Ucapan sederhana itu membuat hati Lira bergetar. Ia tahu, ini saatnya. Ia tak bisa lagi menyimpan perasaan sendirian.
"Rak..." suara Lira pelan, hampir bergetar.
"Hm?" Raka menoleh, menatapnya dengan mata jernih.
Lira menelan ludah, lalu memberanikan diri.
"Kalau aku bilang... aku suka sama kamu. Lebih dari sahabat. Kamu marah nggak?"
Keheningan langsung turun. Raka terdiam, tatapannya tak lepas dari wajah Lira. Detik terasa berjalan sangat lambat, membuat jantung Lira hampir pecah.
Akhirnya, Raka menarik napas panjang. Senyumnya muncul, tapi ada sesuatu yang getir di dalamnya.
"Lira... kamu orang paling berharga dalam hidupku. Kamu tahu itu. Tapi... bukan dengan cara yang kamu maksud. Aku sayang kamu, tapi sebagai sahabat. Dan aku nggak mau kehilangan itu."
Lira merasakan dadanya diremas. Ia menunduk, menahan air mata yang siap jatuh. Tapi ia paksa bibirnya melengkung.
"Aku ngerti... tenang aja, aku tetap sahabatmu kok."
Raka meraih tangannya, menggenggam erat. "Jangan berubah, ya. Kamu sahabat terbaikku, sampai kapan pun."
Lira hanya mengangguk. Tapi dalam hatinya, ia tahu semuanya sudah berubah. Persahabatan itu tak akan pernah sama lagi, karena perasaannya kini menjadi luka yang tak bisa ia sembuhkan.
Dan tanpa Raka sadari, pengakuan Lira hari itu adalah awal dari jarak yang perlahan akan terbentuk di antara mereka.
BAB 5: LUKA DALAM DIAM
Hari-hari setelah pengakuan itu terasa berbeda bagi Lira. Walau ia berusaha bersikap biasa, hatinya seakan retak setiap kali berhadapan dengan Raka. Senyum masih ada, canda masih terdengar, tapi ada ruang hampa di antara mereka yang tak lagi bisa disembunyikan.