E. Sosiologi Remaja Indonesia
1. Ketimpangan Budaya Digital dan Nilai Luhur
Remaja Indonesia hari ini tumbuh dalam dua dunia yang sering bertabrakan: dunia digital global dan nilai luhur lokal.
Dari sisi digital, mereka terpapar pada TikTok, Instagram, game online, hingga tren globalisasi budaya K-Pop atau Barat. Ini menciptakan imajinasi yang luas, tapi seringkali dangkal, instan, dan konsumtif.
Dari sisi nilai luhur, mereka masih dibingkai oleh kultur kekeluargaan, agama, dan adat. Namun, warisan nilai ini sering disampaikan dengan cara dogmatis dan membosankan, sehingga tidak "menempel" pada mereka.
Hasilnya, banyak remaja terjebak di antara dua ekstrem:
Over-globalized: merasa lebih dekat dengan tren digital daripada realitas sosial sekitar.
Over-tradisionalized: menolak modernitas tapi tanpa kemampuan kritis.
Ketimpangan ini melahirkan krisis orientasi identitas kebangsaan. Remaja bisa lebih fasih bicara tentang seleb Korea atau youtuber luar negeri daripada memahami tantangan bangsa sendiri.
2. Minim Interaksi Lintas Strata dan Pengalaman Kebangsaan
Indonesia itu luas, heterogen, dan stratifikasi sosial-ekonominya tajam. Sayangnya, remaja jarang punya ruang untuk berinteraksi lintas kelas, budaya, dan wilayah.
Anak SMP di kota besar hidup dengan gawai dan mall, sedangkan di desa terpencil ada yang masih kesulitan akses internet bahkan sekolah.
Remaja menengah atas mungkin terbiasa dengan kursus privat, sementara yang lain harus bantu orang tua di sawah atau berdagang.