Sejak itu, aku mulai menjaga jarak.
Marcel baik. Tampan. Mapan.
Tapi...
nggak ada kejutan.
Nggak ada petualangan.
Nggak ada tawa yang bikin aku lupa waktu.
Dan mungkin,
itulah kenapa...
GL Pro-nya Angga lebih berasa nyaman daripada E30-nya Marcel.
Sore itu, hujan baru reda. Jalanan masih basah. Langit mendung menggantung, dan udara terasa lembap.
Cindy datang tepat waktu. Ia turun dari Camry putih diantar Pak Darto, lalu masuk ke sebuah kafe kecil yang lagi hits di zamannya: Kantin Telanai, tak jauh dari gerbang Universitas Jambi.
Interior kafe itu sederhana tapi manis.
Lampu temaram. Poster film Hollywood di dinding.
Aroma kopi dan rokok bercampur jadi satu.
Di pojok ruangan, Marcel sudah duduk lebih dulu.
Kemeja putih digulung di lengan, rambut klimis.
Di mejanya sudah ada dua gelas milkshake cokelat dan sepiring kentang goreng.
Gaya khas cowok yang selalu siap lebih dulu.
"Thanks, udah mau datang," kata Marcel pelan.
"Tumben ngajak ke tempat beginian," jawab ku sambil duduk.
Marcel tersenyum kaku. "Aku cuma pengin ngobrol santai. Bukan di sekolah, bukan di mobil. Di tempat yang... biasa."
Hening sebentar.
Marcel memainkan sendok di tangannya, lalu menatap Cindy dalam-dalam.
"Aku suka sama kamu, Cindy."
"Aku tahu kamu mungkin belum bisa nerima. Tapi aku ngerasa kita cocok. Kita punya banyak kesamaan. Kita ngerti gaya hidup satu sama lain."