Pertama, instrumen kontrak internasional menjadi basis utama. Penanaman Modal Asing (PMA), mekanisme Investor-State Dispute Settlement (ISDS), serta perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) mengunci negara berkembang pada komitmen hukum yang mengurangi ruang kedaulatan. ISDS, misalnya, memungkinkan korporasi global menggugat negara di arbitrase internasional jika kebijakan nasional dianggap merugikan investasi. Dengan demikian, pemerintah tidak lagi menjadi pemegang otoritas tertinggi, melainkan harus menyesuaikan diri dengan "konstitusi kontraktual" global.
Kedua, standarisasi global seperti OECD Guidelines, ISO, IFRS, hingga kerangka Environmental, Social, and Governance (ESG) berfungsi sebagai perangkat legitimasi. Standar ini tampil seolah netral dan teknokratis, padahal sering kali diproduksi oleh pusat kapital global untuk memastikan rantai nilai dunia tetap berjalan sesuai preferensi negara maju. Akibatnya, negara berkembang dipaksa mengadopsi standar yang tidak selalu sesuai dengan kondisi domestik mereka, bahkan ketika biaya kepatuhan lebih besar daripada manfaat ekonominya.
Ketiga, leverage keuangan internasional menjadi pengikat berikutnya. Lembaga seperti IMF, Bank Dunia, maupun pasar obligasi global mengendalikan negara melalui conditionalities atau syarat pinjaman. Utang negara dalam bentuk sovereign bonds pun sering kali mengandung klausul yang mengekang ruang kebijakan fiskal. Dengan kata lain, kedaulatan fiskal negara bisa tereduksi menjadi sekadar ruang negosiasi dengan kreditur global.
Keempat, instrumen non-kinetik turut memperkuat jaring ini. Sanksi ekonomi, litigasi internasional, hingga mekanisme Financial Action Task Force (FATF) bukan hanya alat teknis, melainkan senjata geopolitik. Negara yang dianggap menyimpang dari konsensus global dapat dikeluarkan dari sistem pembayaran internasional, dibatasi akses perbankannya, atau dikenakan sanksi yang melumpuhkan ekonomi domestik. Alat non-kinetik ini bekerja layaknya embargo diam-diam yang memaksa negara menyesuaikan diri.
Kelima, Narrative & Legal Warfare (NLW) menjadi aspek yang paling halus tetapi sangat menentukan. Globalis order tidak hanya memaksakan aturan, tetapi juga membentuk horizon berpikir. Melalui media, kampus, lembaga think tank, hingga wacana HAM dan demokrasi, narasi global dikonstruksi sedemikian rupa sehingga negara berkembang menerima subordinasi sebagai sesuatu yang wajar atau bahkan ideal. Narasi ini sering dilapisi legal warfare, yaitu penggunaan hukum internasional untuk membenarkan dominasi politik atau ekonomi. Dengan begitu, dominasi tidak hanya berlangsung di tataran material, tetapi juga dalam ranah simbolik dan epistemik.
Dari kelima mekanisme ini terlihat jelas bahwa globalis order membangun kekuasaan melalui kombinasi antara kontrak, standar, keuangan, instrumen non-militer, dan narasi hukum. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, kerap terjebak dalam jaring-jaring ini bukan karena kalah perang, melainkan karena tunduk pada kontrak, standar, dan narasi yang mereka setujui sendiri.
Dampak bagi Negara Berkembang: Studi Kasus Indonesia
Mekanisme globalis order tidak beroperasi dalam ruang hampa; ia menimbulkan dampak yang sangat nyata terhadap struktur ekonomi-politik negara berkembang. Indonesia, sebagai salah satu negara besar di Global South, menjadi contoh menarik bagaimana instrumen kontrak, standar, keuangan, dan narasi global bekerja secara simultan.
Pertama, dari sisi kedaulatan kebijakan, ruang gerak pemerintah kerap tereduksi. Perjanjian internasional seperti FTA dan ISDS membuat Indonesia terikat pada kontrak yang sulit dinegosiasikan ulang. Contohnya, ketika pemerintah ingin menutup ekspor bahan mentah demi hilirisasi industri, kebijakan itu segera berhadapan dengan gugatan arbitrase internasional. Dengan kata lain, kepentingan nasional harus diuji dulu pada "pengadilan global" yang sering kali berpihak pada korporasi multinasional.
Kedua, dalam hal biaya kepatuhan standar internasional, Indonesia kerap menghadapi dilema. Misalnya, standar ESG yang didorong pasar keuangan global pada satu sisi membuka peluang investasi berkelanjutan, tetapi di sisi lain menciptakan beban biaya tinggi bagi pelaku usaha lokal. Industri sawit adalah contoh paling gamblang. Narasi "sawit tidak ramah lingkungan" tidak hanya berdampak pada citra, tetapi juga berimplikasi langsung pada pasar ekspor dan akses pembiayaan. Di sini, standar global berfungsi lebih sebagai instrumen gatekeeping ketimbang fasilitator perdagangan adil.
Ketiga, leverage keuangan global membuat Indonesia berada dalam posisi tawar yang ambigu. Di satu sisi, akses ke pasar obligasi internasional memberi ruang pembiayaan pembangunan. Namun di sisi lain, ketergantungan pada investor global berarti pemerintah harus menjaga "sentimen pasar" bahkan dengan mengorbankan agenda pembangunan jangka panjang. Krisis 1997--1998 menjadi pelajaran pahit: conditionalities IMF tidak hanya merestrukturisasi ekonomi, tetapi juga mengubah orientasi kebijakan negara secara permanen.