Usia ini juga menjadi titik awal perkembangan metakognisi---kemampuan berpikir tentang pikiran sendiri. Inilah saat remaja mulai bisa merenung, mempertanyakan norma, membentuk nilai. Namun tanpa bimbingan, mereka mudah tersesat dalam relativisme atau sinisme sosial.
Mereka ingin memahami dunia dan tempat mereka di dalamnya, namun informasi yang datang begitu deras dan mentah. Tanpa forum dialog dan kegiatan terarah, mereka akan mencari jawaban dari influencer acak, bukan mentor atau pengalaman nyata. Mereka ingin dipercaya sebagai orang dewasa, tapi belum punya kerangka keputusan yang matang.
Itulah sebabnya fase usia 13--16 adalah jendela emas sekaligus medan rawan. Salah langkah dalam 3 tahun ini bisa berdampak 30 tahun ke depan.
4. Masa Kritis Pembentukan Rasa Tanggung Jawab dan Kebermaknaan
Studi-studi psikologi perkembangan (seperti Carol Dweck, Angela Duckworth, hingga Laurence Steinberg) menunjukkan bahwa self-discipline, grit, dan sense of purpose mulai mengakar di usia ini---jika dibentuk dengan pendekatan yang tepat: tantangan nyata, umpan balik langsung, dan kebersamaan yang membangun.
Sayangnya, sistem pendidikan kita terlalu banyak mengasumsikan: bahwa anak akan "matang sendiri", bahwa karakter bisa dibentuk lewat hafalan Pancasila, bukan praktik hidup bersama. Padahal, usia 13--16 bukan masa menunggu dewasa---tapi masa aktif menanamkan fondasi kedewasaan.
Dengan memahami tantangan neuropsikologis ini, kita justru melihat urgensi hadirnya program nasional berbasis pengalaman, struktur, pembinaan, dan tantangan nyata yang membentuk karakter dan kesadaran kolektif. Inilah justifikasi ilmiah mengapa usia pasca-SMP adalah momentum strategis untuk melaksanakan Program Wajib Karakter Nasional (WKN) sebagai respons sistemik, bukan sekadar reaktif.
C. Kebutuhan Intervensi Sistemik Pasca-SMP
Lulusan SMP di Indonesia berdiri di tepi jurang yang rapuh. Di satu sisi, mereka bukan lagi anak-anak kecil yang bisa dikekang tanpa suara. Di sisi lain, mereka belum cukup matang untuk dilepas begitu saja ke dalam dunia yang semakin kompleks, kompetitif, dan berisik. Inilah masa transisi yang sangat menentukan: apakah seseorang akan tumbuh menjadi pemuda berkarakter, atau terseret arus menjadi pemuda bingung yang hidup sekadar mengalir.
Namun yang terjadi saat ini, pasca-SMP adalah ruang kosong institusional.
1. Ruang Transisi yang Ditinggalkan Negara