KAU tak pernah suka hari Senin. Bahkan saat masih bocah, kau tahu Senin adalah simbol dari sesuatu yang kau tak bisa lawan: waktu, kewajiban, dan kenyataan. Tapi pagi ini bukan Senin. Ini Hari Buruh. Libur, katanya. Setidaknya di kalender. Tapi jam weker tua di samping ranjang kau tetap berdering seperti biasa. Dunia tak peduli pada kalender merah kalau perutmu masih keroncongan.
Kau bangkit dari kasur busa yang mulai sobek di sudutnya, menyentuh lantai yang dingin lalu menyerap penat yang belum sempat kau lepaskan dari semalam. Celana dalam kau masih tergantung di gagang pintu. Ada bekas lipstik merah di bagian pinggirnya. Bekas semalam. Bekas dia. Bekas "revolusi" yang katanya akan mengguncang dunia, dimulai dari tubuh kau.
"Kita akan ubah dunia, mulai dari tempat tidur," katanya sambil mengisap rokok kretek dan mengangkat kaki di ranjang usang seolah itu ranjang bangsawan.
Namanya Lila. Setidaknya itu yang dia bilang. Kau tak sempat tanya nama lengkapnya, karena bibirnya terlalu sibuk mengeja amarah bergelut gairah dalam satu tarikan napas. Matanya tajam, bicaranya cepat, dan tubuhnya... Oh, tubuhnya itu punya logika sendiri, sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh teori perjuangan kelas Marxist, tapi bisa kau rasakan seperti nyala api kecil di balik kulit.
"Besok, kita demo. Pukul delapan. Depan pabrik. Jangan jadi pengecut," katanya, sebelum tidur telanjang di samping kau, dan kau nampaknya sudah disumpah menjadi pasukan revolusi yang setia.
Tapi kau tahu, besok tetap Senin. Kalender bisa libur, tapi mesin tidak. Pabrik tidak. Bosmu---Pak Arman, si brengsek berperut buncit dengan cincin emas besar---pasti sudah mengirim pesan ancaman di grup WhatsApp: "Siapa yg bolos tanggal 1, langsung dipotong gaji 2 hari."
Dan kau butuh gaji itu, bukan? Bukan untuk beli emas, bukan juga untuk foya-foya. Kau butuhnya buat bayar kontrakan, makan, dan kirim sedikit ke ibu di kampung. Kau buruh biasa. Tidak punya ruang untuk ideologi. Hidup kau bukan antara kiri atau kanan, tapi antara makan atau kelaparan.
Kau berangkat pagi itu, meski langit mendung dari kejauhan suara demo sudah terdengar dari ujung jalan. Mereka membawa spanduk, megafon, serta harapan. Kau membawa tubuh kau yang lelah bersama secuil rasa bersalah yang bergelayut di tengkuk. Lila pasti melihat kau. Dan kau membayangkan dia mengutuk kau diam-diam: "Pengecut."
Kau masuk lewat belakang, Â tempat lalu lalang bahan makanan. Dapur pabrik. Tempat Santi, juru masak sekaligus komentator hidup kau yang tak absen menyindir, menyinyir, menyapa dengan nada geli, "Kerja juga, Mas Revolusi?"
Kau hanya mengangkat bahu.