Tak ada jawaban selain suara angin yang menyapu rerumputan. Tapi bagi Raka, itu sudah cukup. Ia merasa seakan Lira selalu ada, mendengarkan dengan sabar, seperti dulu.
Banyak orang datang dan pergi dalam hidup Raka. Ada yang mencoba mengisi hatinya, ada yang berharap bisa menjadi bagian dari hari-harinya. Tapi semua itu tak pernah berhasil. Setiap kali ia mencoba membuka diri, bayangan Lira selalu muncul lebih dulu.
Teman-teman lama sering bertanya, "Raka, kenapa kamu nggak menikah?"
Ia hanya tersenyum samar dan menjawab, "Hati saya sudah memilih sejak lama."
Kesunyian menjadi sahabatnya. Namun ia tidak menyesal. Baginya, mencintai Lira, meski hanya dalam kenangan, adalah anugerah terbesar.
Di bangku taman itu, di bawah langit jingga yang selalu mengingatkannya pada senyum terakhir Lira, Raka menemukan semacam ketenangan. Meski hatinya hancur, meski kesepian tak pernah benar-benar hilang, ia merasa dekat dengan Lira di setiap senja.
Dan dalam kesunyian itu, Raka hanya menunggu satu hal: saat di mana ia bisa bertemu Lira lagi, entah di dunia lain, entah di balik cakrawala yang tak bisa dijangkau mata.
EPILOG: SENJA TERAKHIR
Sore itu, langit terbakar jingga, lebih indah dari biasanya. Raka, yang kini rambutnya telah memutih seluruhnya, berjalan perlahan menuju taman kota dengan tongkat di tangan. Nafasnya pendek, tubuhnya lemah, namun langkahnya tetap setia menuju bangku yang sama---bangku yang dulu ia bagi bersama Lira.
Ia duduk pelan, menatap langit yang mulai berubah warna. Tangannya gemetar saat membuka sebuah buku kecil bersampul biru---buku harian milik Lira yang tak pernah ia lepaskan sejak remaja. Ia membacanya sekali lagi, meski sudah ribuan kali dihafal di kepalanya.
Air matanya jatuh, bukan lagi karena sakit, tapi karena rindu yang tak pernah padam.
"Li... aku sudah tua sekarang. Hidupku panjang, tapi rasanya kosong tanpa kamu. Aku capek... tapi aku bahagia, karena sebentar lagi aku bisa ketemu kamu lagi."
Suara angin menjawab dengan lembut, seakan membawa bisikan yang menenangkan. Raka memejamkan mata, bibirnya masih melafalkan nama yang sama, nama yang sudah menemaninya sepanjang hidup.