Selanjutnya, Trump memaksa renegosiasi NAFTA menjadi United States-Mexico-Canada Agreement (USMCA). Di dalamnya, terdapat klausul yang lebih protektif terhadap industri otomotif AS, hak kekayaan intelektual, dan ketentuan tenaga kerja. Dengan demikian, Trump mengubah kontrak perdagangan menjadi instrumen untuk memperkuat posisi nasional, bukan sekadar membuka pasar.
Langkah paling dramatis adalah trade war dengan Tiongkok (2018--2019). Trump mengenakan tarif impor hingga ratusan miliar dolar terhadap produk Tiongkok, dengan alasan defisit perdagangan dan pencurian hak kekayaan intelektual. Bagi globalis order, perang dagang ini adalah ancaman langsung, karena rantai pasok global yang dibangun sejak 1990-an didasarkan pada integrasi pasar AS--Tiongkok.
3. Tindakan Kelembagaan: Menarik Diri dari Multilateralisme
Trump tidak hanya menyerang secara ekonomi, tetapi juga melemahkan pilar kelembagaan global. Ia memangkas dana kontribusi AS untuk WHO, dengan tuduhan lembaga tersebut bias terhadap Tiongkok dalam penanganan pandemi COVID-19. Ia juga menarik AS dari UNESCO, menilai lembaga itu tidak lagi sejalan dengan kepentingan nasional.
Terhadap NATO, Trump melancarkan kritik keras. Ia menuntut anggota lain menanggung lebih banyak biaya pertahanan, dengan sindiran bahwa Amerika bukanlah "polisi gratis" dunia. Dengan langkah-langkah ini, Trump menggeser paradigma: AS tidak lagi bersedia menjadi sponsor utama lembaga internasional yang dianggap memperkuat globalis order.
4. Energi & Keuangan: Shale Revolution dan Sanksi Geopolitik
Di bidang energi, Trump mendorong apa yang disebut shale revolution. Produksi minyak dan gas shale menjadikan Amerika Serikat bukan hanya swasembada energi, tetapi juga eksportir utama. Strategi ini mengguncang pasar global yang sebelumnya didominasi OPEC. Energi dijadikan alat politik: AS lebih bebas menjatuhkan sanksi terhadap Iran, Venezuela, dan Rusia tanpa khawatir terhadap pasokan domestik.
Di sektor keuangan, Trump menekan aliran dana ke negara-negara yang dianggap musuh. Sanksi ekonomi diterapkan bukan hanya terhadap aktor negara, tetapi juga individu, perusahaan, bahkan sistem pembayaran lintas batas. Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa AS masih memegang senjata pamungkas: kendali atas dolar dan sistem keuangan global berbasis SWIFT.
5. Diplomasi: Bypass Multilateral, Prioritaskan Bilateral
Dalam politik luar negeri, Trump mematahkan norma multilateral. Ia lebih memilih negosiasi bilateral dengan tokoh-tokoh kunci: Vladimir Putin (Rusia), Kim Jong-un (Korea Utara), Narendra Modi (India), dan Recep Tayyip Erdogan (Turki). Cara ini bertentangan dengan arsitektur diplomasi globalis yang biasanya mengutamakan forum kolektif.
Pertemuan langsung dengan Kim Jong-un, misalnya, bukan hanya soal denuklirisasi Korea Utara, tetapi juga sinyal bahwa Trump tidak segan mengabaikan mekanisme multilateral (PBB, Six-Party Talks). Begitu pula dengan Erdogan, Trump menggunakan pendekatan transaksional, menjadikan isu pertahanan sebagai barter politik.