Santi menoleh, lalu berkata, "Karena aku capek lihat kamu pura-pura kuat."
Ia berdiri, menginjak puntung rokok, lalu menatap kau. "Besok, aku ikut demo. Yang beneran. Ada serikat yang bersih. Kalau kamu masih punya sedikit harga diri, ikut juga."
Malam itu kau tak bisa tidur. Tidak karena marah pada Lila, tapi karena Santi. Santi yang tak menjanjikan apa pun, tapi memberi kau sesuatu yang lebih nyata daripada semua revolusi palsu: keberanian untuk menghadapi hidup apa adanya.
Esoknya, kau datang ke barisan paling depan. Bukan karena cinta, bukan karena ideologi, tapi karena kini kau tahu mengenal diri kau. Bukan pengecut, bukan juga pahlawan. Kau hanya manusia yang ingin hidup lebih layak.
Kau angkat poster. Kau teriak. Dan di seberang jalan, Lila berdiri, matanya terbelalak saat melihat kau.
Kau tersenyum, lalu meludah ke tanah. Dia ingin menghampiri, tapi kerumunan sudah memisahkan kalian.
Santi menepuk bahu kau. "Bagus. Sekarang kamu terlihat lebih ganteng."
Kau tertawa. Untuk pertama kalinya di Hari Buruh, kau benar-benar merasa hidup.
Sore menjelang. Demo bubar seperti gelombang yang pasrah pada pasang. Para orator satu-satu turun dari mobil bak terbuka, suara mereka masih menggema di telinga kau, tapi semangat mereka, entah menguap ke mana. Kau berdiri di pinggir jalan, masih memegang poster berisi tuntutan. "Upah Layak untuk Hidup Layak."
Kau tahu, hidup tak pernah layak. Tapi tak berarti kau harus diam terhenyak.
Di kejauhan, Lila melirik kau. Tak ada lagi senyum manis atau mata yang pura-pura bersinar. Hanya pandangan hampa, mirip seorang pemain sinetron yang lupa naskahnya. Dia mencoba mendekat, tapi Santi sudah lebih dulu menarik kau pergi.