SEMUA berawal dari sebuah kantong plastik hitam yang tidak sengaja kutendang di Stasiun Tanah Abang. Ketika kuangkat, beratnya mencengangkan, tidak seperti sampah pada umumnya.
Kuintip sedikit. Isinya bukan sampah seperti yang kuduga, tapi tumpukan map, amplop dan paspor.Â
Pengumuman keberangkatan kereta memanggil para penumpang untuk bersiap-siap. Orang-orang bergegas melewatiku. Aku mengedarkan pandangan, mencari sosok yang mungkin saja kehilangan kantong plastik ini. Nihil. Kumasukan kantong itu ke dalam ranselku, niatku menyerahkannya ke petugas keamanan kereta setelah tiba di stasiun Pal Merah.
Kereta datang. Seperti biasa, penuh, sesak. Orang-orang berdesakkan masuk saling dorong. Aku nyaris terjepit di pintu. Setelah beberapa kali gagal naik, kuputuskan menyerah. Mungkin karena kantong plastik yang terasa berat di ranselku.
"Ah, sial," umpatku pelan. Kulirik jam tangan. Telat lagi.
Selain berat, kantong plastik yang ada di dalam ransel membuatku penasaran. Dengan langkah cepat, kucari toilet. Bau pesing menyengat, tapi setidaknya ada privasi.
Kukunci pintu bilik toilet, lalu kubuka kantong itu dengan hati-hati. Isinya membuatku terbelalak: tumpukan map, sebuah paspor, dan amplop coklat. Kubuka amplop itu, lima puluh juta rupiah cash! Denyut nadiku berlari kencang seketika. Nama di paspor itu. Arini Kusuma.
Brengsek! ini bukan barang sembarangan. Kujejalkan semuanya kembali ke kantong plastik lalu keluar toilet dengan wajah datar tanpa ekspresi.Â
Ponselku berdering. Nama bosku muncul di layar.
"Rani, lo di mana? Klien dari Jepang udah nungguin dari tadi nih."