Fragmentasi dan Multipolaritas
Fenomena Trump hanyalah salah satu ekspresi dari dinamika yang lebih besar: bergesernya sistem internasional dari dominasi unipolar Amerika menuju konfigurasi multipolar yang semakin kompleks. Perubahan ini ditandai oleh meningkatnya fragmentasi dalam politik global, ekonomi, dan norma internasional.
Di satu sisi, fragmentasi muncul akibat keterbatasan efektivitas institusi global yang selama ini dijadikan pilar Globalis Order. WTO misalnya, menghadapi kebuntuan dalam menyelesaikan sengketa dagang; IMF dituduh bias kepentingan Barat; sementara WHO dipandang rapuh dalam menghadapi krisis pandemi. Akibatnya, negara-negara besar maupun berkembang mulai mencari jalur alternatif untuk menyalurkan kepentingan mereka, baik melalui forum regional, blok baru, atau mekanisme bilateral.
Di sisi lain, multipolaritas semakin nyata dengan munculnya kekuatan-kekuatan baru yang mampu menandingi dominasi Barat. Tiongkok menegaskan posisinya lewat Belt and Road Initiative (BRI) dan ekspansi teknologi; Rusia mengkonsolidasikan diri melalui energi dan pengaruh militernya; sementara BRICS+ menjadi wadah kolektif bagi negara-negara berkembang untuk menegosiasikan tatanan keuangan global, termasuk dengan dorongan Local Currency Trade (LCT) yang mulai menantang dominasi dolar.
Fragmentasi ini juga meluas pada standar dan norma internasional. Jika sebelumnya OECD, ISO, atau IFRS dianggap sebagai standar tunggal yang berlaku universal, kini muncul alternatif dari Tiongkok, Rusia, bahkan negara-negara Selatan yang menolak standar Barat sebagai "instrumen kontrol". Hal ini menandai lahirnya sistem paralel---misalnya dalam teknologi 5G, sistem pembayaran lintas negara, hingga regulasi digital---yang mempercepat proses decoupling global.
Selain itu, multipolaritas bukan sekadar kompetisi antarnegara besar, melainkan juga pertarungan narasi dan legitimasi. Barat tetap menekankan universalitas demokrasi liberal, HAM, dan lingkungan; sedangkan kubu lain menawarkan narasi kedaulatan, pembangunan, dan stabilitas sebagai nilai tandingan. Fragmentasi narasi ini memperdalam polarisasi di forum global, dari PBB hingga KTT G20, yang kini lebih sering menjadi arena perdebatan simbolis ketimbang penyelesaian substansial.
Bagi negara-negara berkembang, terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, situasi ini membuka ruang manuver yang lebih besar, namun juga menciptakan risiko tinggi. Mereka bisa menegosiasikan keuntungan dari rivalitas blok, tetapi sekaligus rentan menjadi ajang perebutan pengaruh. Fragmentasi dan multipolaritas dengan demikian bukan hanya tanda berakhirnya unipolaritas Amerika, melainkan juga cerminan lahirnya era baru---di mana tata kelola dunia lebih cair, penuh ketidakpastian, dan sulit diprediksi.
Dengan kata lain, dunia pasca-Trump dan pasca-pandemi bergerak menuju pluralitas pusat kekuatan yang tidak lagi bisa dikendalikan oleh satu aktor hegemonik. Globalis Order dipaksa beradaptasi, sementara negara-negara nasionalis-populis menemukan ruang baru untuk memperkuat legitimasi domestik mereka. Namun, tanpa mekanisme koordinasi yang efektif, fragmentasi ini berpotensi melahirkan krisis global berikutnya, baik di bidang keuangan, teknologi, maupun geopolitik.
Ilustrasi Kasus Konkret
Pertama, BRICS vs G7 menggambarkan polarisasi paling jelas dalam tatanan global. G7 mewakili arsitektur lama Globalis Order yang berbasis ekonomi Barat maju, sementara BRICS+ menjadi wadah alternatif negara-negara Selatan untuk menantang dominasi itu. Dengan inisiatif de-dolarisasi dan dorongan perdagangan berbasis mata uang lokal (Local Currency Trade/LCT), BRICS mencoba memutus ketergantungan pada dolar AS. Pada 2023, langkah ini makin nyata ketika BRICS memperluas keanggotaan dengan memasukkan negara-negara energi seperti Arab Saudi, UEA, dan Iran---menciptakan blok yang potensial mengontrol pasokan minyak global.
Kedua, NATO vs Shanghai Cooperation Organization (SCO) menjadi contoh fragmentasi dalam bidang keamanan. NATO, yang dipimpin Amerika, menekankan peran globalnya pasca-invasi Rusia ke Ukraina. Sementara SCO, yang beranggotakan Tiongkok, Rusia, India, dan negara-negara Asia Tengah, justru menawarkan kerangka kerja alternatif berbasis keamanan regional tanpa dominasi Barat. Dua organisasi ini mencerminkan multipolaritas dalam dimensi militer-strategis, dengan potensi eskalasi jika masing-masing memperluas pengaruh ke wilayah yang sama, seperti Asia Tengah atau Timur Tengah.