Lira, dengan rambut hitam yang mulai lembap karena gerimis, menyusul dengan langkah kecil. "Ya kan kalau basah nanti sakit. Lagian, aku nggak mau dimarahi Mama gara-gara pulang kuyup."
Mereka berdua akhirnya berjalan berdampingan. Raka, dengan sikap cerianya, mulai menceritakan hal-hal konyol yang membuat Lira tak tahan untuk tidak tertawa. Sejak duduk di kelas tujuh, mereka memang selalu bersama. Duduk sebangku, belajar kelompok, bahkan guru sering salah paham mengira mereka berpacaran.
"Eh, kamu sadar nggak sih," kata Raka suatu kali, "kita tuh sering dibilang kembar nggak serupa."
Lira mengangkat alis. "Kembar gimana maksudnya?"
"Ya, kita selalu bareng, kemana-mana pasti berdua. Bedanya, aku ganteng, kamu cantik. Cocok banget kan?" Raka terkekeh dengan gaya sok percaya diri.
Lira hanya menggeleng, tersenyum samar. "Sok banget. Tapi... iya juga sih."
Itulah awal dari persahabatan yang terus berlanjut, mengikat mereka hingga SMA nanti. Persahabatan yang begitu erat, hingga Lira sering lupa bahwa tidak semua rasa bisa disamakan. Bahwa suatu hari, perasaan itu akan tumbuh berbeda---dan membawa luka yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
BAB 2: BENIH YANG TUMBUH DIAM-DIAM
Masa SMA bagi kebanyakan orang adalah masa pencarian jati diri, penuh warna dan cerita. Bagi Lira, masa itu tetap sama---dengan satu pengecualian: ia memiliki Raka.
Setiap pagi, mereka berangkat bersama. Raka selalu datang dengan sepeda motornya, menunggu di depan rumah Lira sambil membunyikan klakson pendek dua kali---tanda khas mereka.
"Cepetan, Li! Nanti telat!" seru Raka.
Lira keluar dengan rambut terikat rapi, membawa buku-buku yang terlalu banyak untuk digenggam. Tanpa diminta, Raka selalu mengambil sebagian buku itu dan memasukkannya ke dalam tasnya sendiri.
"Biar ringan, kamu kan lemah," katanya sambil menyeringai.