Keempat, dari aspek kerentanan non-kinetik, Indonesia tidak kebal terhadap ancaman sanksi atau pengucilan finansial. Walaupun jarang digunakan secara frontal terhadap Jakarta, mekanisme FATF dan isu kepatuhan anti-terorisme pernah menempatkan Indonesia dalam posisi sulit. Risiko dikeluarkan dari sistem perbankan global membuat pemerintah mau tidak mau menyesuaikan regulasi domestik sesuai arahan internasional, meski kadang tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan lokal.
Kelima, pada level narasi dan legitimasi hukum, Indonesia juga menghadapi tekanan. Wacana tentang demokrasi, HAM, dan tata kelola "baik" sering kali digunakan sebagai parameter keabsahan politik nasional. Ketika Indonesia mencoba mengedepankan model pembangunan yang lebih berdaulat, narasi global bisa dengan cepat membingkai langkah tersebut sebagai "otoritarianisme," "protektionisme," atau "kemunduran demokrasi." Narasi inilah yang pada akhirnya membatasi ruang diplomasi, karena Indonesia harus terus-menerus membuktikan diri agar tetap dianggap "anggota baik" dari komunitas global.
Secara keseluruhan, dampak mekanisme globalis order bagi Indonesia dapat dirangkum menjadi tiga aspek utama. Pertama, reduksi kedaulatan kebijakan, di mana keputusan domestik selalu berada di bawah bayang-bayang kontrak dan standar global. Kedua, reproduksi ketergantungan, karena akses pada modal dan pasar global membuat Indonesia sulit lepas dari orbit finansial internasional. Ketiga, konstruksi identitas politik, di mana narasi global membentuk cara pandang dunia terhadap Indonesia, bahkan sebelum Indonesia menentukan jalannya sendiri.
Dengan demikian, Indonesia bukan hanya berhadapan dengan tantangan ekonomi atau hukum, melainkan juga dengan problem eksistensial: bagaimana menjadi subjek yang berdaulat di tengah sistem global yang didesain untuk menjadikannya objek.
Aktor-Aktor Utama Globalis OrderÂ
Setiap order global tidak pernah berjalan sendiri; ia membutuhkan aktor-aktor yang menopang, baik sebagai arsitek maupun operator. Globalis order ditopang oleh jejaring luas individu, keluarga, lembaga keuangan, korporasi, hingga institusi multilateral yang saling terkait. Relasi mereka tidak selalu hierarkis, melainkan berbentuk ekosistem yang bekerja dalam harmoni maupun konflik, namun dengan satu tujuan besar: mempertahankan tata kelola global berbasis kontrak, standar, dan narasi.
Pertama, individu dan keluarga. Nama-nama seperti Rothschild, Rockefeller, hingga Soros sudah lama menjadi simbol kapital global. Mereka tidak hanya berperan dalam membangun jaringan finansial internasional, tetapi juga dalam mendanai lembaga filantropi, kampanye politik, hingga riset akademik yang membentuk arah kebijakan dunia. Generasi baru seperti Larry Fink (CEO BlackRock) dan Klaus Schwab (pendiri WEF) menegaskan bahwa globalis order bukan hanya warisan abad ke-20, melainkan juga mesin yang terus diperbarui melalui figur publik dengan legitimasi modern: investasi hijau, forum multilateral, atau narasi inovasi.
Kedua, bank dan manajer aset. Di jantung sistem keuangan global berdiri lembaga-lembaga seperti JP Morgan, Goldman Sachs, BlackRock, Vanguard, dan State Street. Tiga yang terakhir sering disebut sebagai Big Three asset managers, mengendalikan porsi signifikan dari ekuitas global. Mereka tidak sekadar mengelola dana pensiun atau portofolio individu, melainkan juga menentukan arah perusahaan transnasional melalui hak suara pemegang saham. Dengan kekuatan trillions of dollars under management, bank dan manajer aset ini menjadi semacam "otoritas bayangan" yang mampu memengaruhi kebijakan energi, teknologi, hingga geopolitik, meski tanpa mandat elektoral.
Ketiga, korporasi transnasional. Big Tech, Big Pharma, sektor energi, dan agribisnis global berfungsi sebagai frontline actors dari globalis order. Perusahaan teknologi menguasai infrastruktur digital dan data miliaran manusia, perusahaan farmasi mengendalikan akses kesehatan dan obat esensial, sementara korporasi energi dan agribisnis menentukan harga pangan dan bahan baku global. Mereka bergerak melintasi batas negara, namun perlindungan kontrak dan standar internasional memastikan bahwa kepentingan mereka lebih aman daripada banyak negara berkembang yang menjadi lokasi operasi.
Keempat, lembaga internasional. IMF, Bank Dunia, WTO, BIS, OECD, FATF, hingga lembaga rating agencies berfungsi sebagai arsitek normatif sekaligus regulator global. IMF dan Bank Dunia mengontrol akses pembiayaan, WTO menetapkan aturan dagang, sementara BIS menjadi forum tertutup bank sentral dunia. FATF mengatur standar keuangan global melalui isu pencucian uang dan terorisme, sedangkan lembaga pemeringkat menentukan biaya utang negara. Dalam praktiknya, lembaga-lembaga ini bukan netral, melainkan instrumen yang sering kali memperkuat posisi pusat-pusat kekuatan global.
Kelima, filantropi dan think tank. Gates Foundation, Wellcome Trust, CFR, Trilateral Commission, Brookings, hingga WEF berperan dalam memproduksi pengetahuan, wacana, dan legitimasi kebijakan. Lembaga filantropi membiayai riset dan inisiatif global dengan narasi "kepedulian," tetapi sekaligus mengarahkan agenda kebijakan kesehatan, pendidikan, dan teknologi. Think tank seperti CFR atau Brookings menjadi "pabrik ide" yang memberi justifikasi intelektual bagi intervensi global, sementara WEF bertindak sebagai panggung narasi di mana elite politik dan ekonomi dunia membentuk konsensus baru.