Mohon tunggu...
Mbah Priyo
Mbah Priyo Mohon Tunggu... Engineer Kerasukan Filsafat

Priyono Mardisukismo - Seorang kakek yang suka menulis, karena menulis bukan sekadar hobi, melainkan vitamin untuk jiwa, olahraga untuk otak, dan terapi kewarasan paling murah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menyelami Makna yang Terungkap: Pragmatik dan Perjalanan Menuju Pemahaman Kebenaran

11 Agustus 2025   07:00 Diperbarui: 11 Agustus 2025   05:38 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selamat pagi sahabat sunyi,

Pagi ini, aku ingin mengajakmu menyelami sesuatu yang sering kita lakukan tanpa benar-benar kita sadari: berbicara. Bukan sekadar merangkai kata, tapi menganyam makna yang lahir dari niat, suasana hati, dan konteks yang melingkupinya. Di balik setiap ucapan, tersimpan rahasia kecil yang membentuk cara kita melihat kebenaran---dan mungkin, mengubahnya.

Di dunia yang penuh dengan kata-kata dan makna yang tak henti-hentinya berganti, aku sering terpesona oleh bagaimana kita berkomunikasi bukan sekadar dengan kata-kata, tetapi dengan konteks, niat, dan suasana hati. Ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar apa yang diucapkan; sebuah lapisan makna yang tersembunyi di balik setiap ucapan dan tindakan. Inilah yang disebut oleh filsafat linguistik sebagai pragmatik---ilmu yang mempelajari bagaimana konteks dan niat pembicara mempengaruhi makna dan pemahaman kita terhadap kebenaran.

Aku tersentak oleh sebuah pertanyaan yang terus bergaung dalam benakku: Bagaimana kita mengetahui apa yang benar, jika makna tidak hanya terletak pada kata-kata itu sendiri, tetapi juga pada bagaimana dan mengapa kita mengatakannya? Di sinilah, aku menyadari, pragmatik berperan sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang diucapkan dan apa yang sebenarnya dimaksudkan, serta bagaimana hal itu memengaruhi persepsi kita terhadap kebenaran.

Dalam perjalanan memahami pragmatik, aku teringat pada pemikiran J.L. Austin dan John Searle yang memperkenalkan konsep speech acts --- tindakan bicara yang tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga melakukan tindakan, seperti berjanji, memerintah, atau mengutuk. Ketika seseorang berkata, "Saya janji akan datang", kata-kata itu tidak hanya berisi informasi, tetapi juga mengandung niat dan komitmen. Maka, makna dari ucapan itu tergantung pada konteks sosial, hubungan antara pembicara dan pendengar, serta suasana hati saat itu.

Aku merenung, bahwa dalam konteks ini, kebenaran bukan lagi sebuah fakta yang tetap dan mutlak. Sebaliknya, kebenaran menjadi sesuatu yang dinamis dan tergantung pada interpretasi dan situasi. Sebuah pernyataan bisa benar dalam satu konteks, tetapi bisa juga tidak relevan atau bahkan menyesatkan dalam konteks lain. Misalnya, ketika seseorang mengatakan, "Cuaca hari ini cerah," pernyataan itu benar jika memang langit cerah saat itu. Tetapi jika diucapkan saat langit mendung, maknanya menjadi berbeda---bukan hanya soal fakta, tetapi soal konteks dan niat.

Aku menyadari, dalam pandangan pragmatik, kebenaran tidak hanya sebuah entitas yang berdiri sendiri, tetapi sebuah konstruksi yang melibatkan hubungan sosial, niat, dan interpretasi. Seperti sebuah lukisan yang tidak lengkap tanpa bingkai dan pencahayaan yang tepat, makna dan kebenaran membutuhkan konteks agar bisa dipahami secara utuh. Maka, jika kita ingin memahami kebenaran, kita harus melihat lebih dari sekadar kata-kata yang diucapkan; kita harus memahami niat dan latar belakang yang melatarbelakangi ucapan tersebut.

Dalam keheningan, aku merenung bahwa ini adalah sebuah perjalanan kontemplatif yang tak berujung. Karena, bagaimana kita bisa memastikan bahwa makna yang kita terima benar-benar sesuai dengan maksud pembicara? Apakah kita mampu selalu memahami konteks secara utuh, ataukah kita hanya melihat bayangan dari apa yang sebenarnya ada? Di sini, aku merasa bahwa pragmatik mengajarkan kita untuk lebih peka terhadap nuansa dan konteks, dan untuk lebih berhati-hati dalam menilai apa yang kita anggap sebagai kebenaran.

Aku juga teringat pada pemikiran filsuf seperti Paul Grice yang memperkenalkan prinsip cooperative principle --- bahwa kita cenderung berkomunikasi secara jujur, relevan, dan jelas. Prinsip ini menunjukkan bahwa komunikasi yang efektif membutuhkan kerjasama dan saling percaya, di mana makna yang diungkapkan tidak lepas dari tanggung jawab sosial. Dalam konteks ini, kebenaran menjadi sesuatu yang tidak hanya bersifat objektif, tetapi juga bergantung pada kejujuran dan niat baik dalam komunikasi.

Namun, dalam dunia nyata yang penuh keraguan dan ambiguitas, aku menyadari bahwa tidak selalu kita dapat memastikan makna secara sempurna. Ada kalanya, niat tersembunyi, kepentingan tertentu, atau bahkan kesalahan dalam memahami konteks membuat kita terjebak dalam interpretasi yang salah. Di sinilah, aku merasa, pragmatik mengajarkan kita untuk bersikap terbuka, kritis, dan penuh kesadaran akan batasan kita dalam memahami kebenaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun