Bagi Indonesia, momen ini adalah ujian sejarah. Apakah kita akan mengulang pola 1967 saat menandatangani kontrak Freeport yang mengunci kedaulatan sumber daya selama puluhan tahun? Apakah kita akan mengulang 1998, ketika IMF memaksa reformasi struktural dengan konsekuensi sosial dan ekonomi yang masih terasa hingga kini? Atau kita belajar, bahwa di era multipolar, kedaulatan fiskal, kontrol moneter, narrative defense, dan kemampuan membuat standar sendiri adalah kunci agar tidak hanya menjadi objek?
Pertanyaan terakhir inilah yang akan menentukan posisi Indonesia dalam sejarah global yang sedang ditulis ulang. Menjadi objek berarti pasif, menerima kontrak yang sudah disiapkan, dan terus berada di bawah pengaruh narasi luar. Menjadi subjek berarti berani mengajukan definisi baru tentang pembangunan, berani membentuk indeks alternatif seperti Indeks Nusantara melawan dominasi ESG, dan berani berdiri dalam forum internasional dengan keyakinan bahwa kepentingan nasional bukan sekadar catatan kaki.
Globalis order tidak pernah benar-benar mati; ia hanya berganti wajah. Dari kolonialisme klasik, ke kontrak jangka panjang, hingga standarisasi modern yang dibungkus narasi pembangunan berkelanjutan. Semua bergerak dengan logika yang sama: menjaga struktur kekuasaan global melalui mekanisme finansial, hukum, dan narasi.
Kemenangan Donald Trump pada 2016---dan potensi kembalinya ia pada 2024--2025---menjadi katalis yang mengguncang tatanan ini. Trump bukan sekadar fenomena politik domestik Amerika Serikat, melainkan simbol resistensi terhadap konsensus globalis yang selama puluhan tahun dianggap tak tergoyahkan. Retorika "America First," perang dagang, pemangkasan dana ke lembaga multilateral, hingga dorongan unilateral deal, membuka celah sekaligus memperlihatkan keretakan dalam tatanan global.
Namun, globalis tidak tinggal diam. Narasi Great Reset, instrumen ESG, penguatan lembaga internasional, hingga perang narasi berbasis HAM dan lingkungan menjadi respons untuk mempertahankan dominasi. Di tengah tarik-menarik inilah, multipolaritas baru mulai terbentuk: BRICS+, dedolarisasi, ASEAN payment connectivity, hingga QRIS lintas negara.
Pertanyaan kunci bagi Indonesia adalah sederhana tetapi menentukan: apakah kita akan terus menjadi objek dari kontrak global yang ditulis oleh pihak luar, atau berani menjadi subjek yang ikut merumuskan aturan main baru?
Jawaban atas pertanyaan ini bergantung pada pilihan strategis: memperkuat kedaulatan fiskal dan moneter, membangun narrative defense, serta menciptakan standard setting alternatif yang berakar pada kepentingan nasional dan regional. Jika tidak, Indonesia hanya akan mengulang pola lama---berganti baju, tapi tetap dalam kontrak yang mengekang. Jika ya, maka Indonesia berpotensi menjadi salah satu arsitek dalam sejarah global yang sedang ditulis ulang.
Globalis order tidak mati, ia hanya berganti wajah. Tetapi wajah baru itu bisa kita hadapi dengan strategi baru pula. Dunia sedang bertransisi, dan Indonesia punya kesempatan langka untuk berpindah peran: dari penonton menjadi pemain, dari objek menjadi subjek, dari penerima kontrak menjadi penulis kontrak. Sejarah global kini ibarat manuskrip terbuka---pertanyaannya, apakah kita siap menorehkan kalimat kita sendiri, atau sekadar membiarkan orang lain menuliskannya untuk kita?
Globalis order mungkin terus berganti baju, dari kolonialisme hingga kontrak, dari pinjaman IMF hingga standar ESG. Trump hanyalah katalis yang menunjukkan bahwa panggung itu bisa diguncang. Kini, pilihan ada pada kita: apakah Indonesia akan kembali menjadi objek dari kontrak global yang disusun di luar negeri, atau berani menjadi subjek yang ikut menulis kontrak baru dunia multipolar. Sejarah tidak menunggu---ia hanya mencatat siapa yang berani mengambil peran.
Catatan Lampiran SimulasiÂ
Analisis Transisi Dan Komparatif