Anak yang tumbuh dalam lingkungan dengan riwayat ketidaksetiaan cenderung membawa pola relasi disfungsional ke dalam hidup dewasanya (lihat: intergenerational transmission of trauma).
Teman atau kolega yang melakukan perselingkuhan dapat secara tidak langsung menggeser persepsi normatif kita tentang kesetiaan, melalui normalisasi perilaku menyimpang.
Proses ini diperparah oleh media digital yang memperluas jangkauan interaksi, memperbanyak godaan, dan menciptakan ilusi keterhubungan instan yang bisa menginfeksi stabilitas relasi. Dalam konteks ini, "penularan" tidak hanya melalui tindakan langsung, melainkan melalui atmosfer sosial dan narasi budaya.
3. Kambuhan (Siklus Psikologis dan Kerapuhan Sistem Imunitas Emosional)
Salah satu ciri khas flu adalah kecenderungannya untuk kambuh, terutama ketika kondisi tubuh menurun. Demikian pula, perselingkuhan sering kali tidak bersifat tunggal. Banyak individu yang pernah melakukan perselingkuhan melaporkan kecenderungan untuk mengulanginya, terutama jika akar psikologis dan sistem relasi tidak mengalami perbaikan struktural.
Kambuhan ini bukan semata soal moralitas rendah, melainkan cerminan dari sistem imunitas kesadaran yang rapuh, serta siklus emosional yang tidak terselesaikan:
Trauma masa lalu yang terus aktif secara bawah sadar
Hubungan inti yang stagnan atau represif
Ketidakmampuan mengelola rasa bosan, hampa, atau tidak terhubung
Dalam psikologi relasi, ini dikenal sebagai reenactment: pola pengulangan tak sadar untuk memenuhi atau menyabotase kebutuhan emosi yang tidak terpenuhi sejak awal. Maka, seperti flu, perselingkuhan bisa datang kembali dalam bentuk yang berbeda, dengan wajah yang baru, namun dengan luka yang serupa.
Dengan membaca perselingkuhan melalui metafora flu, kita dapat: