Revolusi itu palsu. Dia hanya satu dari mereka. Mata-mata, atau pelacur. Entah mana yang lebih pantas. Kau merasa seperti seekor anjing yang dijinakkan dengan nafsu, dijanjikan perubahan hanya untuk dipakai, lalu dibuang.
Saat makan siang, tak lagi ada hastrat. Kau pergi ke atap, menyulut rokok yang tinggal satu-satunya di saku. Kau berdiri di sana, di antara debu yang kesepian, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kau menangis.
"Kalau mau lompat, lompat aja. Jangan bikin orang repot."
Suara itu membuatmu menoleh.
Santi.
Kau tak menjawab. Hanya duduk.
Ia mendekat, duduk di sebelah kau, menghembuskan asap rokok ke langit. "Semua orang punya masalah. Tapi bunuh diri karena cewek? Jangan tolol, lah."
Kau ingin membantah. Tapi bahkan diri kau sendiri tahu dia benar.
"Aku tahu siapa dia," kata Santi. "Dia bukan aktivis. Dia calo. Biasa dipakai bos untuk memecah konsentrasi. Dia mendekati buruh-buruh keras kepala, bikin mereka mabuk cinta, lalu kabur. Dia dapet komisi dari kerjaannya itu."
Kau mengatupkan gigi. Jijik---bukan pada Lila, tapi pada diri kau sendiri. Karena percaya. Karena sempat merasa menjadi pahlawan, padahal kau hanya korban.
"Ngapain cerita ke aku?" tanya kau pelan.