Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Setiap Orang Rentan Selingkuh dan Diselingkuhi

21 Juli 2025   12:37 Diperbarui: 21 Juli 2025   17:26 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perspektif dikotomis---loyal versus selingkuh---terbukti terlalu dangkal dan membatasi kapasitas kita untuk menyembuhkan. Sebaliknya, pendekatan spektral membuka ruang untuk pemahaman yang lebih empatik, solutif, dan berbasis kesadaran. Dalam pendekatan ini, kita tak lagi sekadar mencari siapa yang salah, tetapi menggali "apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam ekosistem relasi ini?" dan "bagaimana kita bisa membangun daya tahan dan kebijaksanaan ke depan?"

Memahami perselingkuhan sebagai fenomena yang manusiawi bukan berarti membenarkannya, melainkan mengakui realitas psikososial yang melatarbelakanginya---bahwa manusia bisa tergelincir, menyimpang, dan sekaligus belajar. Bahwa luka tidak hanya melahirkan kehancuran, tetapi juga kesempatan refleksi dan transformasi.

Dengan demikian, narasi tentang perselingkuhan bukan lagi akhir dari cinta, tapi bisa menjadi awal dari penyembuhan relasi, rekonstruksi nilai, dan kematangan emosional yang lebih utuh---baik bagi individu maupun masyarakat secara luas.

B. Menawarkan Lensa Baru yang Memberdayakan, Bukan Memberangus

Di tengah dominasi narasi yang menghukum, memojokkan, atau sekadar menggampangkan fenomena perselingkuhan, kajian ini menegaskan urgensi untuk menggeser paradigma: dari lensa penghukuman menuju lensa pemberdayaan. Dalam paradigma baru ini, individu tidak lagi dipandang sekadar sebagai "pelaku" atau "korban" dalam pengertian sempit, melainkan sebagai subjek kompleks yang berproses dalam lanskap batin, relasi, dan budaya yang dinamis.

Alih-alih memberangus dengan norma kaku atau moralitas yang dogmatis, pendekatan baru ini mengajak kita menyelami akar luka dan kekosongan yang memicu tindakan menyimpang, sekaligus membangun daya tahan melalui pendidikan afektif, komunikasi autentik, dan spiritualitas reflektif. Di sinilah letak daya transformatifnya: bukan sekadar menyelesaikan masalah, tapi membuka ruang pertumbuhan manusiawi dari pengalaman yang getir.

Pendekatan yang memberdayakan mengandung kepercayaan pada kapasitas manusia untuk berubah, menyembuhkan, dan membangun ulang koneksi yang lebih sehat. Ia menolak stigmatisasi yang membekukan, dan justru mendorong narasi rekonsiliasi yang jujur dan bertanggung jawab---bukan sebagai pemakluman, melainkan sebagai jalan menuju kedewasaan emosional dan sosial.

Dengan memandang perselingkuhan melalui spektrum multilapis, masyarakat pun dapat mulai melepaskan kebiasaan menyederhanakan, dan sebaliknya membangun ekosistem relasi yang sadar, lentur, dan berdaya---baik dalam keluarga, institusi pendidikan, hingga kebijakan publik.

Pada akhirnya, lensa yang memberdayakan bukan berarti permisif terhadap luka, tetapi jujur terhadap kemanusiaan. Ia tidak menghapus batas etika, tapi menyadari bahwa pemulihan dan pencegahan hanya mungkin tumbuh dari kesadaran, bukan paksaan; dari refleksi, bukan vonis.

C. Urgensi Deteksi Dini, Keterbukaan dan Kedewasaan saat Gejala Dini Terdeteksi, serta Pentingnya Menghindari Momen Berduaan

Salah satu pelajaran utama dari kerangka spektrum multilapis perselingkuhan ini adalah pentingnya deteksi dini terhadap gejala-gejala relasional dan emosional yang berpotensi berkembang menjadi pengkhianatan. Dalam banyak kasus, perselingkuhan tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui akumulasi mikro-luka, keterputusan emosional, dan celah-celah komunikasi yang dibiarkan terbuka terlalu lama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun