Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote, Meredam Langit | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senin Yang Tertunda

1 Mei 2025   17:36 Diperbarui: 1 Mei 2025   17:36 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Pixabay: https://www.pexels.com

Santi menoleh, lalu berkata, "Karena aku capek lihat kamu pura-pura kuat."

Ia berdiri, menginjak puntung rokok, lalu menatap kau. "Besok, aku ikut demo. Yang beneran. Ada serikat yang bersih. Kalau kamu masih punya sedikit harga diri, ikut juga."

Malam itu kau tak bisa tidur. Tidak karena marah pada Lila, tapi karena Santi. Santi yang tak menjanjikan apa pun, tapi memberi kau sesuatu yang lebih nyata daripada semua revolusi palsu: keberanian untuk menghadapi hidup apa adanya.

Esoknya, kau datang ke barisan paling depan. Bukan karena cinta, bukan karena ideologi, tapi karena kini kau tahu mengenal diri kau. Bukan pengecut, bukan juga pahlawan. Kau hanya manusia yang ingin hidup lebih layak.

Kau angkat poster. Kau teriak. Dan di seberang jalan, Lila berdiri, matanya terbelalak saat melihat kau.

Kau tersenyum, lalu meludah ke tanah. Dia ingin menghampiri, tapi kerumunan sudah memisahkan kalian.

Santi menepuk bahu kau. "Bagus. Sekarang kamu terlihat lebih ganteng."

Kau tertawa. Untuk pertama kalinya di Hari Buruh, kau benar-benar merasa hidup.

Sore menjelang. Demo bubar seperti gelombang yang pasrah pada pasang. Para orator satu-satu turun dari mobil bak terbuka, suara mereka masih menggema di telinga kau, tapi semangat mereka, entah menguap ke mana. Kau berdiri di pinggir jalan, masih memegang poster berisi tuntutan. "Upah Layak untuk Hidup Layak."

Kau tahu, hidup tak pernah layak. Tapi tak berarti kau harus diam terhenyak.

Di kejauhan, Lila melirik kau. Tak ada lagi senyum manis atau mata yang pura-pura bersinar. Hanya pandangan hampa, mirip seorang pemain sinetron yang lupa naskahnya. Dia mencoba mendekat, tapi Santi sudah lebih dulu menarik kau pergi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun