Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi, sistem keamanan lingkungan (siskamling) kerap dianggap sebagai sesuatu yang kuno. Namun, bagi masyarakat Indonesia yang memiliki tradisi sosial berbasis kekerabatan dan gotong royong, ronda malam tidak sekadar mekanisme menjaga keamanan. Ia adalah sebuah ritual sosial yang menyatukan warga, menguatkan kohesi sosial, dan membentuk solidaritas kolektif.
Dari perspektif sosiologi mile Durkheim, siskamling dapat dibaca sebagai "fakta sosial" yang memelihara keteraturan. Ronda malam bukan hanya aktivitas praktis mencegah maling atau tindak kriminal, tetapi juga simbol bahwa masyarakat sanggup mengorganisir diri tanpa sepenuhnya bergantung pada aparat. Solidaritas mekanik yang lahir dari kesamaan pengalaman berjaga di malam hari membuat masyarakat merasa saling terhubung.
Namun, dalam kenyataan sehari-hari, banyak lingkungan perumahan yang kini lebih memilih membayar iuran keamanan. Satpam dianggap sebagai solusi instan. Masyarakat pun merasa cukup berkontribusi dengan nominal uang bulanan. Padahal, di sinilah paradoks itu muncul. Keamanan diprivatisasi, sementara ruang interaksi sosial antarwarga berkurang. Siskamling sebagai arena sosial mulai tergeser.
Menurut teori modal sosial Robert Putnam, interaksi dalam ronda malam adalah investasi sosial. Ketika warga bergiliran berjaga, mereka membangun trust, menciptakan jaringan, dan membiasakan norma kolektif. Modal sosial inilah yang tidak bisa dibeli hanya dengan gaji satpam. Di titik ini, keamanan menjadi lebih dari sekadar bebas gangguan, melainkan terciptanya keakraban sosial.
Bayangkan suasana di pos ronda, terdapat tikar digelar, kopi panas mengepul, obrolan ngalor-ngidul mengalir. Ada tawa yang pecah ketika cerita-cerita lucu dilontarkan. Di sisi lain, ada ketegangan ketika suara mencurigakan terdengar di kejauhan. Kombinasi humor dan kewaspadaan itulah yang membuat ronda malam unik, sekaligus menjadi medium belajar sosial yang kaya.
Keamanan bukan hanya soal pagar tinggi atau satpam beruniform, tetapi rasa saling menjaga. Ronda malam adalah wujud nyata bahwa solidaritas warga jauh lebih kuat daripada sekadar sistem keamanan formal.
Ronda malam juga merupakan bentuk kontrol sosial informal. Teori kontrol sosial Travis Hirschi menyebutkan bahwa keterikatan dan keterlibatan dalam aktivitas kolektif mengurangi potensi penyimpangan. Saat warga aktif berjaga, potensi kriminal pun menurun, bukan hanya karena patroli fisik, melainkan karena kehadiran simbolik warga yang peduli terhadap lingkungannya.
Selain itu, praktik siskamling menyimpan dimensi budaya yang kuat. Tradisi "jaga kampung" atau "ronda" adalah warisan dari masyarakat agraris Nusantara, di mana keamanan adalah urusan bersama, bukan monopoli negara. Tradisi ini menegaskan bahwa keamanan adalah hasil dari partisipasi, bukan semata produk institusi formal.
Cerita-cerita di lapangan memperlihatkan betapa kaya dinamika sosial dalam ronda. Ada kisah lucu, warga yang ketiduran saat jaga, hanya terbangun ketika sirene motor lewat. Ada pula kisah heroik, kawanan pencuri berhasil dihalau karena ronda yang sigap. Narasi-narasi inilah yang membentuk mitologi lokal, diwariskan turun-temurun, menjadi identitas kolektif warga.
Dalam perspektif Erving Goffman, ronda malam bisa dilihat sebagai panggung sosial (social stage). Pos ronda adalah panggung tempat warga memainkan peran sosial mereka. Ada yang jadi komandan, ada yang jadi penghibur, ada pula yang diam-diam menjadi pengamat. Semua memainkan perannya dalam sebuah drama sosial yang menjaga kohesi komunitas.
Jika ditarik ke konteks urban modern, siskamling menghadapi tantangan besar. Individualisme dan gaya hidup metropolitan membuat warga lebih memilih kenyamanan privat. Ruang komunal seperti pos ronda dianggap kurang relevan. Namun, di balik itu, meningkatnya kriminalitas perkotaan justru menegaskan kebutuhan akan kehadiran mekanisme keamanan berbasis komunitas.