Malam itu, hujan turun semakin deras. Seakan langit pun menangis bersama Raka.
BAB 8: HIDUP TANPA LIRA
Hari pemakaman Lira diguyur hujan rintik-rintik. Payung-payung hitam bertebaran, namun Raka membiarkan dirinya basah kuyup. Ia berdiri kaku di depan nisan yang baru ditutup tanah, menatap nama yang terukir di batu dingin.
Lira Ayuningtyas
2004 -- 2021
"Senyummu abadi dalam kenangan."
Tangannya gemetar saat menyentuh nisan itu. Seolah dengan cara itu, ia bisa merasakan hangatnya kembali. Tapi yang ada hanyalah dingin yang menusuk.
Hari-hari setelah itu berjalan hampa. Raka masih bersama Adinda, namun jiwanya kosong. Setiap kali Adinda berbicara, ia hanya mendengar gema samar. Setiap kali Adinda tersenyum, bayangan wajah Lira selalu muncul menggantikannya.
Hingga suatu malam, saat merapikan laci meja belajarnya, Raka menemukan sebuah buku kecil bersampul biru. Buku itu milik Lira---ia pernah meminjamkannya dulu, namun Raka lupa mengembalikannya. Dengan tangan gemetar, ia membuka halaman pertama.
Tulisan tangan Lira memenuhi lembaran. Catatan harian.
> "Hari ini Raka ketawa keras banget gara-gara aku jatuh di lapangan. Malu sih, tapi aku suka lihat dia ketawa. Entah kenapa, hatiku ikut hangat."
Raka terus membaca, halaman demi halaman. Semua berisi kisah sederhana---tentang kebersamaan mereka, tentang bagaimana Raka membuat hari-hari Lira berwarna, dan tentang perasaan yang selama ini Lira sembunyikan.
Di halaman terakhir, ada tulisan yang membuat Raka terisak tanpa suara: