Potensi trauma. Pendekatan disiplin keras harus diimbangi dengan pendekatan pedagogis, psikologis, dan berbasis minat.
Keberlanjutan. Program hanya akan efektif bila hasilnya ajeg dan punya jembatan jelas ke masa depan (SMA, vokasi, atau dunia kerja).
Artinya, pengalaman KDM memberi pelajaran emas: program berbasis disiplin untuk remaja bisa berhasil, tetapi hanya bila ia menghindari jebakan represi dan stigma, serta memastikan keberlanjutan.
C. Pentingnya Pendekatan Preventif, Bukan Reaktif
Dari cermin program Masuk Barak KDM, ada satu garis merah yang tak bisa diabaikan: intervensi terhadap remaja jangan menunggu mereka jatuh, melainkan harus dirancang sebagai pagar sebelum jurang.
Program KDM bersifat reaktif---ia hadir setelah anak-anak terseret narkoba, kekerasan, kriminalitas, atau terputus dari sekolah. Itu sebabnya resistensi sosial dan akademis begitu kuat: seolah negara dan masyarakat hanya bertindak setelah gagal melindungi fase kritis pertumbuhan remaja.
Sebaliknya, gagasan wajib militer-edukatif pasca-SMP berdiri di atas paradigma preventif dan proaktif:
1. Momentum usia emas. Usia 13--16 tahun adalah fase neuroplastis tertinggi kedua setelah masa kanak-kanak. Intervensi di titik ini bisa membentuk arah kepribadian dan motivasi jauh lebih efektif daripada upaya rehabilitasi.
2. Normalisasi, bukan stigmatisasi. Karena program ditujukan untuk seluruh remaja, ia tidak menempelkan label "bermasalah" pada individu tertentu. Justru dengan kolektivitas, pengalaman ini menjadi identitas bersama generasi.
3. Investasi jangka panjang. Intervensi dini dengan struktur disiplin, team building, dan orientasi masa depan menciptakan basis kuat bagi eksplorasi akademik, sosial, dan profesional.
Dengan demikian, pelajaran terbesar dari KDM adalah: program berbasis disiplin bisa berhasil, tapi hanya bila ia bersifat preventif, inklusif, dan proaktif. Kita tidak lagi sekadar "memadamkan api", melainkan membangun rumah tahan api yang kokoh sejak fondasi.