"Hm. Boleh. Jemput jam tujuh, ya."
Dia senyum makin lebar.
"Sweet. I'll be there sharp. You won't regret it."
Jam tujuh tepat, BMW E30 hitam itu berhenti di depan rumahku. Sopirnya keluar, membukakan pintu.
Aku masuk. Di dalam mobil, Marcel duduk rapi. Wangi parfumnya seperti majalah fashion.
Sepanjang perjalanan, dia banyak bicara.
"Jadi waktu aku di Brisbane, aku sempat ikut debat regional. Seru sih, walaupun bahasa Inggris Aussie itu unik banget. Agak nasal, tapi gue udah biasa."
"Trus... menurut kamu, sistem pendidikan di sini tuh kayaknya agak rigid, ya? Gak kayak di luar."
Aku mendengarkan. Tapi tak benar-benar masuk.
Kata-katanya panjang. Terlalu bangga. Terlalu berusaha terlihat lebih dari yang lain.
Padahal, aku juga anak orang kaya.
Aku juga pernah ke luar negeri.
Adikku bahkan sekolah di Singapura. Aku sendiri pernah ikut summer course juga.
Aku tahu dia bukan satu-satunya yang punya paspor.
Dan dalam diam, aku merasa dia pamer ke orang yang salah.