Mohon tunggu...
Abdurrahman
Abdurrahman Mohon Tunggu... Peneliti Madya di SegiPan (Serikat Garda Intelektual Pemuda Analisis Nasionalisme)

Tertarik dengan kajian kebijakan publik dan tata pemerintahan serta suka minum kopi sambil mengamati dengan mencoba membaca yang tidak terlihat dari kejadian-kejadian politik Indonesia. Sruput... Kopi ne...!?

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dari Kolonialisme ke Kontrak Global: Bagaimana Trump Menantang Globalis Order

26 September 2025   10:52 Diperbarui: 26 September 2025   10:52 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden AS Donald Trump berpidato di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-80, di New York City, AS, 23 September 2025. (REUTERS/Alexander Drago)

Ketiga, SWIFT vs CIPS menunjukkan fragmentasi dalam sistem keuangan global. SWIFT, jaringan pembayaran lintas negara berbasis Belgia, telah lama menjadi infrastruktur dominan transaksi internasional. Namun, penggunaan SWIFT untuk menerapkan sanksi finansial terhadap Rusia sejak 2022 memperlihatkan sisi geopolitik dari instrumen ini. Sebagai respons, Tiongkok memperkuat sistem alternatifnya, Cross-Border Interbank Payment System (CIPS), yang semakin luas digunakan dalam transaksi yuan lintas negara. Dengan makin banyak negara BRICS dan ASEAN menguji LCT, kita melihat tanda lahirnya ekosistem pembayaran global yang terfragmentasi.

Keempat, teknologi digital: 5G dan ekosistem AI. Persaingan Huawei dengan perusahaan teknologi Barat memperlihatkan bahwa standar teknologi tidak lagi tunggal. Amerika berusaha membatasi ekspansi Huawei dengan alasan keamanan nasional, sementara Tiongkok mendorong 5G sebagai standar global baru. Hal serupa terjadi pada regulasi kecerdasan buatan (AI), di mana Uni Eropa meluncurkan AI Act dengan pendekatan etis dan HAM, sedangkan Tiongkok menekankan kontrol negara dan stabilitas sosial. Perbedaan standar ini mempercepat fragmentasi teknologi global.

Kelima, narasi global soal perubahan iklim. Barat menekankan transisi energi berbasis ESG (Environmental, Social, and Governance), dengan standar ketat yang seringkali dipandang negara berkembang sebagai bentuk proteksionisme hijau. Sebaliknya, negara-negara penghasil energi fosil di BRICS atau OPEC menegosiasikan jalan transisi yang lebih gradual. Indonesia misalnya, dalam kasus sawit, menghadapi tekanan ESG dari Uni Eropa, namun juga mendapat dukungan pasar dari India dan Tiongkok yang tidak mengaitkan perdagangan dengan standar lingkungan yang sama.

Melalui ilustrasi-ilustrasi ini, tampak bahwa multipolaritas bukan sekadar teori, melainkan realitas praktis yang kini menyentuh hampir semua sektor: keuangan, keamanan, teknologi, hingga narasi global. Dunia tidak lagi berjalan dalam satu rel Globalis Order, tetapi bercabang ke dalam beberapa jalur paralel yang saling berkompetisi sekaligus terhubung.

Studi Kasus

1. Indonesia 1998: IMF dan Reformasi Ekonomi

Krisis finansial Asia 1997--1998 menjadi titik balik penting dalam relasi Indonesia dengan Globalis Order. Ketika rupiah terjun bebas dan perbankan kolaps, IMF hadir dengan paket bailout senilai lebih dari USD 40 miliar. Namun, bantuan ini tidak tanpa syarat. Indonesia dipaksa menjalankan structural adjustment programs: liberalisasi perdagangan, deregulasi, pencabutan subsidi, dan privatisasi BUMN strategis. Akibatnya, banyak sektor vital berpindah ke tangan asing, sementara biaya sosial melonjak dengan kenaikan harga bahan pokok dan melemahnya jaring pengaman sosial. Reformasi politik yang menyusul memang membuka demokratisasi, tetapi secara ekonomi, intervensi IMF memperlihatkan bagaimana instrumen utang dan conditionalities digunakan untuk merombak struktur ekonomi sebuah negara sesuai cetak biru globalis.

2. Freeport 1967: Kontrak Jangka Panjang

Kontrak karya pertama Freeport di Papua pada 1967 adalah contoh klasik bagaimana kontrak internasional menjadi pengganti kolonialisme langsung. Ditandatangani bahkan sebelum Undang-Undang Penanaman Modal Asing resmi berlaku, kontrak ini memberi konsesi besar pada perusahaan tambang asal Amerika. Selama puluhan tahun, Freeport menguasai cadangan emas dan tembaga terbesar dunia, sementara kontribusi ke daerah relatif minim. Kasus ini memperlihatkan bahwa "sovereignty by contract" menjadi modus baru dalam hubungan global: negara sah secara politik, tetapi kontrol atas sumber daya strategis dikunci lewat instrumen hukum internasional yang mengikat jangka panjang.

3. Ukraina 2014--2022: Konflik, Sanksi, dan Rekonstruksi

Krisis Ukraina memperlihatkan wajah geopolitik globalis dalam skala besar. Setelah revolusi Maidan 2014 dan aneksasi Krimea oleh Rusia, Ukraina masuk ke pusaran konflik geopolitik. Sanksi ekonomi dijadikan instrumen tekanan Barat terhadap Rusia, sekaligus alat untuk menarik Ukraina lebih erat ke orbit Uni Eropa dan NATO. Pada fase invasi 2022, Ukraina tidak hanya menjadi medan perang kinetik, tetapi juga pasar masa depan: berbagai kontrak rekonstruksi infrastruktur, energi, hingga pertanian sudah dipersiapkan oleh perusahaan multinasional Barat bahkan sebelum perang usai. Dengan demikian, Ukraina menjadi laboratorium bagi kombinasi senjata militer, finansial, dan kontraktual dalam Globalis Order.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun