Jika dicermati, ada benang merah dari ketiga tokoh ini:
Al-Fatih ditempa dengan disiplin, misi besar, dan latihan terstruktur.
Newton dibentuk oleh kesunyian, daya refleksi, dan obsesinya pada pengetahuan.
Zuckerberg tumbuh dengan eksperimen teknologi dan orientasi praktis pada komunitas.
Mereka berbeda latar, zaman, dan lingkungan, namun sama-sama menemukan titik pijak hidupnya di usia belasan tahun. Dengan kata lain, usia 13--16 bukanlah usia coba-coba, melainkan usia emas untuk menanamkan orientasi hidup, disiplin, dan kreativitas fundamental.
Inilah pelajaran penting bagi Indonesia: apakah kita akan membiarkan usia belasan remaja kita tenggelam dalam ketiadaan arah, ataukah kita akan mendesain sebuah sistem yang menyalurkan energi mereka seperti Al-Fatih, Newton, dan Zuckerberg?
B. Peran Pembinaan, Sistem Pendidikan, dan Visi yang Ditanam Sejak Muda
Tidak ada kejayaan yang muncul dari ruang hampa. Tiga tokoh besar yang kita bahas sebelumnya---Al-Fatih, Newton, dan Zuckerberg---bukan sekadar "jenius alami". Mereka adalah hasil pembinaan, sistem pendidikan, dan visi jangka panjang yang ditanam sejak usia belia.
1. Al-Fatih: Sistem Pendidikan Islam-Klasik dan Visi Profetik
Sejak kecil, Al-Fatih tidak hanya diajari membaca dan menulis, tetapi juga dipersiapkan dengan kurikulum terintegrasi: ilmu agama, filsafat, bahasa, seni perang, dan strategi politik. Gurunya, Syekh Aaq Syamsuddin, bukan sekadar pendidik akademis, tetapi mentor spiritual yang menanamkan visi besar: "Engkau adalah sang penakluk Konstantinopel."
Pembinaan ini bersifat holistik: fisik (latihan militer), mental (disiplin dan tanggung jawab), kognitif (penguasaan ilmu pengetahuan), serta moral (kesadaran misi sejarah). Sistem pendidikan yang dijalaninya bukan untuk sekadar mencetak prajurit atau birokrat, melainkan untuk membangun pemimpin dengan misi peradaban.
2. Newton: Lingkungan Akademik dan Kebebasan Intelektual