Van der Kolk, B. (2014). The Body Keeps the Score: Brain, Mind, and Body in the Healing of Trauma. Viking.
 Menjelaskan keterkaitan trauma masa lalu dengan pola relasional disfungsional, termasuk dalam konteks perselingkuhan.
Luhmann, N. (1986). Love as Passion: The Codification of Intimacy. Harvard University Press.
 Memberikan fondasi sosiologis mengenai bagaimana cinta dan kesetiaan dikonstruksi secara sosial dan kultural.
Tronto, J. C. (1993). Moral Boundaries: A Political Argument for an Ethic of Care. Routledge.
 Diperlukan untuk membingkai pendekatan etis dan empatik terhadap pelaku dan korban perselingkuhan tanpa terjebak dalam moralitas dogmatis.
Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence. Bantam Books.
 Mendukung bagian tentang imunitas kesadaran dan vaksinasi emosional sebagai bentuk daya tahan terhadap infeksi relasional.
Satir, V. (1983). Conjoint Family Therapy. Science and Behavior Books.
 Menjadi dasar pendekatan sistemik terhadap relasi dan bagaimana konflik atau infeksi emosional menyebar dalam struktur yang lebih besar.
Fromm, E. (1956). The Art of Loving. Harper & Row.
 Meredefinisi cinta bukan sebagai perasaan semata, tapi sebagai keterampilan, tanggung jawab, dan latihan kesadaran.
Yalom, I. D. (1980). Existential Psychotherapy. Basic Books.
 Mendalamkan dimensi eksistensial dari relasi dan krisis yang muncul saat makna cinta dan komitmen dipertanyakan.
Bowlby, J. (1969). Attachment and Loss: Vol. 1. Attachment. Basic Books.
 Menjelaskan akar pola keterikatan dan keamanannya sebagai prediktor kestabilan relasi dan resistensi terhadap perselingkuhan.
Epilog
Perselingkuhan bukan sekadar soal siapa yang salah dan siapa yang tersakiti. Ia adalah cermin rapuhnya manusia, ruang kosong dalam diri yang belum sempat terisi dengan kesadaran utuh. Ia bukan hanya pelanggaran, tapi sinyal akan adanya krisis keintiman, komunikasi, dan kehadiran.
Dengan memahami perselingkuhan sebagai flu psiko-emosional, kita belajar bahwa menjadi manusia berarti bersiap menghadapi godaan, tidak dengan mengklaim sterilitas, tapi dengan membangun daya tahan melalui empati, kesadaran diri, dan komunikasi yang jujur. Bukan untuk membenarkan luka, tapi untuk memahami akar dan merawat relasi dengan lebih bijak.