Insentif bagi inovasi teknologi lokal, sehingga Indonesia tidak sekadar menjadi pasar teknologi asing.
Dengan opsi kebijakan di atas, Indonesia dapat menempuh strategi tiga lapis:
1. Defensive (kedaulatan fiskal dan narrative defense),
2. Offensive (standard setting & blok regional),
3. Resilience (industri strategis dan supply chain domestik).
Tiga lapis strategi ini saling menopang dan memungkinkan Indonesia mengubah posisi dari rule-taker menjadi rule-shaper di era multipolar yang sedang terbentuk.
Konklusi "How What" IndonesiaÂ
Globalis order ibarat sebuah panggung sandiwara yang terus berganti kostum, tetapi naskahnya tetap sama: mempertahankan struktur kekuasaan. Di abad ke-19, wajahnya kolonialisme klasik dengan kapal layar, senjata, dan administrasi kolonial. Di abad ke-20, ia berubah menjadi kontrak jangka panjang, pinjaman IMF, hingga perjanjian investasi yang mengikat negara berkembang. Kini, di abad ke-21, wajahnya lebih halus: standar ESG, rating agencies, regulasi FATF, dan narasi pembangunan berkelanjutan. Semua ini mengalir dalam bahasa modern tentang demokrasi, keberlanjutan, dan keterbukaan pasar, namun di baliknya tetap ada tujuan yang sama---menentukan siapa yang menulis kontrak, siapa yang mengatur panggung, dan siapa yang hanya menjadi penonton.
Kemenangan Donald Trump pada 2016 mengguncang panggung itu. Ia datang dengan jargon "America First", menolak konsensus yang dibangun setelah Perang Dingin, bahkan berani menyerang institusi internasional yang selama ini dianggap tak tersentuh. Ketika ia menutup pintu bagi TPP, memaksa renegosiasi NAFTA menjadi USMCA, atau memangkas dana untuk WHO, Trump seakan menampar wajah globalis: bahwa AS tak harus lagi tunduk pada tatanan yang dibuat dengan mengorbankan kedaulatan ekonomi domestik. Retorika kerasnya di podium PBB tahun 2018 bukan sekadar pidato, tetapi cermin keretakan dalam fondasi global order.
Namun, globalis bukan lawan yang mudah tumbang. Mereka merespons dengan strategi lebih halus namun menyeluruh. Narasi Great Reset dari World Economic Forum menjadi semacam "kontrak baru" yang menyatukan isu pandemi, iklim, dan teknologi dalam satu paket solusi global. Standar ESG dipromosikan bukan hanya sebagai pedoman etika bisnis, tetapi juga alat penilaian investasi global. Lembaga internasional seperti IMF, WTO, dan WHO kembali dipoles sebagai otoritas moral untuk menekan negara yang keluar jalur. Bahkan perang narasi tentang HAM, lingkungan, dan demokrasi dipakai sebagai senjata untuk mengisolasi figur seperti Trump.
Di tengah tarik-menarik inilah, dunia bergerak ke arah multipolaritas. BRICS+ semakin berani melawan dominasi dolar lewat local currency trade (LCT). Asia Tenggara mengembangkan payment connectivity dan QRIS lintas negara sebagai langkah kecil keluar dari jeratan sistem keuangan global. Afrika dan Amerika Latin mulai berani bicara soal kedaulatan pangan dan energi. Fragmentasi ini membuka peluang: ada celah bagi negara berkembang untuk tidak hanya ikut dalam kontrak, tetapi mulai ikut menulis isi kontrak itu.