Tidak ada sistem pembinaan karakter nasional yang terstruktur di antara kelulusan SMP dan masuk SMA. Semua bergantung pada keberuntungan: jika anak masuk sekolah yang bagus, bertemu guru atau lingkungan yang peduli, mereka bisa tumbuh. Jika tidak? Mereka hanyut---oleh media sosial, tekanan teman sebaya, atau nihilisme budaya populer yang penuh glamor tapi kosong makna.
Negara menempatkan usia pasca-SMP sebagai urusan privat, padahal pada usia inilah pertempuran hidup sesungguhnya dimulai---pertarungan nilai, arah hidup, identitas, dan pilihan masa depan.
2. Pendidikan Formal Tak Mampu Menjawab Kebutuhan Karakter
Sistem pendidikan kita terlalu fokus pada aspek kognitif---nilai rapor, kelulusan, dan ranking. Padahal saat ini, dunia menuntut lebih: ketahanan mental, kerja sama tim, literasi teknologi, kecerdasan emosional, dan kemampuan menyusun orientasi hidup.
Apalagi, realitas remaja masa kini tidak lagi sejalan dengan kurikulum. Saat sekolah masih mengajarkan rumus statis, anak-anak sudah berinteraksi dengan algoritma dinamis. Ketika guru menuntut hafalan, TikTok dan Instagram mengajarkan ekspresi diri dan validasi instan. Maka tak mengherankan jika anak-anak pasca-SMP mudah jenuh di sekolah dan mencari "makna" di tempat lain---yang belum tentu sehat atau aman.
3. Kebutuhan Eksistensial: Bukan Sekadar Belajar, Tapi Menemukan Diri
Anak usia 13--16 butuh lebih dari sekadar tempat belajar. Mereka butuh ruang untuk diuji, untuk merasakan gagal dan bangkit, untuk merasakan berkontribusi nyata dan diakui. Mereka ingin menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri.
Di sinilah pentingnya intervensi sistemik---program nasional yang mampu:
Mengisi ruang transisi antara anak dan dewasa.
Mengarahkan energi besar mereka pada kerja tim dan kontribusi sosial.
Menyediakan panggung untuk menggali potensi dan minat individual.