Analisis Singkat
Dengan langkah-langkah ini, Trump bukan hanya menentang globalisasi dalam pengertian ekonomi, tetapi juga meruntuhkan legitimasi globalis order. Retorika patriotisme, proteksionisme, pembangkangan terhadap lembaga internasional, kemandirian energi, dan diplomasi bilateral adalah satu paket strategi yang menjadikan Trump "outlier" dalam sistem global.
Namun, yang menarik, resistensi Trump justru memicu respons balik dari aktor-aktor globalis. Mereka mendorong narasi Great Reset, memperketat standar ESG, dan menggunakan narrative warfare untuk menggambarkan Trump sebagai ancaman bagi demokrasi liberal. Dengan kata lain, Trump membuka babak baru dalam konflik laten antara kedaulatan nasional versus tata kelola global.
Respon Globalis Atas Pembangkangan TrumpÂ
Kebangkitan politik Trump dengan agenda "America First" tidak hanya dipahami sebagai anomali politik domestik Amerika, tetapi juga sebagai tantangan serius terhadap arsitektur Globalis Order yang telah dibangun pasca-Perang Dunia II. Karena itu, respon dari aktor-aktor globalis muncul dalam bentuk yang sistematis, terukur, dan bersifat multidimensi---menggabungkan narasi, regulasi, hingga perangkat institusional.
Pertama, narasi Great Reset yang dipopulerkan oleh World Economic Forum (WEF) sejak pandemi COVID-19 menjadi kanal utama untuk menata ulang legitimasi proyek globalis. Dengan mengusung wacana Build Back Better, sustainability, dan transformasi digital hijau, narasi ini berfungsi sebagai payung konseptual untuk merespons populisme nasionalis yang semakin menguat. WEF dan jaringan think tank menegaskan bahwa masalah global seperti pandemi, krisis iklim, dan ketimpangan sosial tidak dapat diselesaikan oleh negara-bangsa secara sendiri, melainkan memerlukan tata kelola global.
Kedua, standar ESG (Environmental, Social, Governance) dijadikan instrumen normatif sekaligus tekanan ekonomi yang lebih subtil. Dengan menjadikan ESG sebagai parameter utama investasi dan pembiayaan, globalis mendorong perusahaan, negara berkembang, bahkan pemerintah lokal untuk menyesuaikan kebijakan mereka agar kompatibel dengan standar yang mereka tetapkan. Pada titik ini, ESG tidak sekadar panduan etika, tetapi instrumen pengendalian kapital dan legitimasi korporasi dalam lanskap global.
Ketiga, penguatan lembaga internasional seperti WTO, IMF, dan WHO menjadi langkah penting untuk melawan fragmentasi sistem akibat retorika Trump. WTO kembali dihidupkan perannya sebagai pengawal perdagangan multilateral, IMF menegaskan peran sebagai penyelamat krisis keuangan dengan syarat-syarat tertentu, sementara WHO menjadi simbol solidaritas kesehatan global yang sempat dipertanyakan legitimasi dan otoritasnya ketika Trump memangkas dukungan Amerika.
Keempat, isolasi narasi Trump berlangsung melalui media arus utama, jaringan akademis, dan diplomasi publik. Retorika "America First" diposisikan sebagai bentuk proteksionisme yang mengancam stabilitas global, bahkan sering dikaitkan dengan kemunduran demokrasi liberal. Narasi tandingan ini berupaya menegaskan bahwa kepemimpinan Amerika seharusnya dikembalikan pada peran tradisionalnya sebagai pengawal multilateralisme, bukan sebagai negara predator yang hanya mengejar keuntungan sepihak.
Kelima, penekanan pada isu HAM, lingkungan, dan demokrasi menjadi strategi paling efektif untuk menekan negara-negara yang terinspirasi oleh pendekatan Trump. Instrumen ini digunakan bukan hanya pada rival geopolitik seperti Rusia dan Tiongkok, tetapi juga pada sekutu yang dianggap menyimpang dari norma globalis. Dengan menempatkan isu-isu tersebut sebagai conditionalities bagi bantuan, pinjaman, hingga perjanjian dagang, globalis memastikan bahwa arsitektur normatif tetap terjaga, meskipun terdapat tantangan politik dari dalam negeri negara-negara besar.
Secara keseluruhan, respon globalis terhadap fenomena Trump menunjukkan sifat adaptif dari Globalis Order: alih-alih mundur, mereka justru menggunakan momentum krisis untuk memperbarui legitimasi, memperluas instrumen pengendalian, dan mengonsolidasikan narasi. Tantangan populisme nasionalis dengan wajah Trump memang mengguncang, tetapi juga membuka ruang bagi globalis untuk menguatkan klaim bahwa tata kelola dunia tidak bisa dikembalikan pada logika negara-bangsa semata.