"Setiap orang berhak atas rasa aman dan nyaman, termasuk soal pengurangan kebisingan di lingkungan kemasyarakatan"
Beberapa waktu ini, saudara saya dari Jawa Timur datang ke rumah. Kami bercerita banyak hal termasuk soal fenomena Sound Horeg yang beberapa waktu ini meresahkan.
Saudara saya bercerita bahwa ia pernah melihat arak-arakan di jalanan yang membawa sound besar beserta penarinya. Permasalahannya, sound tersebut memiliki volume sangat keras.Â
Getarannya menggelegar, membuat rumah seperti terkena gempa. Lha bayangin aja deh guys, kalau di tempat kalian ada acara kenduri dan pakai sound besar, suaranya bikin geter-geter kan ya? Apalagi sound horeg ini punya ukuran speaker lebih gede dengan susunannya yang wow itu.Â
Kemudian, saya bertanya padanya soal perizinan dan protes masyarakat, saudara saya mengatakan jika masyarakat ingin protes takut terkena intimidasi. Apalagi kalau undangan sound horeg datang karena panggilan orang penting. Woalah, yo harus ngalah!Â
Beruntung, di wilayah Malang, aktivitas sound horeg sudah dilarang. Ditambah fatwa haram dari MUI. Ini membuat aktivitas mereka tak sebanyak awal.Â
Sound horeg, fenomena ini telah ada sejak beberapa waktu belakangan. Biasanya, mereka muncul bersama para penari, entah laki-laki atau perempuan. Kabarnya tiap bulan Agustus, pasti akan ada pawainya.
Sebenarnya, jika sound horeg terselenggara sesuai etika dan aturan, tak mengganggu aktivitas dan pendengaran, itu bukan masalah. Tapi kenyataannya, ia mengganggu kenyamanan warga.
Ada testimoni dari masyarakat yang punya bayi. Si bayi menangis akibat bising. Protes, ternyata diintimidasi. Kalau sudah begini, gimana donk dengan pemenuhan hak atas rasa aman dan nyaman?Â
"So, bagaimana harusnya untuk mengatasi polemik soal sound Horeg ini?"