Musim hujan tiba, dan bersama derasnya air dari langit, hati Lira semakin penuh oleh kesedihan. Ia merasa semakin tak sanggup bertahan di tengah luka yang ia pendam sendiri. Hubungan Raka dan Adinda kini semakin jelas: mereka resmi berpacaran.
Lira hanya bisa tersenyum hambar ketika kabar itu sampai padanya lewat teman sekelas.
"Eh, kamu tahu nggak? Raka sama Adinda jadian!"
"Oh ya? Syukur deh, cocok mereka."
Jawaban yang terdengar ringan, padahal di dalam dirinya, hatinya runtuh.
Malam itu, Lira menangis tanpa suara. Ia tahu ia tidak bisa lagi berpura-pura kuat. Maka, ia mengambil keputusan: pindah ke sekolah lain, di kota yang jauh dari Raka.
Ia tidak sanggup berpamitan langsung. Ia tahu jika melihat wajah Raka, ia takkan mampu melangkah pergi. Maka, ia hanya menuliskan sepucuk surat, singkat tapi sarat makna:
> "Rak, maaf aku nggak bisa pamit langsung. Aku harus pergi. Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu. Jangan khawatirkan aku. Terima kasih sudah jadi bagian terindah dalam hidupku. -- Lira."
Keesokan paginya, surat itu sudah ada di meja Raka, dititipkan melalui seorang teman.
Raka terperangah ketika membacanya. Dadanya terasa sesak. Ia berlari ke rumah Lira, tapi hanya mendapati pintu yang sudah terkunci dan jendela yang tertutup rapat. Lira benar-benar pergi.
Hari-hari setelah itu terasa kosong bagi Raka. Adinda masih ada di sisinya, namun ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Setiap sore, saat ia melihat bangku kosong di taman kota, ia merasa ada yang tercabut dari dirinya.
Namun ia tak pernah benar-benar menyadari---bahwa yang hilang bukan sekadar sahabat, melainkan rumah bagi hatinya sendiri.
Dan bagi Lira, kepergian itu adalah cara terakhir untuk melindungi dirinya dari luka yang semakin dalam... meski ia tak tahu, takdir telah menyiapkan kejutan yang jauh lebih pahit di depan sana.
BAB 7: KABAR BURUK