3. Etika Digital & Hak atas Masa Depan
Anak-anak yang ikut WKN tidak boleh kehilangan kendali atas jejak digital mereka.
Harus ada mekanisme "right to be forgotten", di mana peserta berhak menghapus data pribadi setelah program selesai.
Dengan begitu, WKN tidak menjadi "label permanen" yang membayangi mereka di masa depan (misalnya: "Oh, si A dulu gagal fase disiplin").
Kesimpulannya: karakter nasional hanya bisa tumbuh sehat jika data dijaga, dan kebebasan berpikir dilindungi. Kalau tidak, program ini bisa berubah jadi Big Brother baru yang justru mematikan generasi.
C. Risiko Politik, Ekonomi, dan Teknologi
1. Risiko Politik
Instrumentalisasi kekuasaan: WKN berpotensi dipelintir sebagai alat indoktrinasi politik rezim tertentu, bukan benar-benar untuk bangsa.
Polarisasi sosial: jika implementasi WKN tidak inklusif, bisa muncul resistensi dari kelompok agama, etnis, atau kelas sosial tertentu.
Ketergantungan politik jangka pendek: ada risiko program ini jadi proyek mercusuar yang berubah-ubah sesuai pergantian rezim, kehilangan konsistensi jangka panjang.
Antisipasi: desain WKN harus diikat oleh UU dan konsensus lintas partai, bukan sekadar keputusan eksekutif.
2. Risiko Ekonomi
Biaya sangat besar: membiayai 1 angkatan remaja (jutaan siswa pasca-SMP) untuk 1 tahun penuh dengan fasilitas asrama, kurikulum, mentor, dan infrastruktur digital jelas memakan APBN raksasa.
Ketimpangan implementasi: daerah maju (Jawa, kota besar) bisa menjalankan dengan baik, tapi daerah tertinggal (Papua, NTT, Kalimantan pedalaman) berisiko hanya formalitas.
ROI (Return on Investment) lambat: hasil karakter baru terlihat dalam 10--20 tahun, sementara anggaran besar sudah tersedot tiap tahun.