Beberapa bulan berlalu sejak kepergian Lira. Raka mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa bersama Adinda, namun ada sesuatu yang terus mengganjal. Setiap kali ia tertawa, selalu ada ruang kosong di hatinya. Setiap sore, saat langit mulai memerah, ia kembali teringat pada bangku taman yang dulu tak pernah sepi.
Suatu malam, hujan turun deras. Raka sedang duduk di kamarnya ketika ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar adalah salah satu teman lama mereka, Dina.
"Raka... kamu udah tahu kabarnya, belum?" suara di seberang terdengar bergetar.
"Apaan? Kok serius banget?" Raka menegakkan tubuh.
"Lira... dia kecelakaan. Kondisinya kritis. Sekarang ada di rumah sakit kota. Kalau kamu bisa... datanglah."
Darah Raka seakan berhenti mengalir. Ia langsung meraih jaket, tanpa pikir panjang berlari menembus hujan. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, pikirannya kacau.
"Tidak... ini nggak mungkin. Lira kuat. Dia baik-baik saja. Dia harus baik-baik saja!"
Sesampainya di rumah sakit, ia menemukan koridor yang sepi. Bau obat-obatan menusuk hidungnya. Di ujung lorong, ia melihat tubuh rapuh Lira terbujur di ranjang, wajahnya pucat, selang-selang menempel di tubuhnya.
"Lira..." suara Raka pecah, matanya basah. Ia mendekat, menggenggam tangan sahabatnya yang dingin.
Perlahan, kelopak mata Lira terbuka. Senyum lemah muncul di wajahnya.
"Rak... kamu datang."
"Jangan ngomong gitu, Li. Kamu pasti sembuh. Kita masih banyak janji, masih banyak mimpi, ingat?" Raka menggenggam tangannya lebih erat, berusaha menahan isak.
Lira menatapnya dalam-dalam. "Aku senang... bisa lihat kamu lagi. Walau sebentar. Rak..." suaranya melemah, namun matanya berbinar penuh rasa yang terpendam, "aku... selalu cinta sama kamu."
Air mata Raka jatuh tanpa bisa ditahan. Ia menunduk, membalas dengan suara bergetar, "Aku juga, Lira. Aku cinta kamu. Maaf... aku baru sadar sekarang. Maaf aku terlambat."
Lira tersenyum. Senyum paling tulus, meski begitu rapuh.
"Terima kasih... aku bahagia dengar itu."
Dan detik berikutnya, monitor di samping ranjang berbunyi panjang. Garis hijau berubah lurus.
"Lira! Jangan tinggalin aku! Tolong! Dokter!!" Raka berteriak, suaranya pecah. Namun takdir telah memilih. Lira pergi, meninggalkan dunia ini dengan senyum terakhirnya, meninggalkan Raka dengan penyesalan yang takkan pernah hilang.