"Kamu butuh bir atau pelukan," katanya. "Mungkin dua-duanya."
***
Kalian tiba di warung remang-remang di belakang terminal, tempat orang-orang membuang lelah bersama dosa. Tempat lelaki melarikan diri dari istrinya. Di sudut warung, seorang biduan bernyanyi lagu dangdut setengah hati. Liriknya soal patah hati, tapi suaranya terdengar seperti tisu basah diperas hingga ke sari pati.
Santi memesan dua botol. Tak banyak bicara. Tapi dari cara dia meneguk, kau tahu: dia juga sedang bertarung. Bukan hanya karena demo, tapi karena dunia ini memang serupa medan tempur yang tak pernah memberi waktu untuk berhenti.
"Aku pernah kayak kamu," katanya pelan. "Percaya pada mulut manis. Percaya bahwa perjuangan itu bisa diselamatkan oleh cinta. Sampai kutemukan kekasihku di ruang audit, duduk di kepala HRD sambil tanda tangan surat PHK buatku."
Kau terdiam. Tertawa lirih. Rasa sakit bisa terdengar lucu jika dibagikan dengan cara yang tepat.
"Apa kamu dendam?" tanya kau.
"Enggak." Santi menatap gelasnya. "Aku cuma muak. Lalu belajar. Bahwa dunia ini tak akan berubah karena kau patah hati. Tapi kadang, patah hati bisa jadi bahan bakar."
***
Malam bertambah larut. Kau mabuk, tapi kesadaran kau justru makin tajam. Di sudut ruangan, ada sepasang kekasih berseteru karena uang. Di meja lain, dua sopir truk berbagi cerita soal pungli juga jalanan yang makan nyawa. Dunia ini memang keras, tapi ada keindahan yang terlihat aneh dalam kejujuran mereka. Keindahan yang tak bisa kau temukan dalam slogan-slogan revolusi murahan.
Ponselmu bergetar. Pesan dari Lila.