Aku baru menyadari betapa berharganya seseorang ketika notifikasi terakhir mereka selamanya berhenti di satu kata terkirim.
Bendera lusuh di tiang jemuran rumah Pak Sukardi dipindahin ke balai RT. Tidak perlu diganti yang baru, tetaplah yang lusuh itu.
Atmosfer kekeluargaan yang dulu hangat sirna begitu saja. Teras yang dulu selalu ramai kini sepi. Radio transistor Pak Karjo juga jarang dinyalakan.
Namaku Raka. Orang memanggilku Pak Raka, dulu. Sekarang, cukup Raka saja. Di penjara ini, tak ada embel-embel kehormatan apa lagi gelar.
Di gudang belakang, ada boneka pengantin kertas. Boneka itu sedang duduk kursi. Wajahnya bukan Liani. Mirip seperti Tiong Ho.
Tapi revolusi—setidaknya versi kecilnya—baru saja dimulai. Bukan di jalanan. Bukan di kasur. Tapi di dalam diri kau. Dan itu, kawan, adalah revolusi
Di sebuah kota bernama Paralopia, ada seorang perempuan yang jantungnya tumbuh di luar tubuh. Namanya Seruni Langitkaca. Setiap pagi, ia menyirami jan
MEREKA beramai-ramai menatap kapal terbang raksasa yang terbuat dari tulang-belulang baling-balingnya kawat berkarat. Kapal besar itu mengeluarkan sua
Maklum, proyek kami sedang terhambat. Bangunan ruko yang harusnya selesai bulan lalu masih setengah jadi karena kliennya belum membayar.
Mobil itu melaju menembus hujan, membawaku ke masa depan yang tidak pernah kupilih. Dari kantong plastik sederhana, sebuah revolusi dimulai.
Andi tersenyum. Setengah jalan pulang itu, ternyata bisa datang dengan cara yang tidak pernah kita duga.
Semua orang terdiam. Apakah Tuhan ikut andil menoreh dosa-dosa di dalam luka seribu turunan itu?
Aku melihat wajah bangsa ini yang sebenarnya. Wajah yang tidak memandang sipit atau bundar, yang tidak peduli margamu Chen atau Ahmad
Dia menulis hanya untuk dirinya sendiri, hanya untuk setiap pembaca yang masih percaya pada kekuatan kata-kata yang lahir dari jiwa manusia
Di luar, lampu-lampu saling bersahutan satu persatu, berbaur dengan cahaya yang telah lelah berpendar, cahaya yang tersisa dari kesibukan anak manusia
Tanganku gemetar ketika membaca tulisan itu. Di halaman paling belakang dari buku lusuh milikmu itu, ada sebaris kalimat.
Hujan masih turun dengan deras di luar sana, menyamarkan isak tangis yang mulai terdengar dari dalam rumah tua itu.
Malam itu, bulan purnama menggantung sempurna di atas mushola tua desa Kampar. Cahayanya menerobos melalui kaca jendela.
Pak Ismail telah mengubah makna revolusi. Bukan lagi tentang peluru yang mengejar darah, tetapi tentang pencerahan serta pembebasan pikiran.
Bu Ani, guruku yang istimewa. Dia lebih dari sekedar guru. Dia seperti ibu kedua bagiku. Aku sayang sekali padanya.