Mohon tunggu...
Andriyanie CB
Andriyanie CB Mohon Tunggu... Fiction Writer, Poetry Writer, Songwriter, Phonics Book Writer, Language and Linguistics Blogger, Shutterbug, Media Publicist for Indonesian Children's Talents

Ruang Fiksi, Puisi, dan Media Publikasi Talenta Anak Indonesia -- Follow IG: @andriyanie121

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Langit Jingga Terakhir

16 September 2025   07:02 Diperbarui: 16 September 2025   07:02 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Gambar: OpenAI)

Yang membuat luka itu semakin dalam adalah kenyataan bahwa Raka kian dekat dengan Adinda. Mereka sering pulang bersama, belajar berdua, bahkan beberapa teman mulai menggoda, "Raka sama Adinda cocok banget, ya. Kayak pasangan."

Setiap kali mendengar itu, Lira hanya bisa tersenyum kaku. Padahal, di dalam hatinya, ada ribuan jarum menusuk.

Suatu sore, saat mereka bertiga belajar kelompok, Raka tak henti-hentinya memuji Adinda.
"Pintar banget sih kamu, Din. Aku jadi gampang ngerti kalau kamu yang jelasin."

Lira menunduk, pura-pura fokus pada bukunya, padahal huruf-huruf di kertas sudah kabur oleh genangan air mata yang ia tahan mati-matian.

Malam harinya, ia menulis di buku hariannya:

> "Ternyata begini rasanya mencintai diam-diam. Melihat orang yang kamu sayang tertawa dengan orang lain. Rasanya seperti tersenyum di luar, tapi menangis di dalam. Aku ingin bahagia untuknya, tapi hatiku hancur berkeping-keping."

Sejak itu, Lira mulai menjaga jarak. Ia tak lagi selalu ikut belajar kelompok, sering menolak ajakan Raka dengan alasan lelah atau sibuk. Raka sempat curiga.
"Lira, kamu kenapa akhir-akhir ini sering nolak? Kita kan biasanya selalu bareng."
"Nggak apa-apa, Rak. Aku cuma butuh waktu sendiri," jawabnya singkat, menahan suara agar tidak pecah.

Raka mencoba memahami, tanpa sadar bahwa jarak yang ia biarkan itu perlahan menjadi jurang.

Lira sendiri semakin merasa terasing. Ia masih mencintai Raka, tapi ia sadar cintanya hanya membuat dirinya sendiri tersiksa. Dan dalam kesunyian malam, ia sering bertanya pada dirinya sendiri:
"Kalau waktu bisa diputar ulang... apa aku lebih baik diam saja, daripada harus kehilangan seperti ini?"

Namun, takdir sudah menancapkan jalannya. Perasaan yang pernah diucapkan tak bisa ditarik kembali. Dan luka itu kini menjadi bagian dari dirinya.

BAB 6: PERGI TANPA PAMIT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun