Setelah itu, piramida penduduk akan menua, dan tenaga muda tak lagi menjadi kekuatan mayoritas.
Jepang, Korea Selatan, bahkan Tiongkok, sudah melewati masa itu dan kini bergulat dengan krisis populasi menua.
2. Peluang emas atau bencana diam-diam
Bagi Indonesia, periode 2025--2045 adalah jendela waktu yang menentukan: apakah menjadi kekuatan peradaban baru atau hanya "pasar buruh murah" yang sebentar kemudian kehabisan tenaga.
Jika kita gagal menanamkan karakter, visi, dan kemampuan pada generasi remaja hari ini, maka bonus demografi akan berubah jadi kutukan demografi: ledakan pengangguran, instabilitas sosial, dan ketergantungan pada negara lain.
3. Kesempatan yang tak akan kembali
Bonus demografi ibarat gerhana matahari total: langka, indah, sekaligus singkat.
Sekali lewat tanpa dimanfaatkan, ia tidak akan kembali dalam sejarah bangsa.
Artinya, generasi remaja Indonesia hari ini adalah penentu takdir 100 tahun ke depan: apakah kita akan melahirkan al-Fatih baru, Newton baru, Zuckerberg baru---atau hanya menjadi catatan kaki yang gagal memanfaatkan anugerah sejarah.
Pesan penutup bagian ini: bonus demografi bukan sekadar statistik, melainkan ujian sejarah. Sekali gagal, bangsa ini kehilangan momentum selamanya.
D. Indonesia 2045 Menuju Generasi al-Fatih Baru
1. Sejarah sebagai cermin
Muhammad al-Fatih menaklukkan Konstantinopel di usia 24, bukan karena bakat semata, melainkan karena sistem pendidikan, disiplin militer, dan visi peradaban yang ditanamkan sejak belasan tahun.
Newton menemukan kalkulus dan teori gravitasi di usia 24, karena sejak muda ia ditempa dalam tradisi intelektual yang memberi ruang eksplorasi radikal.