VII. Analisis Sistemik dan Kultural
A. Faktor Lingkungan Sosial dan Kultural
Perselingkuhan tidak dapat dipahami secara utuh hanya melalui lensa individual atau moralistik semata. Ia tumbuh, berkembang, dan menyebar dalam ekosistem sosial tertentu, sebagaimana virus berkembang biak dalam medium yang mendukung. Lingkungan kultural dan sistemik menjadi inkubator yang memperkuat atau melemahkan daya tahan individu terhadap godaan, rayuan, dan justifikasi rasionalisasi pengkhianatan relasi.
Dalam banyak masyarakat, terdapat narasi-narasi kolektif yang secara sadar atau tidak membentuk "iklim imunologis" terhadap perselingkuhan. Narasi tersebut bisa berupa mitos romantisasi cinta terlarang, glorifikasi dominasi maskulin, atau normalisasi ketimpangan kekuasaan dalam relasi. Kita menemukan bagaimana dalam budaya patriarkis, misalnya, perselingkuhan pria kerap dianggap "kecelakaan biologis" yang dapat dimaklumi, sementara pengkhianatan dari pihak perempuan diperlakukan sebagai pelanggaran eksistensial dan moral yang tak terampuni.
Media massa dan digital turut memperparah keadaan. Film, lagu, hingga algoritma media sosial sering kali menampilkan, bahkan mengidolakan, relasi-relasi rahasia sebagai bentuk "kebebasan emosional" atau "pelarian dari penjara rumah tangga." Sementara platform digital---dengan fitur pesan rahasia, aplikasi kencan, dan rekayasa privasi---menciptakan ruang digital paralel tempat infeksi dapat tumbuh tanpa gejala luar.
Selain itu, ketimpangan sosial-ekonomi dan tekanan urban turut memainkan peran. Di kota-kota besar, relasi menjadi semakin transaksional dan waktu menjadi komoditas. Ketika pasangan lebih sering bertemu tuntutan kerja ketimbang satu sama lain, maka keintiman tercerabut dari tanahnya, dan kerentanan terhadap "pelarian emosional" semakin besar. Dalam konteks ini, perselingkuhan sering kali menjadi respons sistemik terhadap relasi yang kelelahan, kering, dan tidak mendapat dukungan struktural.
Lebih jauh lagi, kultur yang memuja performa dan kesuksesan juga mendorong manusia untuk tampil sempurna secara sosial, namun teralienasi secara emosional. Dalam tekanan untuk selalu terlihat "baik-baik saja", kebutuhan emosional yang tidak terungkap mencari jalan keluarnya sendiri---dan perselingkuhan menjadi salah satu jalan pelarian bawah sadar dari rasa hampa yang tidak bisa dibicarakan.
Dengan demikian, memahami perselingkuhan sebagai fenomena kultural memungkinkan kita membongkar akar-akar yang tak kasat mata: dari sistem patriarki, ketimpangan kekuasaan, budaya kapitalistik, hingga algoritma yang memanipulasi atensi. Ini menantang kita untuk tidak hanya bertanya, "Mengapa orang selingkuh?" tetapi juga "Dalam dunia seperti apa perselingkuhan tumbuh subur dan dianggap normal?"
B. Struktur Relasi yang Disfungsional
Relasi manusia tidak berdiri di ruang hampa. Ia dibentuk dan dibingkai oleh struktur sosial yang lebih besar---nilai, norma, ekonomi, hukum, hingga mitos kultural---yang secara perlahan membentuk kerangka default relasi: apa yang dianggap wajar, sehat, tabu, atau "ideal." Namun dalam praktiknya, struktur relasi yang diwariskan masyarakat sering kali justru memuat cacat bawaan (built-in dysfunctions) yang memicu distorsi, represi, dan pelarian. Perselingkuhan pun muncul sebagai gejala dari struktur yang tidak sanggup lagi menampung kompleksitas kebutuhan manusia kontemporer.
Salah satu bentuk disfungsionalitas struktural yang paling kentara adalah relasi yang tidak adaptif terhadap perubahan. Banyak relasi dibangun dengan harapan statis: cinta yang tidak berubah, seksualitas yang selalu memuaskan, dan peran yang tetap. Padahal manusia, secara biologis dan psikologis, bersifat dinamis---berubah seiring usia, krisis, dan fase kehidupan. Ketika struktur relasi tidak menyediakan ruang untuk renegosiasi kebutuhan, maka stagnasi muncul. Di tengah stagnasi itulah benih keinginan untuk "merasakan kembali kehidupan" muncul, dan pihak ketiga hadir bukan sebagai predator, tetapi sebagai pemicu krisis eksistensial yang telah lama tertunda.