"Eh, salam kenal ya," Raka menyodorkan tangan dengan ramah.
"Salam kenal," jawab Adinda sambil tersenyum.
Sejak hari itu, Lira merasa ada sesuatu yang berubah. Raka semakin sering terlihat bercanda dengan Adinda. Tawa yang biasanya hanya Lira yang mendengarnya, kini juga keluar saat Raka bersama Adinda.
"Lira, kamu udah ngerjain PR Matematika? Susah banget ya," tanya Raka suatu siang.
"Udah sih, kenapa?" jawab Lira.
"Bagus. Nanti jelasin ke aku sama Adinda, ya."
Nama itu mulai sering terdengar. Awalnya Lira mencoba biasa saja, tapi perlahan, hatinya terasa perih. Ada rasa asing yang tumbuh: cemburu.
Di rumah, Lira mencoba menenangkan diri. "Aku kan sahabatnya. Wajar kalau dia dekat dengan orang lain. Aku nggak boleh egois." Tapi hatinya menolak. Ada sesuatu yang mengganjal setiap kali ia melihat Raka dan Adinda tertawa bersama.
Hari-hari berlalu, dan Lira semakin sadar. Perasaan yang selama ini ia simpan rapat-rapat, kini benar-benar diuji. Ia mulai takut kehilangan Raka, tapi juga takut jika harus mengaku.
Dan dalam diam, ia tahu: hadirnya Adinda adalah awal dari badai besar yang akan mengubah segalanya.
BAB 4:PENGAKUAN YANG TERLAMBAT
Langit sore itu berwarna jingga keemasan, mewarnai taman kota tempat Raka dan Lira sering duduk bersama. Angin berhembus pelan, membawa aroma bunga yang bermekaran. Namun, hati Lira sama sekali tidak tenang.
Sejak Adinda hadir, pikirannya dipenuhi rasa takut. Takut kehilangan Raka, takut persahabatan mereka retak. Namun, lebih dari itu---takut menyesal karena tak pernah jujur.
Raka duduk di sampingnya, santai seperti biasa. Ia melemparkan senyum sambil menatap langit.
"Senja hari ini indah banget, ya. Kalau kamu nggak ada, aku pasti nggak bakal bisa nikmatin kayak gini."