"Kukira kamu udah jadi martir. Ternyata masih cinta slip gaji, ya?"
Santi. Matanya tajam seperti Lila, tapi sorot dari rasa capek yang jujur. Dia tak pernah janji revolusi. Tapi dia pernah mengoleskan balsem ke punggung kau diam-diam ketika kau jatuh di gudang. Pernah mengantarkan kau bubur ayam yang masih hangat waktu kau demam, lalu bilang: "Jangan baper. Aku cuma nggak suka lihat orang mati pelan-pelan."
Pekerjaan dimulai seperti biasa: suara mesin, peluh yang asin, serta aba-aba dari mandor yang lebih suka berteriak daripada berpikir. Kau bekerja seperti biasa, tak terlukis rasa bersalah. Hingga akhirnya kau melangkah ke ruang istirahat, melihat layar CCTV yang terpajang di sana.
Kau mengenali wajah itu.
Lila.
Tapi bukan sedang memimpin demo.
Dia duduk di ruang direksi.
Duduk di pangkuan Pak Arman.
Tertawa.
Rambutnya ditata rapi, bibirnya berlipstik sama seperti semalam, tapi kali ini ia tidak bicara tentang revolusi. Ia mencium pipi bos kau. Menerima amplop. Matanya tak lagi menyala karena marah, tapi karena uang.
Dunia kau runtuh.