaanlah yang membuatnya berakhir pada jalan ini.

Maka ketika ia lulus dan mendapatkan pekerjaan, ia hanya melakukan apa yang menurutnya harus dilakukan. Ia mengajar siswa, menuliskan nilai mereka di buku rapor, memberikan konsultasi seadanya, sembari berusaha keras untuk mendapat gelar pegawai negeri. Baginya guru hanya sekadar profesi, tidak kurang dan tidak lebih. Baginya tugas seorang guru hanyalah sekadar transfer ilmu pada siswa yang diajarnya. Ia melakukan semuanya semata-mata hanya agar ia tidak menerima gaji buta. Hanya itu. Sebelumnya ia tak pernah tahu bahwa guru merupakan tanggung jawab besar dan suatu pekerjaan yang mulia.

Namun segala pandangannya itu berubah ketika ia dipindah tugaskan, enam bulan yang lalu. Saat itu adalah pertama kalinya diberi beban tanggung jawab sebagai wali kelas. Menjadi wali kelas berarti bertanggung jawab penuh atas seluruh siwa kelasnya. Itu tugas yang berat, ia tahu akan hal itu. Sayangnya, ia tak bisa menolak.

Kelas yang dipegangnya berisi siswa-siswi tahun terakhir yang tengah mempersiapkan diri untuk melakukan berbagi seleksi masuk perguruan tinggi. Mereka belajar keras, membuat kelompok belajar, mengambil jam tambahan, dan hal umum lainnya. Semua itu hal-hal yang sudah Lintang duga sebelumnya. Namun ketika ia sering kali mendapati satu bangku di sudut kelas yang selalu kosong, ia mulai bertanya-tanya tentang siapa pemilik bangku tersebut.

Satu waktu ia bertanya pada salah satu siswinya mengenai pemilik bangku kosong tersebut. Siswi itu mengatakan bahwa pemilik bangku itu bernama Dirgantara Putra, siswa yang nyaris selalu absen di semua mata pelajaran. Sedikit ia mendapat cerita tentang keluarga Dirga, namun ia sendiri tak tahu tingkat kebenaran dari serita tersebut.

Ayah Dirga merupakan seorang yang duduk di kursi pemerintahan, hanya saja tersangkut berita korupsi, dan meninggal dunia di tengah proses pengadilannya lima tahun yang lalu, itu berarti ketika Dirga duduk di bangku kelas 1 SMP. Sedangkan ibu Dirga adalah seorang aktris kondang Marisha Lee, wanita campuran Indonesia-Korea. Wajah aktris itu sangat tak asing di matanya. Bagaimana tidak? Ibunya merupakan penonton setia dari seluruh serial televisi yang dibintanginya. Marisha Lee dan karya-karyanya selalu menjadi buah bibir orang banyak di akhir abad 20. Namun ia tak lagi mendengar kabar Marisha Lee, di media manapun selama sepuluh tahun terakhir. Satu-satunya berita yang ditayangkan adalah skandal hubungan-hubungannya dengan beberapa petinggi negara dan pengusaha terkenal. Ibunya yang dahulu selalu berbicara tentang Marisha Lee seolah mereka adalah saudara jauh, kini tak pernah sekalipun membahasnya.

Cerita mengenai Dirga yang dia dengar membangkitkan satu sisi simpatinya. Saat itulah, ia menyadari bahwa tugas seorang guru, lebih dari sekadar transfer ilmu, bukan sekadar perkara mencantumkan nilai atau apapun itu. Lintang menyadari bahwa memutuskan menjadi seorang guru, berarti bersedia bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi pada murid-muridnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun